Jodoh (Tak) Sempurna
Yanuari Purnawan
Ketika malaikat cinta menancapkan
panahnya
Menghindar tak mungkin
Berlari, menjauh hanya akan
terjatuh
Karena, sejatinya cintalah yang
menang
Tak perlu menghindar
Memunafikkan rasa
Hingga waktu yang menjawab
Dialah yang tak sempurna
Untuk kesempurnaan cinta
Aku
masih belum mengerti apa yang sedang terjadi pada diri ini. Mengapa aku bisa
menyukai laki-laki seperti ini modelnya. Ia sedang asyik makan bekal yang
khusus kusiapkan buatnya. Rambutnya acak-acakan terkesan maskulin, kaos oblong
dan celana jeans yang bolong di kedua lututnya seolah menjadi fashion yang
nyaman. Mungkin bagi yang pertama kali melihatnya, mereka kira ia adalah preman
pasar. Namun, entah mengapa aku tak punya alasan untuk menjauhinya.
“Kak!”
ucapku lirih sambil memandangnya yang tengah asyik melahap tempe di sampingku.
Ia pun sekilas menoleh lalu nyengir sambil melanjutkan makan siangnya, bukan
makan siang tapi sore kali. Matahari sudah seperempat untuk menghilang menuju
peraduannya.
“Kak
Akbar …!” lanjutku lebih kencang dari yang tadi. Ia pun berhenti mengunyah
makanan yang hampir habis di kotak makan warna biru itu.
“Adek
lapar juga?” jawabnya polos sambil menatapku. Sekilas terlihat begitu tenangnya
tatapannya. Apa ia tak merasakan apa yang sedang kurasakan kini. Sungguh, ingin
sekali aku marah kepadanya, namun upaya itu hanya meninggalkan kesia-siaan.
Matanya benar-benar membuatku terhipnotis lalu luluh.
Aku
menggelang lalu memendarkan pandangan ke arah matahari yang sebentar lagi
tenggelam. Senja memang begitu agung dan mendamaikan. Aku menghembuskan napas
dalam, bagai bukan udara yang keluar tapi duri-duri.
“Masih
mikirin soal itu?” tanyanya sambil merapikan kotak makan. Ternyata, ia sudah
selesai makan. Harusnya ia tak bertanya itu kepadaku, namun ia lah yang harus
menjawabnya, masihkah hubungan ini harus berlanjut?
“Aku
tak mengerti mengapa kakak tak pernah serius akan hubungan ini. Capek, Kak!”
“Yaudah,
nanti kakak boncengin deh!” jawabnya asal, membuat gigiku gemelatuk menahan
amarah. Bisakah ia serius akan hal sepenting ini. Sekali saja.
Kak
Akbar berdiri setelah memasukkan kotak makannya ke dalam tas kecilku. Matanya
fokus ke arah langit yang mulai berwarna jingga. Mungkinkah ia berpikir untuk
kelanjutan hubungan ini.
“Sudah
sore, yuk kita pulang!” Ia berbalik lalu melangkah hendak meninggalkan bangunan
tua lantai tiga ini. Entah keberanian dari mana, bibir dengan mudah mengucap
kalimat itu.
“Ayah
meminta kakak segera menemuinya sebagai laki-laki dewasa!”
Ia
berbalik lalu memandangku lekat. Tetap sama. Tajam, namun meneduhkan.
Perasaanku tak enak. Respon apa yang akan Kak Akbar berikan. Tapi, dugaanku
salah. Ia hanya tersenyum sambil melangkah menjauh dari lantai atas bangunan
tua ini. Ingin rasanya aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Serumit
inikah cintaku dengannya?
***
Pikiranku
melayang entah kemana. Buku yang kubaca dari tadi tak satupun kalimatnya yang
menempel di otak. Mungkin, perpustakaan kampus hanya menjadi tempat untuk merefresh pikiran. Iya, pikiran akan ia
yang tak pernah mengerti dan serius akan kelanjutan ini.
“Hai,
Non. Melamun aja!” sapa gadis berjilbab putih sambil menepuk pundakku agak
keras. Mataku melotot memandangnya.
“Bisa
dikecilin nggak volumenya. Ini perpus bukan pasar ikan.”
Amel,
sahabat satu fakultasku itu hanya nyengir tanpa dosa. Akupun kembali membaca
atau lebih tepatnya melamun.
“Lagi
ada masalah? Sama preman pasar itu?” tanya Amel beruntun. Mendengar ia menyebut
‘Preman Pasar’ aku langsung melotot ke arahnya.
“Sorry! Maksudku Akbar.”
Aku
menghembuskan napas panjang. Tak perlu beralasan apapun, karena Amel pasti bisa
menebak apa yang sedang bergelayut dalam pikiran. Akupun mengangguk.
“Ada
apa lagi, Ra? Bukankah kamu bilang ia adalah sayap pelindung yang siap siaga
melindungimu dari apa pun.”
Amel
kembali mengungkit kalimat itu. Kalimat yang pernah aku utarakan kepadanya
tentang Kak Akbar. Bagaimana proses perkenalan kami yang begitu unik. Mungkin,
bagi sebagian orang itu adalah hal biasa. Namun, bagiku itu luar biasa. Suatu
hari tatkala aku sedang naik bus pulang dari kampus, aku mengalami insiden
kecopetan. Menyadari hal itu akupun berteriak yang membuat gaduh seluruh
penumpang bus. Namun, cowok yang berpenampilan berantakan berhasil meringkus
sang pencopet yang hendak turun dari bus. Ia tersenyum lalu mengembalikan
dompet itu kepadaku. Sejak itulah kita semakin akrab, karena ia pun menggunakan
bus yang sama denganku saat pulang kampus.
“Melamun
aja!” Teguran Amel membuatku gelagapan sendiri.
“By the way, ngapain kamu nyusul ke sini?
Biasanya paling anti masuk perpustakaan,” sindirku membuat pipi sahabatku
tersebut merona malu.
“Oh
ya, besok jadikan ikut kajian islam kampus?” Aku mengangguk. “Tahu nggak,
pengisi acara kajian itu Kak Faris loh!” Muka Amel terlihat girang saat
menyebut nama ‘Kak Faris’. Siapa juga yang tak suka dengan cowok alim, santun
dan cerdas tersebut.
“Kak
Salman Al Farisi, anak teknik itu?” Mata Amel melotot menampilkan wajahnya yang
lucu dengan pipinya yang cubby.
“Rania
Azzahra, siapa lagi kalau bukan malaikat satu itu. Emang ada cowok satu kampus
ini yang pesonanya ngalahin Kak Faris.” Aku hanya tersenyum, tanpa terasa beban
akan masalahku dengan Kak Akbar sedikit terobati.
***
Seandainnya aku mampu
Ingin kubekukan waktu
Agar aku tak lagi tertarik,
terikat
Hingga sulit terlepas
Sakit. Namun inilah
jalannya
Walau salah sekalipun
Aku
masih setia menunggunya di depan gerbang kampus. Dua menit, tiga menit. Tanpa
terasa sudah setengah jam aku berada di tempat ini. Pasti alasan yang sama
mogok atau macet. Sudah tahu begitu, masih saja diulangi lagi.
“Maaf
ya! Pasti lama nunggu pangeran motor bututnya. Maklum motor tua jadi sering
mogok,” ucapnya sambil tersenyum tanpa dosa. Alasan klasik.
“Aku
ingin bicara serius!”
“Aku
ingin makan soto,” timpalnya. Sekuat tenaga aku menahan amarah.
“Nggak
lucu!”
“Maaf,
aku kan bukan Sule.” Amarahku pun meledak.
“Bisa
nggak kamu serius sedikit?” bentakku. Tak ada lagi panggilan ‘Kak’ untuknya. Ia
memandangku tajam lalu tertawa terbahak. Memang ada yang salah dengan ucapanku
barusan.
“Lagi
lapar?” candanya lagi. aku hanya diam sambil menunduk. Gigiku bergemelatuk.
Napasku tersenggal-senggal.
“Kan
lapar bisa merubah seseorang. Ayo kita makan!”
“Kamu
itu tak peka atau bodoh sih?” Kak Akbar terbelalak dan hampir oleng dari motor
yang didudukinya.
“Aku
capek dengan semuanya. Aku ingin kita jalan masing-masing.”
“Maksudnya?”
Ia pun turun dari motornya berusaha mendekat ke arahku.
“Aku
ingin kita putus!”
Suasana
mendadak hening. Sepi. Hanya angin sore yang berhembus mengibarkan jilbab ungu
panjangku.
“Dek
…!” lirih Kak Akbar memanggilku. Tapi, kita tak bergeming dengan keadaan
masing-masing. Tak ada sentuhan, pelukan atau hal yang tak sepantasnya.
“Maaf
jika ini menyakitkan. Tapi, mungkin inilah jalan yang terbaik untuk saat ini.
Lupakan mimpi-mimpi kita. Dan sekarang cukup serahkan semuanya kepada-Nya,”
terangku sambil terisak.
Kak
Akbar diam. Kulirik sekilas wajahnya. Matanya berkaca-kaca.
“Maafkan
kakak, Dek. Maaf, masih menjadi laki-laki pengecut!” Ia berbalik lalu naik
motor bututnya. Asap menggumpul dari knalpot. Menyesakkan. Seperti halnya
hatiku kini. Kupandangi punggung gagahnya yang semakin lama semakin jauh.
“Sampai
jumpa, Kak!”
***
Sudah
sepekan tak ada lagi Kak Akbar dalam hidupku. Walau seperti ada ruang kosong di
dalam hati. Hampa. Namun, aku harus segera move
on. Hari-hariku kini hanya diisi ngampus dan kajian. Iya, aku dan Amel
memang sering mengikuti kajian untuk menambah wawasan terutama tentang islam.
Bukan hanya itu, Amel yang tahu aku putus dengan Kak Akbar sekarang
gencar-gencarnya menjodohkan aku dengan Kak Faris.
“Kak
Faris itu cakep, cerdas dan shalih. Wah, beruntung banget cewek yang jadi
istrinya nanti!” Amel masih menggebu bercerita tentang Kak Faris. Aku hanya
diam sambil menikmati soto di kantin kampus.
“Ra
…!” Melihat aku yang tak memperhatikannya, ia langsung mencubit pipi kananku.
“Ada
apa sih, Amelia Putri?”
“Gimana
dengan Kak Faris?” Ia mengedip-ngedipkan matanya. Aku hanya tersenyum.
“Kalau
kamu suka ya bilang saja. Gitu aja kok repot!”
“Rania
… ini bukan masalah tentangku, tapi kamu. Tahu nggak tadi aku bilang Kak Faris
bahwa kamu mau jadi koordinator untuk kajian minggu depan.” Aku langsung
tersedak mendengar ucapan Amel. Buru-buru aku minum es teh hingga tinggal
setengah.
“Kamu
gila apa? Aku tidak bisa.”
“Jangan
begitu, Rania. Bukankah kita diwajibkan tolong-menolong dalam kebaikan.
Makanya, sekarang kamu harus membantu Kak Faris.” Aku hanya menelan ludah entah
mengapa tenggorakanku jadi kering.
“Rania
… aku mengerti tak mudah melupakannya. Namun, jangan berlarut-larut. Sekarang
giliranmu untuk move on.” Mataku
memandang tajam ke arah Amel. Benar apa yang ia katakan. Sudah saatnya aku
melupakan bayangan tentang Kak Akbar.
***
Selama
seminggu penuh aku menjadi koordinator untuk kajian islam kampus. Aku semakin
dekat dan mengenal kepribadian Kak Faris. Namun, tak bisa kucegah sosoknya
seolah menjadi pembanding jika aku berada dekat dengan Kak Faris. Tuhan,
mengapa begitu sulit untuk menghapus semua kenangan tentangnya.
“Bagaimana
kelanjutannya?” tanya Amel di saat kami sedang asyik ngopi di kafe dekat kampus.
“Entahlah,
sepertinya melupakannya terlalu sulit.” Mataku mulai berkaca-kaca. Dengan
lembut tangan Amel memegang erat jemariku seakan memberiku kekuatan.
“Ceritakan?”
“Kamu
tahu saat aku bersama Kak Faris yang ada dalam pikiranku justru Kak Akbar. Ia
seperti hantu bagiku kini. Mungkin, Kak Faris memiliki semuanya. Tampan, pintar
dan shalih. Namun, ia memiliki sesuatu entah apa yang justru lebih dari Kak
Faris.” Aku terisak. Dengan lembut Amel mengusap air mata dengan tissue.
“Kamu
tahu apa yang Kak Akbar pernah ucap akan motor bututnya. Dengan motor seperti ini kita akan terlatih akan bersabar dan
menghargai waktu. Ia selalu bilang jangan pernah memunafikan diri karena
penampilan. Mungkin ia seperti preman pasar, namun yang mesti kita tahu ia tak
pernah ninggalin shalat bahkan yang lebih miris ….” Aku diam sejenak
mengumpulkan udara untuk menahan pedih di hati.
“Saat
Kak Faris yang aktivis bilang jangan pernah memberi pengemis karena nanti jadi
kebiasaan. Namun, apa yang ia katakan kepadaku. Kalau kita punya ya berilah,
kalau nggak ya cukup tersenyum. Tak perlu mencari alasan untuk memberi.”
“Aku
begitu bodoh!” Aku semakin terisak. Amel diam sambil menyeka air mataku.
Kulihat ia pun berkaca-kaca.
“Rania
… dengar ini, jangan takut mengakui cinta. Karena, cinta itu tumbuh secara
alami dan fitrah. Jika, memang kamu cinta dan yakin Kak Akbar jodohmu pasti
Allah akan menyatukan kalian. Dan sekarang hapus air matamu, katakan kepadanya
bahwa kamu masih mencintainya.”
Aku
menggeleng.
“Kita
tak pernah tahu ada berapa kesempatan yang mungkin terjadi dalam hidup kita.
Lakukan kini atau menyesal nanti.”
Kalimat
Amel berhasil menohok hatiku. Kuseka air mata dengan ujung jilbab lalu
mengambil napas panjang sambil tersenyum menatap sahabat terbaikku tersebut.
***
Sudah
tiga hari ini aku menunggunya di lantai atas bangunan tua. Namun, sosoknya tak
pernah terlihat. Mungkinkah ia marah kepadaku? Pasti, bahkan ia kecewa berat
akan keputusanku tersebut.
“Rania
…!”
Suara
itu. Iya, suara yang selama ini aku rindukan. Kuputar balik tubuhku. Masih
sama. Ia yang berambut acak-acakan dan mirip preman pasar. Suasana mendadak
hening. Matahari tinggal seperempat lagi tenggelam menuju peraduannya. Senja
selalu menawarkan kedamaian. Lidahku keluh. Aku hanya menunduk sambil memainkan
ujung jilbab.
“Kamu
baik-baik saja?” tanyanya sedikit kaku. Aku memandangnya sekilas. Sekuat tenaga
aku menahan kristal hangat untuk tidak luruh.
“Aku
baik-baik saja. Sekarang tak ada lagi bunyi bising motor butut, tak ada asap
yang mengganggu pernapasan, tak ada bekal makanan, tak ada senja bersama. Aku
baik kok, Kak. Bahkan saat ini aku baik, beberapa hari tak melihat sosok preman
pasar seperti dulu.” Air mataku pecah.
“Maaf!”
Apa?
Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Jeda. Tak ada lagi suara yang keluar dari
mulut kita masing-masing. Hatiku hampa.
“Semenjak
ayah meninggal tujuh tahun lalu, dunia ini seakan gelap. Tulang punggung kami
pergi untuk selamanya.” Ia mendesah sambil memandang senja.
“Ibu
sering sakit-sakitan, dua adik masih sekolah dasar sedang aku sudah masuk SMA.
Beban biaya hidup semakin tinggi. Maka, aku putuskan untuk berhenti sekolah dan
memilih membantu ibu bekerja. Awalnya ibu melarang, namun beliau yang bekerja
sebagai buruh cuci mana cukup untuk membiayai sekolahku.” Matanya berkaca-kaca.
“Aku
bekerja sebagai buruh panggul di pasar. Berat. Namun, selagi halal apapun
pekerjaannya akan aku lakukan.”
Perih
mendengar kisah hidupnya. Mengapa aku baru mengerti sekarang.
“Makanya,
aku belum bisa datang untuk melamarmu. Bukan karena aku tak mampu, tapi aku
ingin memberikan sesuatu yang lebih berarti untuk perempuan yang aku cintai.
Aku ingin memuliakannya, menghormatinya dan melindunginya.”
“Kak
Akbar!” teriakku. Seandainya aku mampu ingin kupeluk tubuhnya.
“Tapi,
kita sudah putus.” Ia mendesah lalu berpaling hendak meninggalkan tempat
kenangan ini. Bodoh. Bodohnya aku mengapa tak peka akan keseriusannya selama
ini.
“Kak
…!” Lututku terasa lemas. Aku pun tersungkur sambil terisak.
“Kenapa
kamu masih menangis di situ?” Aku memandang ke arahnya, ia pun memandang ke
arahku. Masih sama, tajam namun meneduhkan.
“Sudah
sekah air matamu. Masak calon pengantin Muhammad Akbar Syailendra kucel,
cenggeng dan jelek begitu.”
Aku
mencoba berdiri sambil menyeka air mataku.
“Jahat!”
ucapku sambil tersenyum. Ia pun membalas dengan senyum yang begitu hangat.
Sehangat senja kali ini.
Mungkin dia tidaklah
sempurna, namun kini bersamanya aku merasakan kalau dialah jodoh yang sempurna
dari Sang Maha Sempurna.[]
Selesai
izin share. :-)
BalasHapus