Last Sun
Oleh
: Yanuari Purnawan
Haruskah
begini? Tidakkah mentari masih berasa hangat. Adakah secuil rasa itu bersemayam
di hatinya? Sejuta pertanyaan memenuhi setiap inci otak. Aku ingin berlari lalu
berteriak menjauhinya. Namun, lutut ini masih membeku di tempat. Bukan lagi
dingin ataupun menghangat. Semua membara hingga mendidih dalam gelora emosi.
Tuhan, salahkah jika aku terlalu mencintainya?
“Kak
Farhan!” teriakku. Pria berkemeja batik tersenyum ramah ke arahku. Entah
mengapa hatiku selalu berdesir tatkala senyum itu mengembang dari bibirnya.
Tapi, wanita mana yang tak takjub akan pesonanya yang merupakan ketua Lingkar
Dakwah Kampus (LDK) tersebut.
“Ada
apa? Tak perlu pakai teriak kakak juga dengar!” protesnya sembari mendekatiku
yang sedang mematung di koridor kampus bersama Alya, sahabatku.
“Emm
… emm … gini untuk acara malam minggu nanti jadi nggak cateringnya?” tanyaku
sedikit gugup dengan rona wajah yang mulai memerah.
“Oh
masalah itu toh! Kukira ada apa? Ya, jadilah.” Kulihat Kak Farhan memanyunkan
bibirnya. Terlihat dia sedang sebal akan perlakuanku barusan.
“Afwan
ya, Kak! Assalamualaikum,” ucapku sambil menarik tangan Alya untuk pergi
meninggalkan Kak Farhan. Lirih aku mendengar dia menjawab salam dariku. Mungkin
dia mengira aku cewek aneh yang tiba-tiba menyapa dan pergi begitu saja.
Biarlah, sungguh aku tak kuat jika berlama-lama dekat dengannya. Takut rasa di
hati ini bergejolak dan lepas kendali.
***
Aku
masih sibuk mengotak-atik profosal anggaran untuk acara pengajian malam minggu
nanti. Sebagai sekretaris di LDK,
membuatku harus lebih displin waktu antara kuliah dan kegiatan di
luarnya. Tatkala jari mengetik nama ketua, entah mengapa hatiku sedikit
bergejolak. Farhan Aldiansyah, nama itulah yang memenuhi isi otakku. Senyum
manisnya di koridor kampus tadi, terbayang indah dalam setiap imajinasiku.
“Sarah,
ayo turun. Segera makan malam!” teriak ibu dari lantai bawah. Seketika bayangan
pangeran impianku memudar.
“Iya!”
jawabku sambil melangkah gontai menuju lantai bawah. Kulihat ayah, ibu dan Kak
Rian sudah duduk manis di depan meja makan.
“Lama
amat, Non! Hampir saja kami mati kelaparan,” ledek Kak Rian sambil menatapku.
Pertanyaanya sedikit kikuk.
“Pasti
lagi melamunin cowok!” lanjut Kak Rian.
“Apaan
sih, sok tahu deh!” protesku, walaupun terdengar seperti mencari alasan.
“Sudah
… sudah kalau berantem terus kapan kita makannya?” tegur ayah sambil menyuruh
kami diam dan segera berdoa lalu makan malam.
Kulihat
layar ponsel ternyata ada satu pesan dan yang membuat hatiku berdesir sang pengirim
adalah Kak Farhan.
“Assalamualaikum, pasti
sibuk ya! Maaf jika kakak ganggu, tapi ada sesuatu yang ingin kakak bicarakan
denganmu.” Seketika pikiranku dipenuhi tanda tanya, apa yang
ingin dibicarakan Kak Farhan kepadaku? Tidak seperti biasanya, kalau ada yang
penting dia pasti langsung telepon.
“Waalaikumsalam, tidak
juga. Memang ada masalah apa?” balasku. Dua menit
kemudian, terlihat pesan masuk dari Kak Farhan.
“Kakak tidak bisa
bicara lewat sms atau telepon, karena ini pribadi. Besok aku hubungi lagi ya!
Sudah malam. Segera tidur.” Aku tersenyum sendiri
membaca sms darinya. Entah mengapa pesan terakhirnya, mengisyaratkan kalau dia
perhatian kepadaku. Pikiranku kacau, jarum jam terasa lambat berputar. Aku
benar-benar tak sabar menanti esok. Dan yang paling penting adalah apa yang
akan dibicarakan Kak Farhan kepadaku nanti.
Pagi
yang cerah, secerah hatiku hari ini. Bayangan Kak Farhan yang tersenyum manis
dan ucapan cinta dari mulutnya. Astaghfirullah, tak seharusnya aku membayangkan
hal yang masih belum halal tersebut. Ponselku berdering, terlihat pesan masuk
dari Kak Farhan.
“Nanti, kakak tunggu di
kafe dekat kampus.” Membaca sms tersebut, aku hanya
tersenyum lalu bergegas menuju kelas. Mata kuliah hari ini terasa begitu lama.
Mungkin, karena pikiran ini yang tak fokus. Pikiranku hanya tertuju pada satu
hal yaitu pertemuan dengan Kak Farhan di kafe dekat kampus.
“Afwan,
kak, saya terlambat,” sapaku dengan raut wajah penuh penyesalan. Seharusnya
untuk pertemuan pertama, aku datang tepat waktu. Tetapi, sosok pria tampan itu
sudah duduk manis di kursi kafe tempat kami janjian.
“Tidak
apa-apa kok,” balasnya dengan simpul senyum yang tulus. Dengan sedikit gugup,
Kak Farhan menawarkan aku untuk duduk di kursi di depannya. Beberapa saat
hening. Kami sama-sama kikuk dan gugup. Hingga tanpa bisa dicegah bibir inipun
mampu berkata.
“Ada
apa kakak mengajak aku untuk ketemuan di kafe segala?” Sekilas terlihat wajah
Kak Farhan bersemu merah. Apakah ini pertanda? Tuhan, jika dialah imam yang Kau
takdirkan untukku, dengan senang dan ikhlas aku bersedia.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar