Kamis, 30 April 2015

Last Sun Part 1

Last Sun
Oleh : Yanuari Purnawan



Haruskah begini? Tidakkah mentari masih berasa hangat. Adakah secuil rasa itu bersemayam di hatinya? Sejuta pertanyaan memenuhi setiap inci otak. Aku ingin berlari lalu berteriak menjauhinya. Namun, lutut ini masih membeku di tempat. Bukan lagi dingin ataupun menghangat. Semua membara hingga mendidih dalam gelora emosi. Tuhan, salahkah jika aku terlalu mencintainya?

“Kak Farhan!” teriakku. Pria berkemeja batik tersenyum ramah ke arahku. Entah mengapa hatiku selalu berdesir tatkala senyum itu mengembang dari bibirnya. Tapi, wanita mana yang tak takjub akan pesonanya yang merupakan ketua Lingkar Dakwah Kampus (LDK) tersebut.
“Ada apa? Tak perlu pakai teriak kakak juga dengar!” protesnya sembari mendekatiku yang sedang mematung di koridor kampus bersama Alya, sahabatku.
“Emm … emm … gini untuk acara malam minggu nanti jadi nggak cateringnya?” tanyaku sedikit gugup dengan rona wajah yang mulai memerah.
“Oh masalah itu toh! Kukira ada apa? Ya, jadilah.” Kulihat Kak Farhan memanyunkan bibirnya. Terlihat dia sedang sebal akan perlakuanku barusan.
Afwan ya, Kak! Assalamualaikum,” ucapku sambil menarik tangan Alya untuk pergi meninggalkan Kak Farhan. Lirih aku mendengar dia menjawab salam dariku. Mungkin dia mengira aku cewek aneh yang tiba-tiba menyapa dan pergi begitu saja. Biarlah, sungguh aku tak kuat jika berlama-lama dekat dengannya. Takut rasa di hati ini bergejolak dan lepas kendali.
***

Aku masih sibuk mengotak-atik profosal anggaran untuk acara pengajian malam minggu nanti. Sebagai sekretaris di LDK,  membuatku harus lebih displin waktu antara kuliah dan kegiatan di luarnya. Tatkala jari mengetik nama ketua, entah mengapa hatiku sedikit bergejolak. Farhan Aldiansyah, nama itulah yang memenuhi isi otakku. Senyum manisnya di koridor kampus tadi, terbayang indah dalam setiap imajinasiku.

“Sarah, ayo turun. Segera makan malam!” teriak ibu dari lantai bawah. Seketika bayangan pangeran impianku memudar.
“Iya!” jawabku sambil melangkah gontai menuju lantai bawah. Kulihat ayah, ibu dan Kak Rian sudah duduk manis di depan meja makan.
“Lama amat, Non! Hampir saja kami mati kelaparan,” ledek Kak Rian sambil menatapku. Pertanyaanya sedikit kikuk.
“Pasti lagi melamunin cowok!” lanjut Kak Rian.
“Apaan sih, sok tahu deh!” protesku, walaupun terdengar seperti mencari alasan.
“Sudah … sudah kalau berantem terus kapan kita makannya?” tegur ayah sambil menyuruh kami diam dan segera berdoa lalu makan malam.

Kulihat layar ponsel ternyata ada satu pesan dan yang membuat hatiku berdesir sang pengirim adalah Kak Farhan.
“Assalamualaikum, pasti sibuk ya! Maaf jika kakak ganggu, tapi ada sesuatu yang ingin kakak bicarakan denganmu.” Seketika pikiranku dipenuhi tanda tanya, apa yang ingin dibicarakan Kak Farhan kepadaku? Tidak seperti biasanya, kalau ada yang penting dia pasti langsung telepon.
“Waalaikumsalam, tidak juga. Memang ada masalah apa?” balasku. Dua menit kemudian, terlihat pesan masuk dari Kak Farhan.
“Kakak tidak bisa bicara lewat sms atau telepon, karena ini pribadi. Besok aku hubungi lagi ya! Sudah malam. Segera tidur.” Aku tersenyum sendiri membaca sms darinya. Entah mengapa pesan terakhirnya, mengisyaratkan kalau dia perhatian kepadaku. Pikiranku kacau, jarum jam terasa lambat berputar. Aku benar-benar tak sabar menanti esok. Dan yang paling penting adalah apa yang akan dibicarakan Kak Farhan kepadaku nanti.

Pagi yang cerah, secerah hatiku hari ini. Bayangan Kak Farhan yang tersenyum manis dan ucapan cinta dari mulutnya. Astaghfirullah, tak seharusnya aku membayangkan hal yang masih belum halal tersebut. Ponselku berdering, terlihat pesan masuk dari Kak Farhan.
“Nanti, kakak tunggu di kafe dekat kampus.” Membaca sms tersebut, aku hanya tersenyum lalu bergegas menuju kelas. Mata kuliah hari ini terasa begitu lama. Mungkin, karena pikiran ini yang tak fokus. Pikiranku hanya tertuju pada satu hal yaitu pertemuan dengan Kak Farhan di kafe dekat kampus.

Afwan, kak, saya terlambat,” sapaku dengan raut wajah penuh penyesalan. Seharusnya untuk pertemuan pertama, aku datang tepat waktu. Tetapi, sosok pria tampan itu sudah duduk manis di kursi kafe tempat kami janjian.
“Tidak apa-apa kok,” balasnya dengan simpul senyum yang tulus. Dengan sedikit gugup, Kak Farhan menawarkan aku untuk duduk di kursi di depannya. Beberapa saat hening. Kami sama-sama kikuk dan gugup. Hingga tanpa bisa dicegah bibir inipun mampu berkata.
“Ada apa kakak mengajak aku untuk ketemuan di kafe segala?” Sekilas terlihat wajah Kak Farhan bersemu merah. Apakah ini pertanda? Tuhan, jika dialah imam yang Kau takdirkan untukku, dengan senang dan ikhlas aku bersedia.

To be continued ....







Tidak ada komentar:

Posting Komentar