Sabtu, 11 April 2015

Januari ( Bad Rain )

Januari
Oleh : Yanuari Purnawan



Semua yang terasa sederhana menjelma menjadi sesuatu yang sangat menyebalkan. Berawal dari nama bulan, hingga menjadi bahan bualan. Bagai mimpi buruk, aku ingin sekali terbangun lalu melupakan semua kisah itu. Bersama hujan, semua bermula. Dalam kenangan indah berbalut cinta. Pena menggoreskan aksara bersamanya.

Jantung berdebar tak beraturan, keringat dan air hujan membasahi seragam putih abu-abu. Dengan nafas tersenggal-senggal, kupercepat langkah menuju kelas sebelas IPA-4. Semua gara-gara hujan. Jika hari ini cerah, mungkin aku tak akan terlambat ke sekolah. Hujan membuatku malas bangun dari tempat tidur. Alhasil, kesiangan lalu tidak mandi untuk cepat-cepat berangkat sekolah.

“Januari … kok terlambat?” ledek Indra teman sekelasku sambil tersenyum puas melihat kondisiku saat itu.
“Januari, hujan berhari-hari. Masak kalah sama hujan,” sahut Faris, sang ketua kelas yang setali tiga uang dengan Indra. Sontak, seisi kelas tertawa membahana menertawakanku.
“Sudah … sudah, diam! Yanuar, cepat ke tempat dudukmu!” bentak Bu Rini guru matematika, membuat kelas menjadi tenang kembali.

Hal inilah yang membuatku membenci semua yang berhubungan dengan bulan Januari. Bulan yang seharusnya merupakan hari paling istimewa dalam hidup. Karena bulan di mana aku terlahir di dunia ini, malah menjadi petaka dalam hidupku. Hujan berhari-hari atau disingkat Januari, adalah ledekan paling pas untuk namaku, Yanuari Purnawan.

“Ceileh … ada apa nih Mr. Januari alias hujan berhari-hari?” tanya Lia sahabatku, tatkala aku sedang asyik membaca di kelas sendiri.
“Kamu nanya apa ngeledek nih!” balasku sambil memancunkan bibir. Sebutan ‘Januari’ selalu membuat kesal diri ini. Mengapa ada bulan Januari dan selalu musim hujan. Serasa takdir berpihak kepada mereka yang suka meledekku.
“Ada yang marah nih! Yanuar jangan marah, ‘kan cuma bercanda.” Lia sahabatku ini paling bisa membuat hati menjadi nano-nano. Kadang bikin senang, terkadang bikin emosi tingkat dewa.
Tak menyangka persahabatanku berjalan awet walau tanpa pengawet bersamanya. kami berkenalan saat masa orientasi siswa baru. Lia si gadis berkerudung putih itu sangat baik. Dialah yang membantu dan memotivasiku saat mengeluh karena sering dihukum. Walau sekarang berbeda kelas, kita tetap menjalin persahabatan. Dengan adanya batasan pria dan wanita, hubungan ini berjalan sangat natural.

“Yanuar … melamun saja!” ucap Lia mengagetkanku. Gadis tomboy berjilbab putih di depanku tersebut terlihat kesal.
“Emm … nggak kok!” jawabku gugup.
“Sepertinya ada masalah nih?” selidiknya yang membuatku semakin gugup. Dengan mengatur nafas, kucoba untuk jujur. Karena, sejak kenal kurang lebih satu tahun, aku tak pernah bisa bohong kepada Lia.
“Aku kesal dan benci dengan Januari. Gara-gara bulan yang selalu musim hujan ini, aku menjadi bahan olok-olokkan. Bukan hanya teman sekelas, tetapi juga sahabatku sendiri!” terangku dengan menahan emosi.
“Kamu marah, Yanuar!”
“Apa aku terlihat bercanda? Sudahlah … aku mau ke perpustakaan,” ucapku kesal sambil berlalu meninggalkan sahabatku. Lia hanya tertegun. Biasanya selalu bisa menyanggaku tetapi kini diam seribu bahasa.

Sahabat macam apa? Seharusnya dia mengerti perasaanku. Emosi masih membara di dada. Ingin rasanya berteriak lalu berlari melawan hujan. Tanpa terasa, bel pulang sekolah berbunyi. Mungkin karena tidak fokus dengan pelajaran, jadi terasa cepat. Pikiranku masih bermuara pada Januari dan hujan. Dua hal yang selalu menggangguku.

“Januari, hujan berhari-hari. Tidak pulang nih!” Ledek Indra dengan gayanya yang sok kegantengan tersebut. Pas sekali, saat mau pulang, hujan mengguyur tanah sekolah. Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya.

“Mengapa sih harus hujan segala?” gerutuku sambil mengamati sekeliling luar kelas yang mulai sepi. Tuhan, kumohon sekali saja jangan hujan. Gara-gara hujan di bulan Januari, aku harus makan hati. Aku masih menyandarkan punggung di tembok luar kelas, sambil menikmati rintik hujan. Seolah hujan menangisi keadaanku akibat ledekkan mereka.

“Mau ke parkiran bareng?” tanya Lia sambil membawa payung biru bermotif bunga-bunga.
“Masih marah nih!” lanjutnya. Aku hanya diam sambil menatap ke depan menikmati hujan yang semakin deras.
“Yanuar … mengapa kita harus membenci hujan? Bukankah hujan itu rahmat dari-Nya.”
“Maksudmu? Jangan sok alim deh!” tukasku sambil menatap kornea cokelat tersebut.
“Hujan itu anugerah, tanpanya kehidupan tak akan pernah ada. Bersyukur dengan adanya hujan. Hujan selalu menawarkan aroma cinta dan ketenangan,” terang Lia sambil menadah tetesan hujan dengan kedua telapak tangannya.

Sesaat suasana menjadi hening, hanya rintik hujan membuat semua menjadi bisu. Aku berusaha keras mencerna apa yang sedang dikatakan sahabatku tersebut.
“Apa pantas kita membenci hujan?” Mata yang teduh itu beralih menatapku.
“Jangan pernah membenci hujan. Apalagi karena sebuah nama. Konyolkan! Nikmati hujan tersebut. Ibarat kita kecil dulu, selalu suka hujan-hujanan,” lanjutnya tersenyum tulus. Lia begitu dewasa cara berpikirnya. Membuat ada desiran halus merasuk dalam hatiku.

Dalam balutan jilbab putih lalu perkataannya yang begitu bermakna. Seolah mampu mencairkan hati yang telah membenci hujan dan bulan Januari. Aku selama ini terkukung dalam satu arah berpikir. Ternyata, Lia datang untuk menuntun arah berpikirku. Bahwa, hujan, bulan Januari dan namaku adalah sesuatu yang patut disyukuri. Seharusnya, aku bisa menjadi hujan selalu menumbuhkan dan menebar manfaat. Masalah bulan Januari dan namaku adalah dua kata yang saling mempengaruhi. Kalau aku memang lahir di bulan tersebut.

“Melamun saja! Mau bareng, tidak?” teriak Lia sambil berlalu menuju parkiran sekolah.
“Tunggu, dong! Basah semua nih.” Aku berlari menerobos hujan untuk mengejarnya. Ternyata, Lia lebih cepat dua langkah dariku.
“Jaga jarak bukan muhrim,” ucapnya sambil tersenyum puas mengerjain aku yang mulai basah kuyup.


Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar