Januari
Oleh
: Yanuari Purnawan
Semua
yang terasa sederhana menjelma menjadi sesuatu yang sangat menyebalkan. Berawal
dari nama bulan, hingga menjadi bahan bualan. Bagai mimpi buruk, aku ingin
sekali terbangun lalu melupakan semua kisah itu. Bersama hujan, semua bermula.
Dalam kenangan indah berbalut cinta. Pena menggoreskan aksara bersamanya.
Jantung
berdebar tak beraturan, keringat dan air hujan membasahi seragam putih abu-abu.
Dengan nafas tersenggal-senggal, kupercepat langkah menuju kelas sebelas IPA-4.
Semua gara-gara hujan. Jika hari ini cerah, mungkin aku tak akan terlambat ke
sekolah. Hujan membuatku malas bangun dari tempat tidur. Alhasil, kesiangan
lalu tidak mandi untuk cepat-cepat berangkat sekolah.
“Januari
… kok terlambat?” ledek Indra teman sekelasku sambil tersenyum puas melihat
kondisiku saat itu.
“Januari,
hujan berhari-hari. Masak kalah sama hujan,” sahut Faris, sang ketua kelas yang
setali tiga uang dengan Indra. Sontak, seisi kelas tertawa membahana
menertawakanku.
“Sudah
… sudah, diam! Yanuar, cepat ke tempat dudukmu!” bentak Bu Rini guru
matematika, membuat kelas menjadi tenang kembali.
Hal
inilah yang membuatku membenci semua yang berhubungan dengan bulan Januari.
Bulan yang seharusnya merupakan hari paling istimewa dalam hidup. Karena bulan
di mana aku terlahir di dunia ini, malah menjadi petaka dalam hidupku. Hujan
berhari-hari atau disingkat Januari, adalah ledekan paling pas untuk namaku,
Yanuari Purnawan.
“Ceileh
… ada apa nih Mr. Januari alias hujan berhari-hari?” tanya Lia sahabatku,
tatkala aku sedang asyik membaca di kelas sendiri.
“Kamu
nanya apa ngeledek nih!” balasku sambil memancunkan bibir. Sebutan ‘Januari’
selalu membuat kesal diri ini. Mengapa ada bulan Januari dan selalu musim
hujan. Serasa takdir berpihak kepada mereka yang suka meledekku.
“Ada
yang marah nih! Yanuar jangan marah, ‘kan cuma bercanda.” Lia sahabatku ini
paling bisa membuat hati menjadi nano-nano. Kadang bikin senang, terkadang
bikin emosi tingkat dewa.
Tak
menyangka persahabatanku berjalan awet walau tanpa pengawet bersamanya. kami
berkenalan saat masa orientasi siswa baru. Lia si gadis berkerudung putih itu
sangat baik. Dialah yang membantu dan memotivasiku saat mengeluh karena sering
dihukum. Walau sekarang berbeda kelas, kita tetap menjalin persahabatan. Dengan
adanya batasan pria dan wanita, hubungan ini berjalan sangat natural.
“Yanuar
… melamun saja!” ucap Lia mengagetkanku. Gadis tomboy berjilbab putih di
depanku tersebut terlihat kesal.
“Emm
… nggak kok!” jawabku gugup.
“Sepertinya
ada masalah nih?” selidiknya yang membuatku semakin gugup. Dengan mengatur
nafas, kucoba untuk jujur. Karena, sejak kenal kurang lebih satu tahun, aku tak
pernah bisa bohong kepada Lia.
“Aku
kesal dan benci dengan Januari. Gara-gara bulan yang selalu musim hujan ini,
aku menjadi bahan olok-olokkan. Bukan hanya teman sekelas, tetapi juga
sahabatku sendiri!” terangku dengan menahan emosi.
“Kamu
marah, Yanuar!”
“Apa
aku terlihat bercanda? Sudahlah … aku mau ke perpustakaan,” ucapku kesal sambil
berlalu meninggalkan sahabatku. Lia hanya tertegun. Biasanya selalu bisa menyanggaku
tetapi kini diam seribu bahasa.
Sahabat
macam apa? Seharusnya dia mengerti perasaanku. Emosi masih membara di dada.
Ingin rasanya berteriak lalu berlari melawan hujan. Tanpa terasa, bel pulang
sekolah berbunyi. Mungkin karena tidak fokus dengan pelajaran, jadi terasa
cepat. Pikiranku masih bermuara pada Januari dan hujan. Dua hal yang selalu
menggangguku.
“Januari,
hujan berhari-hari. Tidak pulang nih!” Ledek Indra dengan gayanya yang sok kegantengan
tersebut. Pas sekali, saat mau pulang, hujan mengguyur tanah sekolah. Aku hanya
bisa tersenyum kecut mendengarnya.
“Mengapa
sih harus hujan segala?” gerutuku sambil mengamati sekeliling luar kelas yang
mulai sepi. Tuhan, kumohon sekali saja jangan hujan. Gara-gara hujan di bulan
Januari, aku harus makan hati. Aku masih menyandarkan punggung di tembok luar
kelas, sambil menikmati rintik hujan. Seolah hujan menangisi keadaanku akibat
ledekkan mereka.
“Mau
ke parkiran bareng?” tanya Lia sambil membawa payung biru bermotif bunga-bunga.
“Masih
marah nih!” lanjutnya. Aku hanya diam sambil menatap ke depan menikmati hujan
yang semakin deras.
“Yanuar
… mengapa kita harus membenci hujan? Bukankah hujan itu rahmat dari-Nya.”
“Maksudmu?
Jangan sok alim deh!” tukasku sambil menatap kornea cokelat tersebut.
“Hujan
itu anugerah, tanpanya kehidupan tak akan pernah ada. Bersyukur dengan adanya
hujan. Hujan selalu menawarkan aroma cinta dan ketenangan,” terang Lia sambil
menadah tetesan hujan dengan kedua telapak tangannya.
Sesaat
suasana menjadi hening, hanya rintik hujan membuat semua menjadi bisu. Aku
berusaha keras mencerna apa yang sedang dikatakan sahabatku tersebut.
“Apa
pantas kita membenci hujan?” Mata yang teduh itu beralih menatapku.
“Jangan
pernah membenci hujan. Apalagi karena sebuah nama. Konyolkan! Nikmati hujan
tersebut. Ibarat kita kecil dulu, selalu suka hujan-hujanan,” lanjutnya
tersenyum tulus. Lia begitu dewasa cara berpikirnya. Membuat ada desiran halus
merasuk dalam hatiku.
Dalam
balutan jilbab putih lalu perkataannya yang begitu bermakna. Seolah mampu
mencairkan hati yang telah membenci hujan dan bulan Januari. Aku selama ini
terkukung dalam satu arah berpikir. Ternyata, Lia datang untuk menuntun arah
berpikirku. Bahwa, hujan, bulan Januari dan namaku adalah sesuatu yang patut
disyukuri. Seharusnya, aku bisa menjadi hujan selalu menumbuhkan dan menebar
manfaat. Masalah bulan Januari dan namaku adalah dua kata yang saling
mempengaruhi. Kalau aku memang lahir di bulan tersebut.
“Melamun
saja! Mau bareng, tidak?” teriak Lia sambil berlalu menuju parkiran sekolah.
“Tunggu,
dong! Basah semua nih.” Aku berlari menerobos hujan untuk mengejarnya.
Ternyata, Lia lebih cepat dua langkah dariku.
“Jaga
jarak bukan muhrim,” ucapnya sambil tersenyum puas mengerjain aku yang mulai
basah kuyup.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar