Sabtu, 20 Januari 2018

Dancing With The Rain

Dancing With The Rain
Yanuari Purnawan


Apa yang kamu sukai dari hujan? Aku begitu menyukai hujan karena setiap tetesannya menyadarkanku bahwa aku tak sendirian di dunia, yang hancur menjadi kepingan terlupakan.
*
Awan mendung menyelimuti kota Pasuruan, mungkin sebentar lagi hujan segara turun. Aku bersyukur datang lebih awal dari waktu yang telah dijanjikan. Jam tiga sore kafe tempat kita janjian masih sepi dan lenggang, dekorasi ala vintage menambah suasana hangat. Aku memilih duduk di sebelah jendela karena viewnya menghadap ke arah jalan yang tak terlalu ramai.
“Mau pesan apa?” sapa sang pelayan sembari tersenyum.
“Nanti saja, Mbak. Aku sedang menunggu teman!” Sang pelayan pun pamit. Aku menatap kaca di sampingku, di luar tampak gerimis sedang bermanja ria.
Kalimat itu kembali terngiang dipikiranku. Adel, sahabatku sejak sekolah dasar itu selalu tepat menebak apa yang kini melanda perasaanku. Bagai cenayang, dia mengintrogasi semalaman hingga mendamparkan aku di sini untuk bertemu dengannya. Aku yakin ini sangat serius baginya, karena dengan jadwal kerjanya sebagai editor majalah yang begitu sibuk tak mungkin dengan mudah meluangkan waktunya buat bertemu denganku.
Gerimis menjelma menjadi koloni air yang tak mampu di bendung awan hingga membuat sebagian orang sibuk berlindung darinya.  Mataku terfokus pada seorang gadis berkemeja kotak-kotak biru masuk ke dalam kafe. Aku tersenyum lalu melambaikan tangan ke arahnya. Dia pun membalas dengan lambaian lalu menuju ke arah mejaku.
“Maaf, gue telat. Biasa bos zaman old itu selalu menambah jam kerja lebih lima menit!” gerutu Adel sambari menyandarkan punggungnya di tempat duduk. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang begitu kesal terhadap atasannya.
“Sabar, Bu! Mungkin bos loe itu lagi puber kedua jadi suka main aturan sediri.” Cewek berambut sebahu itu terkekeh lalu melambaikan tangan ke arah pelayan.
“Loe mau pesan apa!”
“Emm … cappuchino saja deh!”
Sembari menunggu pesanan aku mengotak-atik smartphoneku yang sedari tadi menunggu notif whatsup darinya, lelaki itu, lelaki mayaku.
“Kita janjian kesini bukan untuk diam-diaman nunggu pokemon lewat kayak gini kan!” sindir Adel yang beberapa menit ini aku acuhkan. Aku hanya terkekeh sambil menautkan jari telunjuk dan tengah membentuk huruf V.
“Seberapa lama lagi loe bertahan untuknya?” Perkataan cewek tomboy tersebut langsung ke inti permasalahan yang kita bahas kemarin malam. Mataku hanya terfokus pada kaca yang menampilkan tetesan air seolah mengamuk, seperti kecamuk di dalam hatiku. Bertahan? Mungkin akulah orang yang paling sabar dalam hal bertahan dalam hubungan seperti ini.
Pesanan pun datang, sedikit memecah kebisuan di antara kita.
“Loe boleh saja betahan untuknya, tapi ingat jangan hancurkan hidup loe untuk perasaan maya tersebut!” lanjut Adel mulai ke inti masalah dari hubunganku dengan seorang lelaki yang selama enam bulan lebih aku kenal. Iya. Adel selalu mengerti dan menerima tentang pilihan hidupku asal itu baik dan membuatku bahagia. Sejak SMP dia sudah mengetahui bahwa aku punya ketertarikan berbeda dengan cowok seusiaku.
“Gue … !” Seolah ada duri menempel di tenggorokan susah sekali untukku menjelaskan perasaanku kepada Adel. Aku mengaduk cappuchinoku sambil menatap hujan yang masih setia dengan hebatnya mengamuk bumi.
“Jika loe masih anggap gue sahabat, gue mohon loe ambil keputusan yang tepat!” Aku menunduk pasrah akan perasaan ini yang tak tahu harus dibawa kemana. Adel benar aku harus segera mengambil keputusan sebelum semua membinasakan diriku selamanya.
Enam bulan lalu, tepatnya di akhir bulan Januari, aku mengenal lelaki itu melalui jejaring social facebook. Awalnya aku hanya menyukai status-statusnya yang begitu mengena di hati lalu merambah ke blog pribadinya yang berisi kumpulan cerita dunia pelangi. Oh Tuhan, aku benar-benar jatuh hati pada setiap tulisannya. Tanpa sadar dan diminta rasa kagum akan karyanya menjelma menjadi rasa suka kepada orangnya. Dari situlah awal benih-benih cinta itu muncul.
   Aku selalu menunggu setiap update terbaru baik itu status ataupun tulisannya. Bagai tersihir aku sangat mencintai apa yang ada pada dirinya atau lebih tepatnya setiap yang dia posting di media sosial. Dari komentar-komentarku mengenai tulisan di blog maupun statusnya yang dia respon dengan cepat. Hingga tanpa sadar hubunganku dengannya tak hanya sekedar antara penulis dengan penggemar, melainkan sudah mulai masuk ke area pribadi bernama perasaan cinta.
‘Hujan mengingatkan pada senyum itu. Dari bibir munggil dan pipi cubbynya.’
Membaca status terbarunya membuat diriku baper. Apa itu untukku? Rindukah dia kepadaku? Benarkah jika status yang dia tulis tersebut buatku. Sambil tersenyum tak jelas aku mengetik di kolom komentar statusnya.
“Cie, buat siapa tuh statusnya, Kak?”
Beberapa menit tak ada tanggapan darinya, biasanya dia begitu cepat membalas komentarku. Namun, kali ini begitu beda, apa yang terjadi dengannya atau aku yang salah tempat berkomentar begitu. Aku benar-benar galau hanya sekedar menunggu balasannya, sedang akun facebooknya dalam tanda online.
“Hai, Lilbro, sorry untuk komentarmu terlalu privasi buatku!”
Oh Tuhan, ini pertama kalinya dia membalas pesan messanggerku. Bagai terbang ke langit dan lupa menginjak bumi, aku begitu bingung untuk membalas pesannya walau kita tak saling bertatap muka langsung.
“Sorry, membuat kakak tidak nyaman dengan komentar tersebut!” balasku dengan harap-harap cemas apakah dia akan membalasnya. Yes! Dia membalasnya dengan emoji jempol gede. Aku tersenyum sendiri dan buru-buru membalas pesannya dengan emoji smile lebar. Semalaman kita saling berbalas emoji tanpa ada kata apapun, tapi mampu membuatku bahagia dan seperti ada kupu-kupu di dalam perutku.
Dari situlah kedekatanku secara pribadi mulai terjalin dengan dia. Aku menyukai cara dia menjawab pesan-pesanku baik itu dalam dunia literasi maupun pribadi. Mungkinkah aku mulai jatuh cinta kepadanya walau kita tak pernah bertemu? Ini gila, tetapi aku menikmati dan menyukai semuanya.
“Hai … gue ke sini bukan untuk menunggu loe melamun!” Adel membuyarkan semua lamunanku tentang dia, entah sedang apa dia sekarang? Kenapa ini? Haruskah aku mengakhirinya. Aku menghela napas panjang lalu kembali menyesap cappuchinoku yang mulai dingin.
“Arya, gue tahu banget perasaan loe kepadanya. Namun, apa mesti loe harus membakar diri loe sendiri!”
Mata Adel tajam menatap diriku, tergambar jelas dari raut wajahnya yang begitu mengkhawatirkan diriku.
“Mungkin ini bukan jalur gue mencampuri urusan personal loe. Namun yang mesti loe ingat gue sahabat loe dan tak ingin melihat loe terluka berlarut-larut seperti ini.”
Perkataan Adel barusan berasa menohok kembali rasa yang masih terpatri di hati ini. Aku menatap hujan yang masih begitu lebat ditambah kilatan petir yang membuat diri ini kecil dan merinding. Bagai lampu blitz kilatan petir mengingatkanku kembali kepadanya yang mungkin tak mengingatku kini.
“Aku mencintai kakak!”
Sudah tiga bulan lebih aku menyimpan semua perasaan ini kepadanya. Entah setan darimana, aku begitu berani menuliskan kalimat tersebut di kolom pesan pribadinya. Biarlah, semua telah terjadi dan aku harus siap menghadapi apa yang akan terjadi nantinya. Semenit, dua menit, hingga lima menit pesanku hanya dibaca saja olehnya. Aku begitu frustasi, apa dia marah kepadaku? Atau apakah dia tidak menyukaiku?
“Sorry, barusan ada urusan. What? Kamu mencintai kakak? Maksudnya?”
Membaca balasan pesan darinya membuat diriku gugup dan bingung harus bagaimana.
“Emm … selama tiga bulan ini aku begitu nyaman dekat dengan kakak. Aku menyukai tulisan kakak, status kakak dan cara kakak membalas pesan dariku. Kak, mungkin ini konyol dan tidak masuk akal, tapi bagaimana lagi aku tak bisa mengontrol rasa ini yang terlanjur menautkan hatiku kepada kakak. Namun, sekali lagi aku tak memaksa kakak untuk juga mencintaiku. Dengan berkata jujur begini, ada sedikit rasa lega di hatiku walau terkesan naif.”
Kembali dia hanya membaca pesan dariku tanpa cepat membalasnya. Apa mungkin dia sedang berpikir dan punya perasaan juga kepadaku. Tuhan jangan hukum aku walau tahu ini salah, tapi aku sungguh mencintainya.
“Dek, selama itu pula kakak juga merasa nyaman. Namun, untuk bilang ini cinta, kakak tak mau buru-buru karena mungkin saja kenyamanan ini hanya sebatas pertemanan dunia maya dan tak lebih dari itu. Kita jalani dulu semuanya, tetap jadi adekku yang lucu, cubby, dan baik.”
Mengingat pesan tersebut aku jadi tersenyum sendiri. Sejak saat itu pula hubunganku dengannya lebih merambat ke area pribadi dibanding lainnya. Tanpa ikatan apapun, aku merasa bahagia karena sejatinya cinta tetaplah cinta walau tanpa embel-embel pacar atau kekasih.
“Gue tak tahu bagaimana bisa menghilangkan bahkan membunuh perasaan ini!”
Terangku sambil menatap lembut wajah sahabat tomboyku tersebut. Adel tersenyum dan menatap kaca jendela kafe yang basah oleh tetesan hujan.
“Apa loe pernah kehujanan?”
Aku bingung mengapa Adel malah memberiku pertanyaan yang tak ada sangkut pautnya dengan perasaanku.
“Setiap orang pasti pernah kehujanan. Bahkan baru kemarin gue kehujanan gara-gara lupa bawa jas hujan.”
Adel terkekeh mendengar jawaban polos dariku. Rasanya ingin aku timpuk dia, tapi aku masih sadar dia adalah sahabat terbaikku satu-satunya.
“Gue memang bukan orang bijak atau lebih tepatnya bukan sahabat yang baik buat loe. Namun, gue ingin bilang ini kepada loe. Seandainya kita kehujanan hanya ada dua pilihan, berlindung atau berbasah ria menikmati hujan. Oke. Sekarang jawab jujur, saat loe kehujanan kemarin loe pilih opsi mana?”
Eh, kok dia malah kasih pertanyaan kembali. Apa yang terjadi dengan otak sahabatku satu ini. Apa karena frustasi dengan sikapku dia jadi seperti ini.
“Mungkin karena gue nggak bawa jas hujan dan terlanjur basah juga, gue memilih menikmati hujan walau akhirnya badan gue terasa sakit semua.”
“Seperti itu pula perasaan loe kepadanya!”
Untuk kesekian kalinya aku dibuat bingung dengan pemikiran Adel. Apa hubungannya lagi antara hujan dan perasaanku.
“Maksud loe, gue harus menikmati perasaan ini?”
Aw! Dia menjitak kepalaku dengan kasarnya lalu menatapku penuh amarah beserta kasihan.
“Oh God, kenapa gue punya sahabat sebodoh loe sih? Oke dengar baik-baik, menurut orang bijak di luar sana, ‘jika diri kamu kebasahan oleh hujan, maka nikmati dan menarilah bersama hujan’ begitupun dengan perasaan loe!”
“Intinya jangan pernah loe berusaha untuk menghapus rasa itu di hati. Namun, nikmati semua dengan keikhlasan dan kerelaan dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Hadapi perasaan itu, jika dia memang terbaik dan pantas diperjuangkan dia pasti akan datang sendiri dengan cara terindah yang belum pernah loe duga sebelumnya.”
Mataku berkaca , tapi tak sampai meneteskan air mata. Perkataan Adel barusan membuka kembali apa yang sebenarnya terjadi pada apa yang sedang bergejolak di dalam dada ini. Perjuangan? Tidak. Lebih tepatnya ini pengorbananku sendiri. Dalam dua minggu ke belakang aku dengannya memang sedang dalam posisi untuk mencari dan menerka apa yang harus kita lakukan ke depannya. Aku sudah terlanjur basah oleh perasaan cinta berlebih kepadanya. Namun yang menjadi pertanyaan besar apakah dia juga memiliki cinta yang sama kepadaku.
“Aku lelah kak harus begini terus. Apakah kakak tidak punya rasa apapun untukku?”
Tulisku di pesan pribadi untuknya. Sudah beberapa hari ini dia tak menjawab pesanku baik itu whatsup maupun messenger. Sungguh kondisi seperti ini membuatku frustasi antara rindu, khawatir, takut dan semuanya berasa campur aduk. Aku sangat mengerti kalau dia orang yang moody-an, tapi bisakah dia meluangkan waktunya sebentar untuk membalas pesanku atau hanya sekedar menuliskan kata ‘hai’ di pesan pribadi.
Enam bulan mengenalnya, aku sudah hafal sekali dengan sifatnya, tapi apakah dia juga sudah mengenal sifatku. Tuhan, kurasa otakku ingin meledak jika sehari saja tanpa kabar darinya. Namun, apa yang terjadi setelah dia mengabaikan pesan dariku? Dengan mudahnya dia menuliskan sebuah status di media sosialnya.
“Mungkin ini saatnya aku harus hiatus dari namanya media sosial.”
Membaca statusnya tersebut membuat dadaku terasa nyeri bagai ada tombak menancap di hatiku. Sakit walau tak berdarah, kutahan air mata ini untuk tak terjatuh. Namun, rasaku untuknya begitu dalam tanpa bisa aku kontrol bening hangat itu mengalir di pipi.
“Kenapa kakak harus hiatus segala dari media sosial? Apa kakak tak memikirkan orang yang mencintai kakak?”
Kalimat itu aku tulis ke pesan whatsupnya,  berharap kali ini dia mau membalas pesan dariku.
Aku bahagia. Ada setitik harapan untukku. Kali ini dia tidak mengabaikan pesanku, tetapi apa yang aku bayangkan menjadi redup seketika tatkala jari ini menekan pesan balasan darinya.
“Nggak usah lebay napa, Dek! Kakak cuma hiatus bukan meninggal.”
Apa yang terjadi dengan otaknya, pernahkah dia menghargai sedikit saja perasaanku. Enam bulan bukan sebentar kedekatan kita terjalin. Namun, beginikah apa yang dia rasakan kepada.
“Mungkin bagi kakak ini lebay, tapi bagiku ini adalah rasa yang ada di hatiku. Jujur aku takut jika kakak harus meninggalkanku. Kakak pasti tahu apa yang pernah terjadi pada hidupku dulu. Atau kakak sengaja ingin mengulang sejarah kelam untukku!”
Kukeluarkan segela keluh kesah yang selama ini terpendam di dalam hati ini untuknya. Tak perlu waktu  lama dia pun menanggapi pesanku tersebut.
“Dek, sekali lagi aku bilang sebelum dirimu terbang hingga lupa memijak tanah. Ingat pada realita hidupmu, ini bukan sekedar cerita fiksi atau drama korea.”
“Iya, aku paham itu, tapi bisakah kakak tidak pergi untukku?”
“Dari dulu aku tak pernah menahanmu, Dek. Aku selalu bicara kenyataan, lupakan semua rasa itu untukku, tak mungkin kita bersatu. Maaf. Kukatakan aku hanya menganggap kamu teman tak bisa lebih dari itu!”
Jleb! Serasa ada jutaan anak panah menembus dada dan hati hingga aku mati rasa. Jahat. Kata itu yang mampu terucap dari mulut ini. Sekejam itukah dia sebenarnya, enam bulan seakan memberiku angin surga, tapi apa kini yang dia beri, bara api neraka yang membakar diriku sendiri menjadi abu.
“Apa loe sanggup menari bersama perasaanmu?”
Tangan Adel mengenggam jemariku, seakan memberiku kekuatan untuk tetap tegar dan bangkit lagi. Gara-gara kejadian itu pula yang membuatku bersamanya duduk di meja kafe ini. Aku bersyukur masih punya sahabat yang begitu baik dan peduli kepadaku. Terima kasih Adel, kamu masih sudi menerima sahabat bodohmu ini dan kumohon pada Tuhan untuk selalu menjagamu dalam kebahagian serta kebaikan.
Aku mengangguk sambil menatap wajah sahabatku tersebut. Ada raut lega dari wajahnya yang tak cantik itu. Namun, aku begitu menyayangi dia yang begitu ajaib dengan sikap dia dalam menasihatiku.
Hujan kini menyisahkan tetesan gerimis, mobil dan motor mulai memecah jalanan yang sedari tadi lenggang diamuk hujan.
“Sudah sore nih, gue harus cabut dulu sebelum magrib gue harus sampai  rumah. Loe taukan nomor yang harus loe hubungi jika butuh teman curhat!” ucap Adel sebelum berpamitan. Aku kembali tersenyum dan memeluknya sebentar. Tubuh mungilnya pun menghilang di balik pintu kafe. Sedang aku masih tertegun menatap kaca yang basah oleh hujan barusan, cappuchino pun telah habis. Entah mengapa aku masih betah di sini atau lebih tepatnya memberi jeda pada diriku untuk memahami nasihat Adel.
Aku pun membuka jurnal pribadiku dan menuliskan sesuatu yang masih mengganjal di dalam hati. Mungkin dengan sedikit menuliskannya akan mengurangi beban yang kurasa kini.
Pada hujan yang pernah mengetuk hatiku
Izinkan aku menikmati setiap tetesmu
Walau aku tak mampu menjamahmu dalam nyataku
Biarkan aku menikmati alunan simponimu
Biarkan aku menari bersama senandungmu

Pada hujan yang menyebut namamu
Mengusik rinduku dalam setiap tetesmu
Mengalir dalam denyut nadiku
Membasahi setiap ragaku
Biarkan aku menikmati tarian bersamamu

Pada hujan kemarin, hari ini, dan esok
Biarkan aku menyebut namamu
Namamu yang pernah membasahi hati ini
Namamu …
Iya, namamu yang kukenang dalam hujan
Walau dirimu adalah kemarau

_Untukmu Lelakiku, Triawan Al Ghifari_

Selesai














Tidak ada komentar:

Posting Komentar