Dancing With The Rain
Yanuari
Purnawan
Apa yang kamu sukai
dari hujan? Aku begitu menyukai hujan karena setiap tetesannya menyadarkanku
bahwa aku tak sendirian di dunia, yang hancur menjadi kepingan terlupakan.
*
Awan
mendung menyelimuti kota Pasuruan, mungkin sebentar lagi hujan segara turun.
Aku bersyukur datang lebih awal dari waktu yang telah dijanjikan. Jam tiga sore
kafe tempat kita janjian masih sepi dan lenggang, dekorasi ala vintage menambah
suasana hangat. Aku memilih duduk di sebelah jendela karena viewnya menghadap
ke arah jalan yang tak terlalu ramai.
“Mau
pesan apa?” sapa sang pelayan sembari tersenyum.
“Nanti
saja, Mbak. Aku sedang menunggu teman!” Sang pelayan pun pamit. Aku menatap
kaca di sampingku, di luar tampak gerimis sedang bermanja ria.
Kalimat
itu kembali terngiang dipikiranku. Adel, sahabatku sejak sekolah dasar itu
selalu tepat menebak apa yang kini melanda perasaanku. Bagai cenayang, dia
mengintrogasi semalaman hingga mendamparkan aku di sini untuk bertemu dengannya.
Aku yakin ini sangat serius baginya, karena dengan jadwal kerjanya sebagai
editor majalah yang begitu sibuk tak mungkin dengan mudah meluangkan waktunya
buat bertemu denganku.
Gerimis
menjelma menjadi koloni air yang tak mampu di bendung awan hingga membuat
sebagian orang sibuk berlindung darinya. Mataku terfokus pada seorang gadis berkemeja
kotak-kotak biru masuk ke dalam kafe. Aku tersenyum lalu melambaikan tangan ke
arahnya. Dia pun membalas dengan lambaian lalu menuju ke arah mejaku.
“Maaf,
gue telat. Biasa bos zaman old itu selalu menambah jam kerja lebih lima menit!”
gerutu Adel sambari menyandarkan punggungnya di tempat duduk. Aku tersenyum
melihat tingkahnya yang begitu kesal terhadap atasannya.
“Sabar,
Bu! Mungkin bos loe itu lagi puber kedua jadi suka main aturan sediri.” Cewek
berambut sebahu itu terkekeh lalu melambaikan tangan ke arah pelayan.
“Loe
mau pesan apa!”
“Emm
… cappuchino saja deh!”
Sembari
menunggu pesanan aku mengotak-atik smartphoneku yang sedari tadi menunggu notif
whatsup darinya, lelaki itu, lelaki mayaku.
“Kita
janjian kesini bukan untuk diam-diaman nunggu pokemon lewat kayak gini kan!”
sindir Adel yang beberapa menit ini aku acuhkan. Aku hanya terkekeh sambil
menautkan jari telunjuk dan tengah membentuk huruf V.
“Seberapa
lama lagi loe bertahan untuknya?” Perkataan cewek tomboy tersebut langsung ke
inti permasalahan yang kita bahas kemarin malam. Mataku hanya terfokus pada
kaca yang menampilkan tetesan air seolah mengamuk, seperti kecamuk di dalam
hatiku. Bertahan? Mungkin akulah orang yang paling sabar dalam hal bertahan
dalam hubungan seperti ini.
Pesanan
pun datang, sedikit memecah kebisuan di antara kita.
“Loe
boleh saja betahan untuknya, tapi ingat jangan hancurkan hidup loe untuk
perasaan maya tersebut!” lanjut Adel mulai ke inti masalah dari hubunganku
dengan seorang lelaki yang selama enam bulan lebih aku kenal. Iya. Adel selalu
mengerti dan menerima tentang pilihan hidupku asal itu baik dan membuatku
bahagia. Sejak SMP dia sudah mengetahui bahwa aku punya ketertarikan berbeda
dengan cowok seusiaku.
“Gue
… !” Seolah ada duri menempel di tenggorokan susah sekali untukku menjelaskan
perasaanku kepada Adel. Aku mengaduk cappuchinoku sambil menatap hujan yang
masih setia dengan hebatnya mengamuk bumi.
“Jika
loe masih anggap gue sahabat, gue mohon loe ambil keputusan yang tepat!” Aku
menunduk pasrah akan perasaan ini yang tak tahu harus dibawa kemana. Adel benar
aku harus segera mengambil keputusan sebelum semua membinasakan diriku
selamanya.
Enam
bulan lalu, tepatnya di akhir bulan Januari, aku mengenal lelaki itu melalui
jejaring social facebook. Awalnya aku hanya menyukai status-statusnya yang
begitu mengena di hati lalu merambah ke blog pribadinya yang berisi kumpulan
cerita dunia pelangi. Oh Tuhan, aku benar-benar jatuh hati pada setiap
tulisannya. Tanpa sadar dan diminta rasa kagum akan karyanya menjelma menjadi
rasa suka kepada orangnya. Dari situlah awal benih-benih cinta itu muncul.
Aku selalu menunggu setiap update terbaru
baik itu status ataupun tulisannya. Bagai tersihir aku sangat mencintai apa
yang ada pada dirinya atau lebih tepatnya setiap yang dia posting di media
sosial. Dari komentar-komentarku mengenai tulisan di blog maupun statusnya yang
dia respon dengan cepat. Hingga tanpa sadar hubunganku dengannya tak hanya
sekedar antara penulis dengan penggemar, melainkan sudah mulai masuk ke area
pribadi bernama perasaan cinta.
‘Hujan mengingatkan
pada senyum itu. Dari bibir munggil dan pipi cubbynya.’
Membaca
status terbarunya membuat diriku baper. Apa itu untukku? Rindukah dia kepadaku?
Benarkah jika status yang dia tulis tersebut buatku. Sambil tersenyum tak jelas
aku mengetik di kolom komentar statusnya.
“Cie,
buat siapa tuh statusnya, Kak?”
Beberapa
menit tak ada tanggapan darinya, biasanya dia begitu cepat membalas komentarku.
Namun, kali ini begitu beda, apa yang terjadi dengannya atau aku yang salah
tempat berkomentar begitu. Aku benar-benar galau hanya sekedar menunggu
balasannya, sedang akun facebooknya dalam tanda online.
“Hai,
Lilbro, sorry untuk komentarmu terlalu privasi buatku!”
Oh
Tuhan, ini pertama kalinya dia membalas pesan messanggerku. Bagai terbang ke
langit dan lupa menginjak bumi, aku begitu bingung untuk membalas pesannya
walau kita tak saling bertatap muka langsung.
“Sorry,
membuat kakak tidak nyaman dengan komentar tersebut!” balasku dengan
harap-harap cemas apakah dia akan membalasnya. Yes! Dia membalasnya dengan
emoji jempol gede. Aku tersenyum sendiri dan buru-buru membalas pesannya dengan
emoji smile lebar. Semalaman kita saling berbalas emoji tanpa ada kata apapun,
tapi mampu membuatku bahagia dan seperti ada kupu-kupu di dalam perutku.
Dari
situlah kedekatanku secara pribadi mulai terjalin dengan dia. Aku menyukai cara
dia menjawab pesan-pesanku baik itu dalam dunia literasi maupun pribadi.
Mungkinkah aku mulai jatuh cinta kepadanya walau kita tak pernah bertemu? Ini
gila, tetapi aku menikmati dan menyukai semuanya.
“Hai
… gue ke sini bukan untuk menunggu loe melamun!” Adel membuyarkan semua
lamunanku tentang dia, entah sedang apa dia sekarang? Kenapa ini? Haruskah aku
mengakhirinya. Aku menghela napas panjang lalu kembali menyesap cappuchinoku
yang mulai dingin.
“Arya,
gue tahu banget perasaan loe kepadanya. Namun, apa mesti loe harus membakar
diri loe sendiri!”
Mata
Adel tajam menatap diriku, tergambar jelas dari raut wajahnya yang begitu
mengkhawatirkan diriku.
“Mungkin
ini bukan jalur gue mencampuri urusan personal loe. Namun yang mesti loe ingat
gue sahabat loe dan tak ingin melihat loe terluka berlarut-larut seperti ini.”
Perkataan
Adel barusan berasa menohok kembali rasa yang masih terpatri di hati ini. Aku
menatap hujan yang masih begitu lebat ditambah kilatan petir yang membuat diri
ini kecil dan merinding. Bagai lampu blitz kilatan petir mengingatkanku kembali
kepadanya yang mungkin tak mengingatku kini.
“Aku
mencintai kakak!”
Sudah
tiga bulan lebih aku menyimpan semua perasaan ini kepadanya. Entah setan
darimana, aku begitu berani menuliskan kalimat tersebut di kolom pesan
pribadinya. Biarlah, semua telah terjadi dan aku harus siap menghadapi apa yang
akan terjadi nantinya. Semenit, dua menit, hingga lima menit pesanku hanya
dibaca saja olehnya. Aku begitu frustasi, apa dia marah kepadaku? Atau apakah
dia tidak menyukaiku?
“Sorry,
barusan ada urusan. What? Kamu mencintai kakak? Maksudnya?”
Membaca
balasan pesan darinya membuat diriku gugup dan bingung harus bagaimana.
“Emm
… selama tiga bulan ini aku begitu nyaman dekat dengan kakak. Aku menyukai
tulisan kakak, status kakak dan cara kakak membalas pesan dariku. Kak, mungkin
ini konyol dan tidak masuk akal, tapi bagaimana lagi aku tak bisa mengontrol
rasa ini yang terlanjur menautkan hatiku kepada kakak. Namun, sekali lagi aku
tak memaksa kakak untuk juga mencintaiku. Dengan berkata jujur begini, ada sedikit
rasa lega di hatiku walau terkesan naif.”
Kembali
dia hanya membaca pesan dariku tanpa cepat membalasnya. Apa mungkin dia sedang
berpikir dan punya perasaan juga kepadaku. Tuhan jangan hukum aku walau tahu
ini salah, tapi aku sungguh mencintainya.
“Dek,
selama itu pula kakak juga merasa nyaman. Namun, untuk bilang ini cinta, kakak
tak mau buru-buru karena mungkin saja kenyamanan ini hanya sebatas pertemanan
dunia maya dan tak lebih dari itu. Kita jalani dulu semuanya, tetap jadi adekku
yang lucu, cubby, dan baik.”
Mengingat
pesan tersebut aku jadi tersenyum sendiri. Sejak saat itu pula hubunganku
dengannya lebih merambat ke area pribadi dibanding lainnya. Tanpa ikatan
apapun, aku merasa bahagia karena sejatinya cinta tetaplah cinta walau tanpa
embel-embel pacar atau kekasih.
“Gue
tak tahu bagaimana bisa menghilangkan bahkan membunuh perasaan ini!”
Terangku
sambil menatap lembut wajah sahabat tomboyku tersebut. Adel tersenyum dan
menatap kaca jendela kafe yang basah oleh tetesan hujan.
“Apa
loe pernah kehujanan?”
Aku
bingung mengapa Adel malah memberiku pertanyaan yang tak ada sangkut pautnya
dengan perasaanku.
“Setiap
orang pasti pernah kehujanan. Bahkan baru kemarin gue kehujanan gara-gara lupa
bawa jas hujan.”
Adel
terkekeh mendengar jawaban polos dariku. Rasanya ingin aku timpuk dia, tapi aku
masih sadar dia adalah sahabat terbaikku satu-satunya.
“Gue
memang bukan orang bijak atau lebih tepatnya bukan sahabat yang baik buat loe.
Namun, gue ingin bilang ini kepada loe. Seandainya kita kehujanan hanya ada dua
pilihan, berlindung atau berbasah ria menikmati hujan. Oke. Sekarang jawab
jujur, saat loe kehujanan kemarin loe pilih opsi mana?”
Eh,
kok dia malah kasih pertanyaan kembali. Apa yang terjadi dengan otak sahabatku
satu ini. Apa karena frustasi dengan sikapku dia jadi seperti ini.
“Mungkin
karena gue nggak bawa jas hujan dan terlanjur basah juga, gue memilih menikmati
hujan walau akhirnya badan gue terasa sakit semua.”
“Seperti
itu pula perasaan loe kepadanya!”
Untuk
kesekian kalinya aku dibuat bingung dengan pemikiran Adel. Apa hubungannya lagi
antara hujan dan perasaanku.
“Maksud
loe, gue harus menikmati perasaan ini?”
Aw!
Dia menjitak kepalaku dengan kasarnya lalu menatapku penuh amarah beserta
kasihan.
“Oh
God, kenapa gue punya sahabat sebodoh loe sih? Oke dengar baik-baik, menurut
orang bijak di luar sana, ‘jika diri kamu kebasahan oleh hujan, maka nikmati
dan menarilah bersama hujan’ begitupun dengan perasaan loe!”
“Intinya
jangan pernah loe berusaha untuk menghapus rasa itu di hati. Namun, nikmati
semua dengan keikhlasan dan kerelaan dengan apa yang akan terjadi ke depannya.
Hadapi perasaan itu, jika dia memang terbaik dan pantas diperjuangkan dia pasti
akan datang sendiri dengan cara terindah yang belum pernah loe duga
sebelumnya.”
Mataku
berkaca , tapi tak sampai meneteskan air mata. Perkataan Adel barusan membuka
kembali apa yang sebenarnya terjadi pada apa yang sedang bergejolak di dalam
dada ini. Perjuangan? Tidak. Lebih tepatnya ini pengorbananku sendiri. Dalam dua
minggu ke belakang aku dengannya memang sedang dalam posisi untuk mencari dan
menerka apa yang harus kita lakukan ke depannya. Aku sudah terlanjur basah oleh
perasaan cinta berlebih kepadanya. Namun yang menjadi pertanyaan besar apakah
dia juga memiliki cinta yang sama kepadaku.
“Aku
lelah kak harus begini terus. Apakah kakak tidak punya rasa apapun untukku?”
Tulisku
di pesan pribadi untuknya. Sudah beberapa hari ini dia tak menjawab pesanku
baik itu whatsup maupun messenger. Sungguh kondisi seperti ini membuatku
frustasi antara rindu, khawatir, takut dan semuanya berasa campur aduk. Aku
sangat mengerti kalau dia orang yang moody-an, tapi bisakah dia meluangkan
waktunya sebentar untuk membalas pesanku atau hanya sekedar menuliskan kata
‘hai’ di pesan pribadi.
Enam
bulan mengenalnya, aku sudah hafal sekali dengan sifatnya, tapi apakah dia juga
sudah mengenal sifatku. Tuhan, kurasa otakku ingin meledak jika sehari saja
tanpa kabar darinya. Namun, apa yang terjadi setelah dia mengabaikan pesan
dariku? Dengan mudahnya dia menuliskan sebuah status di media sosialnya.
“Mungkin
ini saatnya aku harus hiatus dari namanya media sosial.”
Membaca
statusnya tersebut membuat dadaku terasa nyeri bagai ada tombak menancap di
hatiku. Sakit walau tak berdarah, kutahan air mata ini untuk tak terjatuh.
Namun, rasaku untuknya begitu dalam tanpa bisa aku kontrol bening hangat itu
mengalir di pipi.
“Kenapa
kakak harus hiatus segala dari media sosial? Apa kakak tak memikirkan orang
yang mencintai kakak?”
Kalimat
itu aku tulis ke pesan whatsupnya,
berharap kali ini dia mau membalas pesan dariku.
Aku
bahagia. Ada setitik harapan untukku. Kali ini dia tidak mengabaikan pesanku,
tetapi apa yang aku bayangkan menjadi redup seketika tatkala jari ini menekan pesan
balasan darinya.
“Nggak
usah lebay napa, Dek! Kakak cuma hiatus bukan meninggal.”
Apa
yang terjadi dengan otaknya, pernahkah dia menghargai sedikit saja perasaanku.
Enam bulan bukan sebentar kedekatan kita terjalin. Namun, beginikah apa yang
dia rasakan kepada.
“Mungkin
bagi kakak ini lebay, tapi bagiku ini adalah rasa yang ada di hatiku. Jujur aku
takut jika kakak harus meninggalkanku. Kakak pasti tahu apa yang pernah terjadi
pada hidupku dulu. Atau kakak sengaja ingin mengulang sejarah kelam untukku!”
Kukeluarkan
segela keluh kesah yang selama ini terpendam di dalam hati ini untuknya. Tak
perlu waktu lama dia pun menanggapi
pesanku tersebut.
“Dek,
sekali lagi aku bilang sebelum dirimu terbang hingga lupa memijak tanah. Ingat
pada realita hidupmu, ini bukan sekedar cerita fiksi atau drama korea.”
“Iya,
aku paham itu, tapi bisakah kakak tidak pergi untukku?”
“Dari
dulu aku tak pernah menahanmu, Dek. Aku selalu bicara kenyataan, lupakan semua
rasa itu untukku, tak mungkin kita bersatu. Maaf. Kukatakan aku hanya
menganggap kamu teman tak bisa lebih dari itu!”
Jleb!
Serasa ada jutaan anak panah menembus dada dan hati hingga aku mati rasa.
Jahat. Kata itu yang mampu terucap dari mulut ini. Sekejam itukah dia
sebenarnya, enam bulan seakan memberiku angin surga, tapi apa kini yang dia
beri, bara api neraka yang membakar diriku sendiri menjadi abu.
“Apa
loe sanggup menari bersama perasaanmu?”
Tangan
Adel mengenggam jemariku, seakan memberiku kekuatan untuk tetap tegar dan
bangkit lagi. Gara-gara kejadian itu pula yang membuatku bersamanya duduk di
meja kafe ini. Aku bersyukur masih punya sahabat yang begitu baik dan peduli
kepadaku. Terima kasih Adel, kamu masih sudi menerima sahabat bodohmu ini dan
kumohon pada Tuhan untuk selalu menjagamu dalam kebahagian serta kebaikan.
Aku
mengangguk sambil menatap wajah sahabatku tersebut. Ada raut lega dari wajahnya
yang tak cantik itu. Namun, aku begitu menyayangi dia yang begitu ajaib dengan
sikap dia dalam menasihatiku.
Hujan
kini menyisahkan tetesan gerimis, mobil dan motor mulai memecah jalanan yang
sedari tadi lenggang diamuk hujan.
“Sudah
sore nih, gue harus cabut dulu sebelum magrib gue harus sampai rumah. Loe taukan nomor yang harus loe
hubungi jika butuh teman curhat!” ucap Adel sebelum berpamitan. Aku kembali
tersenyum dan memeluknya sebentar. Tubuh mungilnya pun menghilang di balik
pintu kafe. Sedang aku masih tertegun menatap kaca yang basah oleh hujan
barusan, cappuchino pun telah habis. Entah mengapa aku masih betah di sini atau
lebih tepatnya memberi jeda pada diriku untuk memahami nasihat Adel.
Aku
pun membuka jurnal pribadiku dan menuliskan sesuatu yang masih mengganjal di
dalam hati. Mungkin dengan sedikit menuliskannya akan mengurangi beban yang
kurasa kini.
Pada hujan yang pernah
mengetuk hatiku
Izinkan aku menikmati
setiap tetesmu
Walau aku tak mampu
menjamahmu dalam nyataku
Biarkan aku menikmati
alunan simponimu
Biarkan aku menari
bersama senandungmu
Pada hujan yang
menyebut namamu
Mengusik rinduku dalam
setiap tetesmu
Mengalir dalam denyut
nadiku
Membasahi setiap ragaku
Biarkan aku menikmati
tarian bersamamu
Pada hujan kemarin,
hari ini, dan esok
Biarkan aku menyebut
namamu
Namamu yang pernah
membasahi hati ini
Namamu …
Iya, namamu yang
kukenang dalam hujan
Walau dirimu adalah
kemarau
_Untukmu Lelakiku,
Triawan Al Ghifari_
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar