Kini Selamanya
Oleh
: Yanuari Purnawan
“Tuhan
tidak adil, mengapa Dia berikan semua ini kepadaku. Aku ingin seperti mereka
menikmati masa muda, bebas, gaul dan jalan-jalan bersama teman-teman sebaya.
Ah! Ini cuma mimpi dan mimpi belaka,” gumam seorang pemuda kurus sambil
mengamati sekitar di luar jendela kamar. Ada perasaan iri dan cemburu di dalam
hatinya.
“Sayang,
ada apa kok melamun sendiri di kamar?” Sebuah tepukan lembut dari seorang
wanita di pundaknya membuat lamunan itu hilang walau masih menyisahkan luka di
hati.
“Ibu
… tidak ada apa-apa kok!” Tatapan itu membuat dia tidak bisa bohong kepada
wanita yang telah melahirkannya.
“Panji,
jangan bohong sama ibu! Ibu mengerti kamu sedang menyimpan sesuatu di dalam
hati.”
“Bu,
Tuhan itu tidak adilnya! Seharusnya panji sekarang bisa sekolah, main dan
berprestasi. Bukan seperti ini menjadi benalu,” jawab Panji, pemuda berusia
tujuh belas tahun itu yang sudah harus menerima kenyataan pahit dalam hidupnya.
“Sayang,
ingat Tuhan memberi kita ujian bukan karena tidak sayang kepada hamba-Nya.
Semua itu semata untuk meningkatkan derajat hamba-Nya yang tetap sabar, bangkit
dan bersyukur. Ibu yakin Panji bisa berprestasi mungkin bukan saat ini tetapi
percaya esok ada hari indah yang telah disiapkan oleh-Nya untuk Panji.” Nasehat
dari ibunya mampu membuat bulir hangat luruh membasahi pipi Panji. Dipeluk
wanita yang selama beberapa bulan belakangan berjuang sendiri untuk menghidupi
anaknya sebagai buruh cuci.
Semangat
Panji mulai membara untuk menyambung hidupnya kembali. Kalimat yang keluar dari
bibir ibunya ibarat mantra sakti untuk membuka mata hatinya. Kini, Panji mulai
menata ulang langkah hidupnya, dia tidak mau terus-terusan menjadi benalu
terutama bagi wanita yang banyak berkorban untuknya.
Di
ambilnya sebuah krek sebagai
pengganti kaki kanan yang sudah diamputasi akibat kecelakaan. Dan peristiwa
kelam tersebut juga harus meninggal luka yang begitu dalam bagi keluarga
tersebut. Ayah yang menjadi tulang punggung harus meninggalkan mereka untuk
selamanya. Berat, apalagi Panji juga harus meneruskan ke perguruan tinggi.
Tetapi nasib berkata lain, dia harus merelakan impiannya untuk bisa menyandang
status mahasiswa.
Dengan
berjalan tertatih, dia menuju mushalla dekat rumahnya. Di tempat tersebut, dia
curahkan apa yang terpendam di hatinya.
“Ya … Allah, hamba percaya tidak ada ujian
yang Kau beri di luar batas kemampuannya hamba-Mu. Maka berkahi dan kuatkan
setiap langkah hamba menuju kebaikan yang telah Kau gariskan.”
Episode
baru telah dimulai, binar semangat telah mengisi ke dalam sorot matanya. Panji,
tak ingin terpuruk lagi. Bangkit adalah jalan yang harus dia tempuh kini.
“Apa
yang ingin kamu lakukan, Nak?” tanya ibunya penuh kecemasan.
“Ibu,
tenang saja. Alhamdulilah, Panji
dapat kerja,” jawab Panji begitu semangat untuk memulai hari pertama kerja.
“Alhamdulilah, memang kerja apa, Nak?”
“Pak
Budi menyuruhku menjaga warnet, kebetulan beliau butuh orang yang mengerti
tentang dunia komputer.” Mata itu lagi-lagi menunjukan jiwa pemuda yang penuh
optimisme.
Warnet
tempat kerjanya tak jauh dari rumah, sehingga dia bisa berangkat dengan
berjalan. Masih ada sebersit rasa khawatir yang hinggap dari wanita tua itu
melihat anaknya harus berjalan kaki sejauh satu kilometer menggunakan krek. Mungkin bagi manusia normal jarak
tersebut tidak menjadi masalah, tetapi bagi sosok Panji mungkin butuh tenaga
ekstra agar sampai dengan selamat.
Panji
bekerja dengan ulet dan cekatan walau dalam keterbatasan. Membuat sosoknya
menjadi kesayangan Pak Budi selaku bosnya. Hal yang membuatnya lebih di mata
Pak Budi, pria berusia tiga puluhan tersebut adalah Panji tidak pernah
meninggalkan shalat lima waktu. Setiap azan berkumandang dia selalu bergegas
untuk memenuhi panggilan-Nya, tanpa beban sama sekali. Sangat kontras dengan
remaja saat ini yang lebih memilih hang out
di kafe, main game online hingga lupa
waktu dan kencan sama pacar yang belum halal.
Panji
sekaligus memanfaat kerjanya dengan menggunakan fasilitas yang ada dengan
maksimal. Disela pekerjaan menjaga internet, dia juga belajar menjadi reseller bisnis online dengan membuat
blog. Pak Budi yang mengetahui hal tersebut memberi restu malah menyuruhnya
untuk memasarkan tempat warnetnya.
Sehari,
seminggu hingga satu bulan bisnis online Panji ternyata tak berjalan sesuai
harapan. Komentar sinis kembali terlontar kepada pemuda cacat tersebut.
“Mimpi
mau sukses, jalan saja susah.” Begitulah ocehan orang sekitar melihat kegigihan
Panji untuk meraih mimpinya. Panji hanya mampu tersenyum menanggapi komentar
sinis tersebut. Dia percaya suatu saat dia akan berhasil.
“Bu,
memang orang cacat kayak Panji tidak layak untuk sukses?” tanya Panji sambil
rebahan diatas paha ibunya. Dengan lembut ibunya membelai rambut anak semata
wayang tersebut.
“Panji
masih muda, kuat dan cerdas, jadi tidak ada alasan untuk sukses. Walaupun
kondisi Panji tak sempurna. Ingat pesan, Ibu. Sesungguhnya kecacatan sejati itu
jika dia punya hati, mata, tangan dan kaki yang sempurna tetapi tidak digunakan
untuk mengagungkan asma-Nya.” Kembali energi positif menjalar ke dalam jiwa
mudanya.
Langkah
itu semakin pasti walau cibiran kerap terlontar dari mulut orang yang tak suka
dengannya. Baginya, keterbatasan dan masa muda adalah dua hal yang berbeda
tetapi bisa saling mengikat. Panji masih semangat bekerja menjaga warnet. Warnetnya
semakin hari semakin ramai hingga Pak Budi akan membuka cabang baru. Dan yang
dipercaya untuk mengelolanya adalah panji.
Mendengar
kabar itu, pemuda tujuh belas tahun tersebut bersyukur akan amanah barunya. Dia
berjanji akan bekerja secara optimal. Remaja seusianya, biasa masih
menengadahkan tangan meminta uang kepada orang tuanya. Beda dengan remaja
bernama Panji, sekarang dia menyuruh ibunya berhneti jadi buruh cuci. Karena
uang yang diperoleh dari hasil kerja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bukan
hanya itu, remaja yang selalu rajin shalat berjamaah di masjid tersebut
mendapat apresiasi dalam bisnis onlinenya. Beberapa hasil dagangan yang
dipromosikan lewat internet tersebut laris manis di pasaran. Ada beberapa
perusahaan yang menawarkan kerja sama untuk pemasaran produknya.
Ternyata,
pencapaian Panji tidak lantas membuatnya besar kepala. Dari penghasilannya, dia
sisihkan untuk membantu para penyandang cacat agar mampu bersaing dan bekarya.
“Nak,
jangan terlena dengan nikmat ini. Semua hanya titipan, bersyukur dan berbagi
itu adalah cara aman untuk menjaganya.” Sebuah nasehat seorang ibu kepada
anaknya yang masih remaja dan belajar tumbuh menjadi dewasa.
Kini
dan selamanya, remaja cacat tersebut telah membuktikan. Keterbatasan bukan
halangan, apalagi diusia yang masih muda. Usia yang gemilang untuk bekarya dan
berprestasi. Bukan mengeluh dan bergalau ria terhadap nasib. Gunakan masa
mudamu sebelum masa tuamu.
Selesai