Restu Bumi adalah cerpen yang sempat mengalami Save-Delete berulang kali. Dan akhirnya dengan napas lega selesai juga. Maaf jika cerpen kali ini atau memang semua cerpenku tidak memuaskan hati para reader (Ceileh … emang punya pembaca ge er amat^^). Intinya jangan lupa kasih kritik dan sarannya. Selamat membaca!
Restu Bumi
Yanuari
Purnawan
Pemuda
tujuh belas tahun itu mengadu kesakitan. Di ruang bangsal rumah sakit tersebut
dia menahan untuk tidak meneteskan air mata. Tangan lembut seorang wanita paruh
baya dengan penuh kasih sayang mengelus-elus wajah pemuda yang sedang menahan
sakit itu. Sang wanita paruh bayu itupun berusaha untuk tetap tegar di depan
anak semata wayangnya.
“Bu
… sakit …!” teriak sang anak sambil menggenggam erat tangan ibunya. Sang ibu
berusaha menenangkan anaknya.
“Sabar
ya, sayang! Bentar lagi dokternya datang.” Air mata sang ibu pun terjatuh
membasahi pipinya yang keriput di makan usia. Bagaimanapun hati ibu mana yang
tidak sedih kalau melihat darah dagingnya menangis kesakitan.
Hingga
beberapa menit kemudian, seorang dokter pria muda menghampiri bangsal tempat
pemuda yang kesakitan tersebut.
“Dengan
keluarga Bu Nurhayati?” tanya sang dokter yang diikuti dengan seorang suster.
Sang ibu mengangguk menjawab pertanyaan sang dokter tanpa melepas jemarinya
yang digenggam sang anak.
“Saya Dokter Restu Pradipta ahli bedah tulang,”
ucap Dokter Restu memperkenalkan diri sebelum memeriksa sang pemuda. Mata Dokter
Restu memandang sang pemuda itu dengan rasa iba dan kagum. Iba karena tampak
begitu kesakitan dan kagum dengan wajahnya yang begitu manis.
“Mana
yang sakit, Dek?” tanya Dokter Restu, entah mengapa tiba-tiba dia memanggil
pasiennya dengan sebutan ‘Adek’. Mungkin bagi Dokter Restu karena usia sang
pasien lebih muda darinya. Sang pemuda yang kesakitan tersebut menunjuk
pergelanggan kakinya. Spontan Dokter Restu memeriksa pergelangan kaki sang
pemuda. Dia sempat tertegun melihat kaki sang pemuda, mulus seperti kaki anak
perempuan.
“Suster,
minta foto sito ekstremitas bawah
lalu bawah foto basahnya pada saya,” ucap Dokter Restu kepada sang suster yang
begitu cekatan menulis perintahnya.
“Bagaimana,
Dok, kaki anak saya?” tanya Bu Nurhayati dengan nada penuh kekhawatiran.
“Dari
hasil foto nanti kita bisa lihat lebih jelas,” ucap Dokter Restu lalu pergi
meninggalkan ruang bangsal tersebut. Ada setitik rasa entah itu apa yang begitu
halus menyergap Dokter Restu tatkala matanya memandang sang pemuda tersebut.
Mungkin hanya takdir yang mampu menerjemahkan semua rasa itu.
*
Dokter
Restu begidik melihat hasil foto sang pemuda tersebut. Dokter muda itu terlihat
kalut dengan apa yang dia lihat ini. Kasihan pemuda seusianya harus berjuang
melawan penyakit yang begitu berbahaya.
“Kemungkinan
besar osteosarkoma,” ucap Dokter
Restu lirih.
Osteosarkoma
adalah kanker ganas yang menyerang tulang. Kemudian Dokter Restu menghubungi
suster untuk segera melakukan CT scan.
“Lakukan
CT scan untuk pasien Bumi Syailendra!”
Nama
yang begitu indah, seindah paras sang pemilik nama tersebut. Bagaimanapun dia adalah pasienmu, ingat itu
Restu. Pikiran Dokter Restu tidak hanya terfokus pada penyakit sang pemuda
itu, tetapi juga kepada diri sang pemuda tersebut.
Setelah
melihat hasil CT scan, memang menyokong diagnosis Dokter Restu.
“Segera
lakukan biopsi agar kita bisa menentukan tingkat keganasan kanker secara
histologis,” perintah Dokter Restu. “Panggil pasiennya,” lanjutnya datar.
*
“Masih
sakit?” Pemuda yang usianya kira-kira tujuh belas tahun itu mengerjap menatap
sang pemilik suara. Matanya lekat memandang dokter muda di depannya. Dokter
ganteng nan menawan pikirnya kemudian. Bumi menggeleng tanpa berkata apapun.
Dokter Restu memandangnya dengan rasa gemas, ingin baginya mengacak-acak rambut
sang pasien itu. Namun, segera niat itu pupus karena dia tahu kalau dia adalah
dokter dan harus menjaga etika serta profesional kerja.
“Dokter
… apa penyakitku ini parah?” tanya Bumi dengan tatapan sendu. Sekali lagi
Dokter Restu memandang Bumi dengan rasa iba dan entah rasa apa lagi itu yang
sulit dia jabarkan sendiri. Sejak tadi dia menahan untuk tidak bertindak jauh,
tetapi jemari-jemarinya berhasil mengacak-acak rambut Bumi.
“Kami
akan melakukan yang terbaik. Jadi, tugas Bumi harus tetap optimis untuk
sembuh!” Senyum mengembang dari keduanya. Senyum penuh ketulusan dan
pengharapan akan sebuah takdir yang tertulis tentang mereka.
*
“Amputasi,
Dok!” Bu Nurhayati merasa tak percaya mendengar penjelasan Dokter Restu bahwa
anak semata wayangnya harus mengidap penyakit kanker ganas yang mengharuskan
anaknya kehilangan kaki kirinya.
“Apa
tidak ada pilihan lagi, Dok?”
Dokter
Restu menggeleng, “ini adalah cara satu-satunya agar sel kanker tidak menyebar
ke organ lainnya.”
Mendengar
kenyataan itu terasa begitu pahit dan memiluhkan bukan hanya bagi Bu Nurhayati,
tetapi terlebih bagaimana beliau mampu menjelaskan semua kepada sang anak,
Bumi.
“Begitu
parahkah, Dok, penyakitku ini sampai-sampai aku harus diamputasi?” tanya Bumi
ke Dokter Restu yang sedang siaga mengecek kondisi Bumi sebelum melakukan
amputasi. Dokter muda itu hanya memberikan senyum terbaik kepada pasiennya
tersebut.
“Dokter
… apakah di dunia ada orang buntung yang menjadi dokter?”
“Maksudnya?”
Dokter Restu mengalihkan pekerjaaanya sebentar untuk menatap Bumi yang memiliki
mata malaikat itu, bening dan penuh ketulusan.
“Dulu
aku bercita-cita menjadi dokter, tetapi setelah kenyataan bahwa aku akan jadi
buntung mungkin cita-citaku akan pupus begitu saja!”
Air
mata telah membasahi pipi cubby Bumi.
Dokter Restu yang melihatnya menjadi tersentuh dan seketika memeluk Bumi penuh
kehangatan.
“Semuanya
ada takdirnya masing-masing!” Dokter Restu berusaha menyemangati Bumi dengan
mengelus-elus punggung pemuda yang begitu menarik perhatiannya.
“Iya,
Dok. Kalau tidak jadi dokter mungkin aku bisa jadi suster ngesot,” ucap Bumi
sambil melepas pelukan Dokter Restu. Mereka pun tertawa bersama di dalam kesedihan.
Rasa yang entah bagaimana datangnya menghangat di hati Restu dan Bumi.
*
Ada
rasa takut menjalar ketika Bumi harus masuk ke ruang operasi. Namun, dia masih
bersyukur karena ada Dokter Restu yang siaga di sampingnya. Sejak mau masuk
ruang operasi jemari Bumi dengan erat menggenggam jemari Dokter Restu. Baginya
dengan menggenggam jemari dokter idolanya tersebut ada secercah energi baru
yang masuk ke dalam tubuhnya. Dokter Restu hanya diam dan fokus walau ada rasa
hangat di hatinya. Diam-diam dia berdoa agar Bumi kuat dan tenang saat operasi
nanti.
“Dok,
aku takut?” ucap Bumi lirih.
“Tenang
ya … nanti adek dibius. Jadi, tidak akan merasakan apa-apa!” jelas Dokter Restu
dengan nada begetar. Di sampingnya sudah ada dua dokter lainnya yang membantu
operasi beserta dua perawat.
“Sebelum
dibius aku mau bilang semoga aku bisa mendengar suara Dokter Restu lagi!”
Dokter Restu tersenyum tegar dan perlahan mata bening yang memancarkan
ketulusan itu terpejam.
Empat
jam lebih operasi itu berlangsung dan berjalan lancar. Dokter Restu masih setia
menjaga Bumi di ruang pemulihan pasca operasi. Matanya tak lepas memandang
sesosok pemuda yang masih tertidur akibat obat bius. Tangannya perlahan
membelai wajah yang begitu teduh dan manis itu. Tanpa sadar air mata menggenang
di pelupuk mata Dokter Restu hingga perlahan membasahi wajah tampannya.
“Dek,
kamu harus kuat!” ucap Dokter Restu sambil menggenggam jemari putih pucat milik
Bumi. Dikecupnya jemari tersebut lalu dia pun mengecup kening Bumi penuh kasih
sayang.
*
Matanya
masih sembab, dia berusaha tegar untuk tidak meratapi nasibnya. Namun, apa daya
dia terlalu muda menerima kenyataan bahwa dia harus kehilangan kaki kirinya.
Tuhan tak adil pikir Bumi. Ibunya pun berusaha membesarkan hati putranya
tersebut.
“Percayalah,
Nak, akan ada pelangi setelah badai,” ucap Bu Nurhayati lembut sambil memegang
tangan anaknya. Beliau paham dengan apa yang dirasakan Bumi, persis seperti
lima tahun lalu ketika Bu Nurhayati kehilangan suaminya akibat kecelakaan. Raut
wajah Bumi pun sama ketika dia kehilangan sang ayah untuk selamanya dan kini
dia pun harus mendapati kalau kakinya tak sempurna lagi.
“Permisi
… adek sudah baikkan?” sapa Dokter Restu tanpa digubris Bumi, tatapannya masih
fokus pada perban di kaki kirinya.
“Kalau
diam berarti sudah baik nih!” Bumi menatap dokter idolanya tersebut dengan
tatapan sendu tanpa binar semangat seperti biasanya.
“Mendapati
aku sekarang buntung, apa aku harus teriak kegirangan!” ucap Bumi sinis kembali
matanya menahan bendungan agar tidak jatuh. Dokter Restu diam, lidahnya kelu
dan entah ada rasa iba serta sayang di hatinya.
Sebelum
meninggalkan ruangan tersebut Dokter Restu tersenyum ke arah Bumi lalu berkata,
“Dek, minggu ini kamu sudah pulang. Bolehkah dokter mengajakmu jalan-jalan?”
Mata Bumi lekat memandang bola mata yang indah di depannya tersebut tanpa mampu
berkata apa-apa.
“Karena
diam, maka dokter rasa adek setuju. Oke, sampai ketemu minggu depan!” Dokter
Restu pun menghilang dari pandangan Bumi yang berhasil menyisahkan rasa
penasaran di hati Bumi sekarang.
*
“Setiap
orang punya jalan hidupnya masing-masing.”
Suara
itu berhasil memecah kebisuan di antara mereka berdua. Bumi masih fokus melihat
apa yang ada di depan matanya kini. Hatinya tersentuh dan menyesal pernah
berpikir bahwa Tuhan tak adil akan hidupnya. Sekarang dengan mata kepalanya
sendiri dia melihat bagaimana anak-anak dengan tidak kesempurnaannya begitu
luar biasa semangat untuk melanjutkan hidup.
“Ini
buat Dokter Restu dan ini buat Kak Bumi,” ucap gadis mungil itu sambil
menyodorkan gelang dari manik-manik warna cokelat muda kepada Dokter Restu dan
Bumi. Bumi menerima gelang tersebut dengan hati bergerimis.
“Terima
kasih, Tasya manis!” Gadis bernama Tasya itu pun berlalu yang sebelumnya
tersenyum ke arah mereka berdua. Bumi melihat Tasya berjalan dengan
menggerakkan tangan dan tubuhnya. Tasya tidak punya kaki.
“Tasya
kecelakaan satu tahun lalu yang mengharuskan dua kakinya di amputasi,” terang
Dokter Restu yang menangkap rasa penasaran di wajah Bumi.
“Dok
… apa rasa syukur itu sebenarnya?” Mata Bumi mengerjap tanpa memandang Dokter
Restu. Sang dokter idola itu menarik lengan Bumi hingga tubuh Bumi berhimpit
dengannya. Bumi bisa merasakan detak jantung dan bau parfum Dokter Restu.
“Rumah
Pelangi ini kami dirikan karena adanya rasa syukur itu. Bersyukur kala nikmat
dan bersabar kala ujian menerpa. Kamu tahu dimana rasa syukur itu?” Kembali
Mata Dokter Restu memandang wajah manis di sampingnya tersebut. Bumi pun
melakukan hal yang sama dengan Dokter Restu. Mata mereka beradu, desiran halus
itupun menyusup ke dalam hati mereka yang mulai menghangat karena adanya rasa,
rasa memiliki dan menyayangi.
“Rasa
syukur itu terletak di hati kita masing-masing. Ketika hati ini peka akan
segala nikmat-Nya percaya sebesar apapun ujian dari-Nya, semua akan terasa
ringan karena kita akan menyadari bahwa nikmat-nya jauh lebih besar dari segala
ujian yang menimpa. Dek, ibarat besi semakin ditimpah beban berat, besi tidak
mengeluh tetapi mampu menjelma menjadi pedang yang tajam.”
Kecupan
di pipi Dokter Restu itu begitu cepat. Bumi hanya tertunduk sambil tersipu
malu, sedangkan Dokter Restu tertegun mendapat kecupan mendadak tersebut.
“Maaf,
Dok! Aku tidak bisa menahannya!”
Dokter
Restu masih tak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Bumi mengecup pipi
kanannya, ada rasa hangat yang menyelingkupi hatinya.
Dalam
perjalanan pulang pun Dokter Restu tak banyak bicara dan fokus mengemudi mobil.
Sedangkan Bumi yang duduk di sebelahnya pun diam dengan memandang ke arah luar
jendela. Hening. Hujan pun turun begitu deras memecah kesunyian diantara
mereka.
“Terima
kasih atas hari ini, Dok!” ucap Bumi tatkala mereka sudah sampai di depan rumah
Bumi. Dokter Restu mengambil payung mengeluarkan krek dari bagasi lalu menuju beranda rumah. Melihat hal tersebut
Bumi bertanya-tanya mengapa kreknya
di taruh di beranda. Dokter Restu mengetuk kaca mobil, seketika Bumi
membukanya. Belum hilang rasa penasarannya, Dokter Restu sudah membungkuk.
“Buruan
sebelum hujannya tambah deras. Ayo naik!”
“Tapi,
Dok!” Bumi ragu untuk naik ke atas punggung Dokter Restu.
“Apa
perlu aku paksa kamu untuk mau digendong?” Bumi tersenyum mendengar ucapan
Dokter Restu, hatinya menghangat ketika dia berada dalam gendongan dokter
idolanya tersebut.
*
Tiga
minggu pasca operasi, Bumi menjalani rawat jalan. Dan Dokter Restu yang
bertugas di poliklinik bedah. Dengan ceketan dia kembali memeriksa foto tulang
dan hasil biopsinya. Dia berharap kalau anak sebar kankernya tidak sampai ke
paru-paru, walaupun dalam pemeriksaan sebelum operasi tidak ditemukan metastasis
jauh ke organ lain. Namun, setelah melakukan punksi percobaan untuk mengeluarkan cairan dari paru-paru Bumi.
Dokter muda itu melihat cairan yang keluar dari paru-paru itu memerah seperti
cucian air daging. Dokter restu mencoba menahan untuk tidak menangis. Ternyata
amputasi kaki untuk Bumi sia-sia belaka. Anak sebarnya telah sampai ke
paru-paru, hampir tidak ada harapan lagi.
Dilihatnya
Bumi yang sedang asyik membaca di ruang rawat inap. Setelah mengetahui tingkat
anak sebarnya, Dokter Restu menyarankan untuk rawat inap.
“Dek,
bagaimana keadaanmu?” ucap Dokter Restu lesuh. Melihat ekspresi Dokter Restu,
Bumi menangkap ada sesuatu yang terjadi dalam dirinya walaupun dia pun sudah
merasakannya.
“Seperti
yang dokter lihat aku baik-baik saja. Malah dua minggu yang lalu aku belajar
melukis!” Binar di mata Bumi membuat Dokter Restu ingin memeluk pasien
favoritnya yang tegar dan penuh semangat tersebut.
“Apa
dokter bisa melihat hasil lukisannya?”
“Semoga
saja ya, Dok, sebelum Bumi pulang!”
Dokter
Restu mengacak-acak rambut Bumi penuh sayang dan sedih. Karena, dia harus
mendapati Bumi yang masih muda tersebut tak akan lama menapaki hidup.
“Dokter
… terima kasih atas semua kenangan indahnya selama ini!”
Air
mata menganak sungai di mata Dokter Restu, sekuat tenaga dia menahannya agar
terlihat tegar dihadapan Bumi. Jemari mereka saling bertautan, perlahan Bumi
melepaskannya sambil menatap haru Dokter Restu.
Bu
Nurhayati dengan setia berada di samping anaknya. Matanya bengkak dan terlihat
putus asa. Beliau mengetahui bahwa penyakit Bumi sudah berada dalam stadium
akhir. Tangannya mengusap lembut wajah lalu membelai punggung tangan anak
semata wayangnya yang sedang tertidur pulas. Air matanya tak mampu terbendung
lagi, beliau terisak dan berdoa jika memang telah tiba saatnya semoga Bumi
berada di tempat yang mulia di sisi-Nya.
Tiba-tiba
Bumi bangun dengan keadaan sesak napas. Bu Nurhayati panik bergegas memanggil
dokter. Dokter Restu yang siaga lalu berhambur ke ruangan Bumi bersama para
perawat. Dokter Restu memimpin tindakan resusitasi terhadap pasiennya.
“Ayo
… Bumi … bertahanlah!” Dalam kepanikan Dokter Restu masih berharap Bumi mampu
bertahan lebih lama lagi. Dia masih ingin melihat senyum dan binar ketulusan
dari mata Bumi.
Namun
setelah berjuang selama satu jam akhirnya mereka menyerah juga. Bumi
mengembuskan napas terakhirnya, tanpa sempat mengucapkan sepata kata terakhir
kepada ibunya dan Dokter Restu. Kepedihan menyelimuti hati Bu Nurhayati yang
mendapati harus ditinggalkan oleh suami dan anaknya. Di sudut lain, seorang
dokter muda berusaha untuk tegar dan tidak menangis. Dokter Restu menulis surat
laporan kematian Bumi dengan hati yang ditabah-tabahkan, sebenarnya saat ini
dia ingin berteriak dan menangis sekeras-kerasnya. Walaupun dia sering
menangani pasien meninggal dunia, entah mengapa pada Bumi, Dokter Restu
merasakan benar-benar terpukul dan kehilangan. Di dalam mobil saat hendak
pulang, Dokter Restu tak bisa lagi menahan untuk tidak menangis. Dia menangis
dalam sepi dan hening, bayangan Bumi berkelabat di otaknya.
*
Gundukkan
tanah itu basah dengan taburan bunga yang masih segar, tertulis di batu nisan
‘Bumi Syailendra’ 28 Januari 1999-20 April 2016. Beberapa orang sudah
meninggalkan pemakaman. Tak terkecuali Bu Nurhayati yang harus dipapah para kerabat
saat meninggalkan pemakaman, beliau begitu terpukul dan sempat pingsan.
Hanya
ada satu orang yang masih setia berada di pemakaman. Dokter Restu menatap batu
nisan di depannya, diusapnya perlahan. Dia menangis dalam diam tanpa air mata,
hatinya bergerimis. Dia menahan semua rasa itu sendiri kini, rasa untuk selalu
bersama dan memiliki utuh pasien muda berparas manis. Bumi. Hampir air matanya
tumpah ketika melihat tubuh orang yang dekat dengannya harus tertimbun tanah
dan tak akan pernah kembali lagi untuk selamanya. Setelah puas memandang pusara
Bumi, Dokter Restu beranjak pergi yang sebelumnya dia mengecup batu nisan baru
tersebut.
“Selamat
jalan …!”
Di
dalam mobil Dokter Restu melepas kacamatanya yang tadi sempat menyembunyikan
bola matanya yang merah. Dia menatap kotak warna cokelat yang berada di
sampingnya. Sebenarnya dia ingin membukanya sewaktu dia tahu siapa pengirim
kado tersebut. Namun, dia urungkan karena sibuk dengan pasien lain dan proses
pemakaman Bumi. Perlahan dibukanya kotak itu, ternyata berisi kertas kecil dan
kertas besar yang digulung. Dibacanya isi tulisan di kertas kecil tersebut.
For,
Dokter Restu Pradipta
Ketika angin membawa
harapan
Terhempas ke dalam
cawan
Beisi secercah
kehidupan
Pada takdir tertawan
Terikat restu bumi keabadian
From,
Bumi Syailendra
Diambilnya
kertas yang digulung itu lalu dibuka, air mata membasahi pipi Dokter Restu.
Wajah dalam lukisan itu begitu teduh dengan binar mata penuh ketulusan.
“Terima
kasih, Dek!” Didekapnya lukisan itu bersama luka kenangan yang tak akan
terhapus oleh hujan dan waktu.
_Selesai_