Cahaya Hijrah
Yanuari
Purnawan
Kota
Pasuruan diguyur hujan yang tak begitu lebat, namun mampu membuat orang-orang
berhamburan mencari tempat berteduh. Begitupun dengan diriku yang berlari
menuju emperan toko yang sedang tutup. Aku menggerutu dan mengutuk diri karena
cuaca yang tak bersahabat hingga membuat sebagian kemeja dan celana basah.
Andai tadi aku menerima tawaran Andi untuk pulang bareng, pasti tidak akan
seperti ini jadinya.
Mataku
menelusur ke arah jalan raya, berharap masih ada angkutan umum di jam seperti
ini. Iya, biasanya angkutan umum akan lama pas jam mau maghrib. Entah mengapa
Pak Sopir akan beroperasi setelah maghrib. Lagi-lagi aku harus mengasihani
diri, karena harus terlambat pulang ke rumah. Ketika hendak menerobos hujan,
ada sebuah mobil berhenti di depanku lalu seseorang membuka kaca mobilnya.
“Ari,
ya?” sapanya sambil tersenyum ke arahku. Aku hanya diam sambil menunjuk diri
sendiri.
“Yuk,
masuk! Angkot jam segini biasanya lama, daripada lama menunggu, mending bareng.
Kita kan se arah.”
Aku
menatapnya lalu masuk ke dalam mobil avanza warna silvernya. Aku masih saja
diam saat dia menyalakan mobilnya. Kenapa dia baik banget kepadaku? Tapi,
sepertinya aku pernah melihatnya, entah kapan dan dimana. Aku berusaha memutar
otak, namun dia sepertinya tahu rasa penasaran yang sedang aku rasakan
sekarang.
“Ya
Allah … ternyata kamu lupa sama aku! Ini aku, Saipul Hadi, mantan anak SMA 1
juga. Inget nggak?” Aku hanya menggeleng dan menyesali diri ini yang pelupa.
“Kalau
yang pernah malak kamu di kamar mandi cowok pas SMA, inget kan?”
Keterangan
dia barusan membuat diriku tersentak. Siapa yang tidak ingat kejadian naas yang
menimpaku waktu itu. Segerombolan anak cowok kelas sebelas sedang nongkrong di
toilet dekat kantin. Saat itu aku buru-buru mau ganti baju olahraga, tanpa
permisi aku menerobos segerombolan kakak kelas tadi. Malang tidak bisa dielak,
mereka malah menarikku masuk ke dalam toilet dan memalakku. Alhasil, uang
jajanku yang tak seberapa itu diambil kakak kelas. Dan salah satu kakak kelas itu
adalah yang sedang mengemudikan mobil ini.
Sebenarnya
aku ingin bertanya kepadanya, namun harus tertahan karena suara azan maghrib
berhasil memecah kesunyian sore yang basah ini. Saipul menepikan mobilnya
tatkala kita sudah berada di depan pelataran masjid. Aku merasa ragu dan tak
percaya, apakah mantan preman sekolah ini akan shalat atau mau mencuri kotak
amal masjid?
“Yuk,
kita shalat dulu! Bukankah shalat di awal waktu itu lebih utama pahalanya.”
Aku
menelan ludah, apa yang terjadi kepadanya sekarang. Bicaranya santun dan
terkesan jauh dari dirinya delapan tahun yang lalu. Aku menduga dia pernah
gagar otak atau kepalanya pernah membentur tiang listrik.
“Sepertinya
ada yang ingin kamu tanyakan dari tadi?” tanyanya sambil meletakkan teh
manisnya yang diminumnya sedikit. Tadi, habis salat dia mengajakku untuk makan
dulu sebelum pulang. Sebenarnya aku mau menolak, namun cacing di perutku sepertinya
tidak bisa diajak kompromi.
“Aku
hanya heran dan tak percaya, mantan preman sekolah mendadak alim begini!” Raut
wajahnya seketika tampak sedih, “maaf jika ucapanku barusan menyinggung
perasaanmu.”
“Bukankah
setiap orang berhak untuk berubah! Dan inilah diriku sekarang yang berhijrah
dari zaman jahiliyahku dulu. Serta ingin terus belajar untuk menjadi kekasih terbaik-Nya.”
Dia menatapku sambil tersenyum, gurat kesedihan yang tadi sempat terlihat di
wajahnya hilang. Aku mengangguk, menyetujui apa yang barusan dia ucapkan.
“Terus
bagaimana ceritanya kamu bisa berhijrah seperti sekarang dan belajar menjadi
kekasih terbaik-Nya?”
Lagi-lagi
senyum menghiasi wajah teduhnya, berbeda sekali dengan dia pas zaman SMA yang
begitu menyebalkan dan arogan.
“Semua
berawal ketika ayah dan ibu memutuskan bercerai, waktu itu aku menginjak bangku
SMA. Sungguh, saat itu aku benar-benar tertekan dan melampiaskan dengan menjadi
preman sekolah. Dengan membuat onar di sekolah otomatis membuat diriku
mendapatkan perhatian, walau kuakui itu salah.” Dia mengambil jeda dengan
menarik napas seperti hendak mengumpulkan energi untuk mengenang masa lalunya.
“Semasa
SMA itulah aku selalu dicap sebagai anak nakal dan bandel. Ternyata selapas
lulus, kehidupanku jauh lebih buruk lagi. Ayah menyuruhku masuk kepolisian,
sedang ibu menginginkanku kuliah keguruan. Saat itu aku muak dengan mereka
berdua, yang mereka pikirkan hanya reputasi dan nama baik mereka saja. Tanpa
mau mendengar apa yang aku mau. Akhirnya aku memutuskan untuk kuliah keguruan,
namun itu hanya bertahan satu tahun.” Matanya berkaca-kaca. Sepertinya beban
hidup di masa lalunya begitu berat. Jujur, aku tak pernah menyangka jika si
preman sekolah punya cerita hidup yang begitu berliku.
“Bertahan
satu tahun! Apa kamu di D.O?”
Aku
masih penasaran dengan ceritanya. Dia meminum teh manisnya yang tinggal setengah
itu lalu menatapku dan mengangguk.
“Kenapa
kamu di D.O? Jangan bilang kamu jadi preman kampus!” Dia kembali tersenyum
sambil menggeleng.
“Aku
D.O karena aku kecanduan narkoba dan hampir mati gara-gara over dosis!”
Aku
yang mendengar pengangkuannya hanya geleng-geleng tak percaya. Lalu dia
menunjukan lengan tangan kirinya, ada bekas sayatan pisau di situ.
“Saat
hampir mati itulah cahaya-Nya seolah menyentuh mata batinku,” lanjutnya yang kini
mulai ceria lagi.
“Maksudmu,
hijrah?” Dia mengangguk lalu mengambil ponselnya dan menunjukan foto seorang
nenek-nenek bersamanya.
“Lewat
tangan neneklah aku berjalan tertatih untuk menuju jalan-Nya. Sedang orang
tuaku hanya mengirimkan biaya pengobatan, tanpa sedikitpun berempati
menjengukku kala itu. Tapi, nenek dengan kasih sayang dan kesebarannyalah yang
terus merawat dan menemaniku.”
Obrolan
kita pun harus berhenti, tatkala makanan pesanan kita diantar oleh pelayan. Aku
menikmati nasi goreng, sedang dia memilih nasi dengan lauk ayam goreng. Di
sela-sela makan, rasa penasaranku mengusik untuk bertanya lebih lanjut
kepadanya.
“Lalu
setelah keluar dari rumah sakit itu kamu langsung berubah jadi baik?”
“Kurasa
tidak ada yang instan untuk mencapai sesuatu di dunia ini. Bukankah mie instan
saja untuk dimakan masih perlu direbus dulu,” jawabnya penuh filosofis.
“Jadi,
kamu kembali ke obat-obatan terlarang itu?” Seperti wartawan saja diriku ini,
dari tadi tanya ini itu kepadanya. Namun, aku tak ingin menyia-yiakan samudera
ilmu yang ada di depan mata. Bukankah pengalaman orang lain adalah sebagian
dari ilmu.
“Saat
di rumah nenek, aku kembali sakaw dan ingin bunuh diri. Namun, lagi-lagi Allah
menyelamatkanku dan masih memberi kesempatan untuk hidup. Nenek begitu terpukul
dengan kelakuan yang tak kunjung berubah. Atas saran teman nenek, aku disuruh
di masukan ke pesantren saja.”
Kita
pun menghabiskan makanan yang tersaji di meja, sebelum dia melanjutkan cerita
hijrahnya.
“Percaya
atau tidak, jadi anak pesantren bukanlah impianku. Namun, ditempat itulah
cahaya hijrah seorang Saipul Hadi bermula. Berkali-kali aku meminta nenek,
untuk mengeluarkan aku dari pesantren itu. Namun, nenek dengan sabar bilang
bahwa pesantren adalah rumahku dan menyuruhku untuk merenung dengan apa yang
terjadi dalam kehidupanku.”
“Nenekmu
begitu luar biasa, ya!” banggaku tulus kepada neneknya, dia pun tersenyum
menatapku.
“Tapi,
sayang beliau meninggal satu tahun yang lalu karena sakit.” Air mukanya kembali
tampak sedih, “Namun berkat kesabaran nenek, kini aku sadar bahwa hidup itu
adalah amanah. Jadi, mau digunakan seperti apa hidup ini, mau dikoridor-Nya
atau tersesat menuju kegelapan. Jujur aku pernah tersesat, namun aku bersyukur
karena cahaya-Nya telah menuntunku untuk kembali dan beusaha menjadi kekasih
terbaik-Nya.”
Mobilnya
berhenti di depan gang rumahku. Aku terdiam dan tidak langsung turun.
“Kurasa
kamu masih punya utang kepadaku, uang yang dipalak kamu itu!” Dia tampak
terkejut lalu merogoh dompetnya.
“Bercanda!”
jawabku, “aku ikhlas kok dengan kejadian itu dan sudah maafin kamu!” Aku pun
turun dari mobilnya. Sebelum menutup pintu mobilnya, dia tersenyum ke arahku.
“Terima
kasih sudah mau maafin aku dan menjadi pendengar yang baik.”
“Aku
juga berterima kasih. Karena saat mendengar cerita hidupmu, aku jadi semangat
lagi untuk terus belajar menjadi kekasih terbaik-Nya.”
Mobil
itu pun berlalu dari hadapanku, menyisakan diriku yang masih mematung di depan
gang. Aku berusaha mencerna apa yang terjadi dalam kehidupan Saipul Hadi. Bahwa
setiap orang punya masa lalunya masing-masing, namun hanya sedikit orang yang
beuntung bisa berdamai dengan masa lalunya. Mengambil keputusan untuk mengejar
cahaya-Nya dengan cara berhijrah. Ya
Allah, tuntun dan kumpulkan hamba dengan orang-orang yang terus belajar untuk
menjadi kekasih terbaik-Mu.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar