Jodohku Maunya Kamu
Yanuari
Purnawan
Kau adalah bagian dari
mimpi-mimpiku yang tak pernah bisa kuraih.
Apa
mungkin diri ini sudah gila. Mencintai seseorang hingga tak ingin satupun bisa
memilikinya, kecuali aku. Egois memang, tapi inilah cinta. Cinta yang akan aku
perjuangkan sampai kapanpun.
Laki-laki
tampan dan saleh itu bernama Aditya Putra Angkasa. Entah apa yang terjadi
kepadaku, seperti ada medan magnet yang menarikku untuk selalu mendekat
kepadanya. Dia adalah lelaki pertama yang mampu menguasai seluruh hati ini.
Ketampanannya itu pasti menjadi daya pikatnya, namun bukan itu saja yang
membuat dia begitu sempurna di mata kaum hawa. Sikapnya yang begitu sopan dan
berwibawa, ilmu agama mempuni serta calon dokter muda. Bagaimana? Paket komplit
sebagai calon pengeran surga.
Aku
hanya membolak-balik buku yang aku ambil di rak buku tanpa membacanya. Suasana
perpustakaan begitu mendukung dengan apa yang kurasa kini. Sunyi. Aku merasa
duniaku sudah tak berwarna lagi dan tak ada semangat untuk melanjutkan hidup.
Semua rasa kecewa ini hadir karena sosok yang menjadi idola satu kampus, yakni
Kak Adit.
“Kasihan
tuh buku kalau cuma dibolak-balik saja!” sapa seseorang yang begitu familiar
suaranya di gendang telingaku. Kutatap dengan rasa malas siapa yang menyapa,
Rahmi, sahabatku sedang tersenyum dimanis-manisin dihadapanku.
“Buku
itu buat dibaca, bukan jadi bahan amarah, Neng. Kalau begitu terus kapan
pinternya!” lanjut Rahmi lalu mengambil buku di depanku. Aku hanya mendesah
sambil menunduk tanpa melihatnya.
“Kayaknya
ada yang lebih serius dari sekedar buku?”
Aku
tak menggubris perkataan Rahmi yang datang hanya ingin merecoki. Sungguh, aku
tak mood untuk berbicara dengan siapapun kini. Masalah Kak Adit, atau tepatnya
masalahku sendiri yang begitu besar mencintainya. Rahmi bangkit dari tempat
duduknya hendak meninggalkan perpustakaan. Mungkin, dia jengkel karena sedari
tadi ucapannya tak mendapat respon baik dariku. Biarlah aku juga ingin sendiri.
“Bella
… seberat apapun masalahnya, aku masih Rahmi sahabatmu yang siap mendengarkan
semua keluh kesahmu!”
Rahmi
siap pergi, namun aku lebih cepat membuatnya tetap berdiri di tempatnya.
“Kurasa
kafe dekat kampus nyaman buat ngobrol!”
Sepertinya
ucapanku barusan berisi tawaran. Iya. Rahmi benar aku sekarang butuh teman
untuk membagi beban yang sedang kurasakan.
“Ba’da
zuhur!” Rahmi tersenyum ke arahku sebelum tubuh mungilnya menghilang di balik
pintu. Aku membalas dengan senyum yang sedikit kupaksa.
*
Kita tak bisa
menawar hati untuk berpaling dari cinta. Cintalah yang menentukan kemana akan
berlabuh.
Aku
masih mengaduk jus orange yang kupesan dua menit lalu. Rahmi belum datang ke
kafe tempat kita janjian tadi. Mungkin dia masih shalat zuhur. Bagiku Rahmi
bukan sekedar sahabat, tapi sudah seperti kakak yang setia menasihatiku ketika
sedang ada masalah. Dari persahabatan ini, mungkin aku yang lebih diuntungkan
oleh sifatnya.
“Maaf
ya, sudah lama menunggu?” sapanya dengan nada penyesalan. Aku tersenyum lalu
dia duduk di kursi di depanku. Rahmi pun memanggil pelayan dan memesan minuman
yang sama denganku.
“Kurasa
telingaku sudah siap buat dengerin keluh kesah sang penanti cinta!” goda Rahmi
sambil mengedipkan mata ke arahku.
Aku
mendesah panjang berusaha mengeluarkan apa yang terpendam di dalam hati dan
pikiran. Aku memang tak mampu menyimpannya sendiri.
“Kak
Adit akan mengkhitbah Kak hana,” ucapku lirih seperti tak kuat menerima
kenyataan ini. Rahmi tersenyum memandangku, mata itu tulus memancarkan kasih.
“Jika
itu masalahnya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena, kamu sedang berurusan
dengan dirimu, hatimu.”
Benar
apa yang dikatakan Rahmi, yang mampu mengakhiri semua ini hanya ada pada
diriku. Tapi, cinta yang sudah tersimpan di hati atas nama Kak Adit sulit untuk
dihapus begitu saja. Bagaimana aku bisa move on, jika mendengar namanya saja
hati ini sudah berdesir halus.
“Apa
yang harus kulakukan? Apa aku harus mengiba kepada Kak Hana untuk menolak
pinangan dari Kak Adit? Atau aku merelakan mereka bahagia di atas deritaku,”
terangku sambil menahan agar bening hangat tak jatuh dari kelopak mata. Namun
sia-sia, pipiku sudah basa oleh air mata. Rahmi berusaha menguatkanku sambil
memegang erat jemariku.
“Apa
aku salah terlalu mencintai seseorang yang sebentar lagi mengkhitbah orang
lain? Salahkah rasa cinta ini jika menginginkan dia jadi milikku saja?”
Aku
menyeka air mataku dan beusaha tenang, tatkala pesanan Rahmi diantar pelayan.
Rahmi tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. Pelayan itu pun membalas senyum
Rahmi lalu bergegas meninggalkan meja kita. Aku meminum jus orange yang dari
tadi hanya aku aduk-aduk.
“Aku
tahu bersaing dengan Kak Hana hanya akan menyisakan kecewa. Jika, wanita itu
bukan Kak Hana mungkin aku bisa mengambil hati Kak Adit dengan mudah. Ya Allah,
kenapa harus Kak Hana?” ucapku lirih sambil menutupi wajah dengan telapak
tanganku. Rahmi menggapai tanganku lalu meremas erat jemariku. Kita saling
berpandangan.
“Bella,
aku mengerti perasaanmu kini. Namun, lebih elok lagi jika rasa cintamu itu
mampu menjadi taman-taman surga untuk dirimu dan orang lain!” Senyum mengembang
dari bibir Rahmi, parasnya begitu menenangkan bagi siapa yang memandangnya.
Rahmi memang tak secantik wanita kebanyakan, dia memiliki tubuh mungil dan
cubby. Tetapi, dia memiliki kecantikan seorang muslimah yang jarang dimiliki
wanita lain.
“Lalu
aku harus bagaimana? Sulit bagiku mengikhlaskan rasa cinta ini. Aku selalu
percaya bahwa Kak Adit adalah jodohku kelak yang sudah digariskan oleh-Nya.”
“Isabella
Putri, lihatlah dirimu secara utuh? Di luar sana banyak pangeran surga yang
siap menjemputmu dan akan senantiasa menghapus luka-lukamu, hingga tak ada lagi
rasa sakit karena cinta. Tapi, cinta yang menumbuhkan harapan baru di hatimu.”
“Bagiku
tak ada cinta lain selain cintaku kepada Kak Adit!”
Rahmi
mendesah, mungkin dia jengkel dengan sifat keras kepalaku.
“Itulah
masalahnya, kamu sudah membunuh terlalu dini cinta yang lain bahkan sebelum
cinta itu tumbuh! Bella … aku tak ingin melihatmu seperti ini, karena senangmu
adalah senangku juga, begitu juga dukamu adalah dukaku juga.”
Ada
semacam desir halus menyusup ke hati saat Rahmi mengatakan kalimat itu.
Beruntungnya aku punya sahabat yang begitu luar biasa menyayangiku. Ya Allah,
terima kasih Engkau kirim seorang sahabat seperti Rahmi Assauqila Latief ke
dalam kehidupanku. Mungkin, jika dunia berpaling membenciku, pasti tangan yang
penuh kasih sayang Rahmi siap terulur menuntunku ke arah-Nya. Kini, haruskah
aku menolak saran dari sahabat terbaikku. Mungkin berat menghapus cinta yang
begitu dalam kepada Kak Adit, namun pasti jalan terbaik yang disiapkan oleh-Nya
atas cintaku nanti.
Balik
kini aku yang memegang erat jemari Rahmi, seperti menyalurkan energi untuk
saling menguatkan, “Baik, akan aku coba!”
*
Dari
kejauhan tanpa sepengetahuan Bella dan Rahmi, ada sesosok pria duduk di meja seberang
yang sedari tadi mengamati pembicaraan meraka. Pria itu terburu-buru
menghabiskan sisa minumannya lalu bergegas meninggalkan kafe tersebut. Namun
sebelum pergi kembali ke kampus, ia mengambil almamater yang bertulis Fakultas
Kedokteran yang tadi ia lepas dan di taruh di kursi disampingnya. Ia pun pergi
meninggalkan kedua sahabat yang berusaha saling menguatkan, tapi dilain sisi
ada sekerat rasa sakit dihati seorang pria yang kini sudah menghilang dari kafe
yang menguak rahasia baru dalam hidupnya.
_To be continue_
Waiting for the next chapter kak. :-)
BalasHapusOke^^
BalasHapus