Tak
Seharum Mawar
Oleh : Yanuari Purnawan
Semudah
itukah mereka terhasut. Ini tidak bisa dibiarkan, semua gara-gara siswi baru
itu. Kehadirannya membuat kehidupan sekolahku tak tenang. Bukan karena dia
cantik dan modis. Tetapi, gadis kampugan tersebut perlahan telah mengambil
posisiku. Aku harus berbuat sesuatu sebelum semua terlambat.
Risma
dan Santi, dua sahabatku telah menjadi korbannya. Mereka biasanya selalu
bersamaku ke mana-mana, sekarang mendadak menjadi tertutup dan sulit diajak
jalan-jalan. Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka, mengapa begitu mudah
percaya dengan cewek yang baru dikenal, daripada sahabat yang hampir tiga tahun
bersama.
Alifa,
dialah biang keladi dari semua masalah ini. Cepat atau lambat virus tersebut
akan menyebar ke seanterio sekolah. Bahkan Zaky, cowok yang aku taksir perlahan
mulai mendekatinya. Sebelum semua menjadi kacau, aku harus berbuat sesuatu
untuk mencegah virus tersebut agar tidak semakin menyebar.
Kulihat
alifa sedang duduk di bangku taman dekat pintu gerbang sekolah. Sepertinya dia
sedang menunggu seseorang. Tiba-tiba sebuah mobil berwarna silver berhenti tepat di depan gerbang. Seorang pria berusia dua
puluh lima tahunan, membuka pintu mobil dan menyungging senyum kepada Alifa.
Sejurus kemudian Alifa menghampiri pria tersebut lalu masuk ke dalam mobil.
Seingatku
, Alifa itu anak tunggal dan tidak punya kakak atau saudara dekat. Semua kuketahui
dari Risma yang sering cerita tentang kehidupan Alifa. Sesuatu yang janggal,
bisa-bisanya Alifa yang berjilbab tersebut jalan berduaan dengan seorang pria.
Aku harus selidiki dan mungkin kejadian ini bisa menguntungkan untuk
menghentikan virus tersebut.
“Alifa
…!” teriakku kepada Alifa yang sedang duduk sambil membaca di taman sekolah.
Dia menoleh lalu tersenyum.
“Ada
apa Dian?” tanyanya dengan senyum yang masih mengembang diwajahnya.
“Tidak
ada apa-apa! Emm … enak nih kemarin dijemput pria pakai mobil,” sindirku sambil
duduk di sampingnya. Wajah Alifa mendadak pucat, seperti menyimpan sesuatu.
Sekilas kulihat dia menutup buku yang sedang dibaca tersebut.
“Dian
… tahu dari mana?” tanyanya sedikit gemetaran.
Kutatap
wajahnya yang terlihat bingung. Jilbab putih panjangnya sesekali tertiup angin.
Sesaat suasana taman menjadi hening. Aku tersenyum sinis, seolah berhasil
menembak mati sang buruan. Alifa juga masih diam, menunggu jawabanku.
“Tidak
penting aku tahu dari mana, karena aku melihatnya sendiri. Alifa, tak perlu
menjadi munafik dengan pakai jilbab, ikut rohis dan sok alim,” terangku sinis.
“Maksudmu?”
Seperti ada rasa penasaran dari ucapannya. Aku hanya tersenyum lalu menatapnya
kembali.
“Jangan
pura-pura bodoh. Kamu pacaran ‘kan dengan pria tersebut!” kejarku mencari
penjelasan dari bibir Alifa. Dia hanya diam dan menunduk, air matanya menetes.
“Maaf
… Dian, mungkin kamu salah paham. Dia bukan pacarku, tetapi pria tersebut
adalah sepupuku. Namanya Farhan,” jelasnya sambil terisak. Aku belum mengerti
mengapa dia menangis.
“Lalu
mengapa kamu menangis?”
“Dian,
syukur kamu yang melihatnya. Jika itu orang lain, pasti akan menjadi gosip yang
menjatuhkanku.” Seketika dia memelukku. Aku hanya diam.
Keterangan
dari Alifa membuat dadaku sesak. Maksudku ingin memojokkannya tetapi, justru
aku yang terpojok. Terbuat dari apa hatinya hingga dia berpikir aku adalah sahabat
yang baik.
Sejak
kejadian di taman sekolah tersebut, diam-diam aku mengamati gerak-gerak Alifa.
Hingga tanpa sadar, keinginanku menjatuhkan terkikis dengan sifat dan
kepribadiannya yang santun. Dia sekarang menjadi ketua rohis sekolah. Jilbab
panjang dan adab bergaulnya sangat diperhatikan. Sangat beda dengan kebanyakkan
remaja puteri seusianya. Perlahan rasa iri itu mulai merasuk ke dalam hati.
“Alifa,
mengapa kita harus pakai jilbab?” tanyaku penasaran tatkala kami sedang duduk
santai di pelataran mushala sekolah.
“Karena
itu wajib, perintah dari Allah,” jawabnya singkat. Jilbab putih panjangnya
menghiasi wajah bersahaja tersebut.
“Kalau
pakai jilbab kita ‘kan tidak bisa gaul dan terkesan kampungan.”
“Jilbab
itu prisai, pelindung para muslimah dari pandangan pria yang tidak baik dan
lebih mendekatkan diri kepada-Nya.” Aku hanya diam dan mengangguk mendengar
penjelasannya.
“Biarlah
kita tak seharum mawar. Tetapi, kita mahal bagai mutiara yang tersimpan.
Percuma cantik di mata manusia, kalau tidak cantik di mata Allah,” lanjut Alifa
menjelaskan. Kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya benar-benar menohok
hatiku.
Percakapan
di pelataran mushala sekolah, mengantarkanku pada perenungan panjang. Tanpa
terasa bening hangat keluar dari kelopak mata lalu menganak sungai. Teringat
betapa jahiliyah diri ini. Pacaran,
hura-hura dan lupa akan kuwajiban sebagai muslimah. Seharusnya, sebagai remaja
mampu memberi contoh yang baik seperti Alifa. Bersyukur untuk sahabatku yang
sudah terkena virus kebaikannya.
Rabb,
maafkan hamba yang pura-pura lupa akan perintah-Mu. Kutatap wajah di depan
cermin. Kuseka air mata yang membasahi pipi. Bismillah, mulai hari ini Dian Mayangsari berjilbab karena
mencintai perintah-Mu. Walau sekarang tak lagi seharum mawar, aku percaya bahwa
muslimah dengan jilbabnya akan tampak mahal bagai mutiara di mata-Nya.[]