Rabu, 10 Februari 2016

Cinta Tanggal Merah

Cuap-Cuap Cantik ...,

Pernahkah kalian jatuh cinta, namun waktunya tak tepat. Dan bagaimana rasanya memutuskan sesuatu yang sangat kita cintai untuk diakhiri. Galau pasti, sakit tentu. Tapi, ada satu yang harus kita patuhi yaitu perintah-Nya.

Duh ... ngomong apa ini? Sudah deh daripada aku semakin ngelantur mending baca cerita. Semoga memberikan kita sedikit pencerahan, di hari yang selalu mendung ini hehe. Jika suka silahkan di share, jika tidak, semoga tidak merusak mata anda.^^

Yuk, cap cus ke ceritanya saja, selamat menikmati seperti aku yang menikmati ketika menulisnya.

#####

Cinta Tanggal Merah
Oleh : Yanuari Purnawan



Kulirik jam tangan sudah menunjukkan pukul tiga sore. Hampir satu jam aku menunggu dengan setia di koridor sekolah. Ditambah hujan yang mulai deras. Sudah jamuran dan pegal rasanya. Kalau bukan karena janji, mungkin aku sudah pulang duluan. Mondar-mandir kayak setrikaan, hanya demi cinta.

Dari ujung mata, terlihat sesosok yang sudah lama kutunggu. Sepertinya, dia juga terburu-buru menghampiriku.
“Maafnya …! Sudah lama menunggu?” sapa Alya dengan nafas yang tersenggal-senggal. Gadis di depanku tersebut seperti habis lari marathon. Bulir keringat membasahi wajah putih dan bersih itu.
“Nggak papa kok! Malah hampir jamuran nih,” candaku sambil tersenyum melihat wajahnya yang semakin menunjukkan rasa bersalah.
“Ngambek ya?” goda Alya sambil mengedipin mata. Membuatku semakin gemas saja melihat tingkahnya.
“Kok lama sih! Memang rapat osis apa rapat paripurna?” celaku sambil berjalan beriringan menuju tempat parkir sekolah.
“Tahu deh. Belum ada titik temu buat acara pensi ulang tahun sekolah nanti.” Terlihat air mukanya kesal.

Sesampainya di tempat parkir, hujan masih setia mengguyur. Kami terpaksa menunggu hujan agak redah dulu, baru pulang. Suasana sekolah mulai sepi hanya ada aku dan Alya serta Pak Dudung, satpam sekolah. Pak Dudung sedang asyik beristirahat di posnya. Kami hanya bisa termangu di salah satu bangku dekat parkiran sepeda motor.
“Al .. aku ingin bicara sesuatu?” tanyaku memecah kebisuan. Wajah putih itu menoleh ke arahku.
“Tanya apa? Kayaknya serius,” jawabnya. Terlihat rambut hitam sebahunya, acak-acakkan terembus angin sore.
“Kamu sudah baca sms-ku tadi malam ‘kan?”
“Sudah. Tapi, aku tak mengerti maksud smsnya, Farhan!” jelasnya sambil mengeryitkan dahi.
“Yang mana, Al?”
“Cinta tanggal merah,” ucapnya sambil menatapku lekat. Bola mata itu begitu teduh, secepat mungkin kualihkan pandangan ke arah hujan. Suasana kembali bisu. Aku berusaha mencari kalimat yang tepat. Hingga tak akan ada yang tersakiti.
“Alya … aku ingin berhenti.”
“Maksudnya?” Seperti ada tanya besar dalam pikiran Alya.
“Aku ingin mengakhiri hubungan tak jelas ini,” jelasku sedikit pelan.
“Farhan! Kamu pikir hubungan ini hanya mainan saja. Jika kamu bosan tinggal cari yang lainnya gitu?” ucap Alya dengan emosi.
“Bukan begitu, Alya. Hubungan kita sudah tak wajar. Aku tak ingin menggantungkan perasaanmu dengan suatu hubungan yang tak jelas arahnya. Hanya itu alasanku.”
“Lalu! Sekarang apa yang harus kita lakukan?” Dari kelopak mata Alya, terbendung kristal hangat yang siap tumpah. Aku berusaha mengatur nafas agar lebih tenang dan tak emosi.
“Alya … cinta kita sudah tanggal merah. Harus berhenti sejenak. Usia seperti kita, bukan untuk membahas masalah cinta-cintaan, tetapi untuk berprestasi. Dan kurasa kini saatnya kita mencoba untuk berhenti lalu berbenah memantaskan diri,” terangku dengan tegas.

Kristal hangat itupun tumpah dari kelopak matanya. Kurasa, Alya bisa memahami maksudku tersebut.
“Bohong! Pasti, kamu punya cewek lain,” sanggahnya sambil terisak.
“Alya …!”

Plakk!
Sebelum aku menjelaskan kepadanya. Tamparan tersebut langsung tepat mengenai pipiku. Aku berusaha tegar dan kuat menahan emosi.
“Cukup, Farhan!” Alya langsung berlari menerobos hujan. Sepertinya hujan tak menjadi alasan untuk segera pergi dari tempat ini. Seragam putih abu-abunya basah kuyup. Bersama derai air mata, dia berlari dan menjauh dariku.

Alya maafkan aku telah melukai perasaanmu. Tetapi, inilah resiko yang harus aku ambil. Berhenti atau tidak sama sekali. Biarlah waktu yang akan menuntun cinta ini. Sekalipun bukan Alya jodohku. Aku percaya bahwa Allah, telah menyiapkan bidadari-Nya untukku. Bukan sekarang tetapi nanti, jika aku telah mampu berkomitmen lebih serius yakni menikah.

Selesai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar