Pernahkah kalian jatuh cinta, namun waktunya tak tepat. Dan bagaimana rasanya memutuskan sesuatu yang sangat kita cintai untuk diakhiri. Galau pasti, sakit tentu. Tapi, ada satu yang harus kita patuhi yaitu perintah-Nya.
Duh ... ngomong apa ini? Sudah deh daripada aku semakin ngelantur mending baca cerita. Semoga memberikan kita sedikit pencerahan, di hari yang selalu mendung ini hehe. Jika suka silahkan di share, jika tidak, semoga tidak merusak mata anda.^^
Yuk, cap cus ke ceritanya saja, selamat menikmati seperti aku yang menikmati ketika menulisnya.
#####
Cinta Tanggal Merah
Oleh
: Yanuari Purnawan
Kulirik
jam tangan sudah menunjukkan pukul tiga sore. Hampir satu jam aku menunggu
dengan setia di koridor sekolah. Ditambah hujan yang mulai deras. Sudah jamuran
dan pegal rasanya. Kalau bukan karena janji, mungkin aku sudah pulang duluan.
Mondar-mandir kayak setrikaan, hanya demi cinta.
Dari
ujung mata, terlihat sesosok yang sudah lama kutunggu. Sepertinya, dia juga
terburu-buru menghampiriku.
“Maafnya
…! Sudah lama menunggu?” sapa Alya dengan nafas yang tersenggal-senggal. Gadis
di depanku tersebut seperti habis lari marathon.
Bulir keringat membasahi wajah putih dan bersih itu.
“Nggak
papa kok! Malah hampir jamuran nih,” candaku sambil tersenyum melihat wajahnya
yang semakin menunjukkan rasa bersalah.
“Ngambek
ya?” goda Alya sambil mengedipin mata. Membuatku semakin gemas saja melihat
tingkahnya.
“Kok
lama sih! Memang rapat osis apa rapat paripurna?” celaku sambil berjalan
beriringan menuju tempat parkir sekolah.
“Tahu
deh. Belum ada titik temu buat acara pensi
ulang tahun sekolah nanti.” Terlihat air mukanya kesal.
Sesampainya
di tempat parkir, hujan masih setia mengguyur. Kami terpaksa menunggu hujan
agak redah dulu, baru pulang. Suasana sekolah mulai sepi hanya ada aku dan Alya
serta Pak Dudung, satpam sekolah. Pak Dudung sedang asyik beristirahat di
posnya. Kami hanya bisa termangu di salah satu bangku dekat parkiran sepeda
motor.
“Al
.. aku ingin bicara sesuatu?” tanyaku memecah kebisuan. Wajah putih itu menoleh
ke arahku.
“Tanya
apa? Kayaknya serius,” jawabnya. Terlihat rambut hitam sebahunya, acak-acakkan
terembus angin sore.
“Kamu
sudah baca sms-ku tadi malam ‘kan?”
“Sudah.
Tapi, aku tak mengerti maksud smsnya, Farhan!” jelasnya sambil mengeryitkan
dahi.
“Yang
mana, Al?”
“Cinta
tanggal merah,” ucapnya sambil menatapku lekat. Bola mata itu begitu teduh,
secepat mungkin kualihkan pandangan ke arah hujan. Suasana kembali bisu. Aku
berusaha mencari kalimat yang tepat. Hingga tak akan ada yang tersakiti.
“Alya
… aku ingin berhenti.”
“Maksudnya?”
Seperti ada tanya besar dalam pikiran Alya.
“Aku
ingin mengakhiri hubungan tak jelas ini,” jelasku sedikit pelan.
“Farhan!
Kamu pikir hubungan ini hanya mainan saja. Jika kamu bosan tinggal cari yang
lainnya gitu?” ucap Alya dengan emosi.
“Bukan
begitu, Alya. Hubungan kita sudah tak wajar. Aku tak ingin menggantungkan
perasaanmu dengan suatu hubungan yang tak jelas arahnya. Hanya itu alasanku.”
“Lalu!
Sekarang apa yang harus kita lakukan?” Dari kelopak mata Alya, terbendung
kristal hangat yang siap tumpah. Aku berusaha mengatur nafas agar lebih tenang
dan tak emosi.
“Alya
… cinta kita sudah tanggal merah. Harus berhenti sejenak. Usia seperti kita,
bukan untuk membahas masalah cinta-cintaan, tetapi untuk berprestasi. Dan
kurasa kini saatnya kita mencoba untuk berhenti lalu berbenah memantaskan
diri,” terangku dengan tegas.
Kristal
hangat itupun tumpah dari kelopak matanya. Kurasa, Alya bisa memahami maksudku
tersebut.
“Bohong!
Pasti, kamu punya cewek lain,” sanggahnya sambil terisak.
“Alya
…!”
Plakk!
Sebelum
aku menjelaskan kepadanya. Tamparan tersebut langsung tepat mengenai pipiku. Aku
berusaha tegar dan kuat menahan emosi.
“Cukup,
Farhan!” Alya langsung berlari menerobos hujan. Sepertinya hujan tak menjadi
alasan untuk segera pergi dari tempat ini. Seragam putih abu-abunya basah
kuyup. Bersama derai air mata, dia berlari dan menjauh dariku.
Alya
maafkan aku telah melukai perasaanmu. Tetapi, inilah resiko yang harus aku
ambil. Berhenti atau tidak sama sekali. Biarlah waktu yang akan menuntun cinta
ini. Sekalipun bukan Alya jodohku. Aku percaya bahwa Allah, telah menyiapkan
bidadari-Nya untukku. Bukan sekarang tetapi nanti, jika aku telah mampu
berkomitmen lebih serius yakni menikah.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar