Rabu, 24 Desember 2014

Satu Menit Saja

Satu Menit Saja
Oleh : Yanuari Purnawan


Sulit mengerti dan dimengerti. Semua menjadi fatamorgana tak bertepi. Sudah berapa lama menunggu hingga dedaunan meranggas dari tangkai. Aku masih saja setia duduk di bangku bercat putih sambil menatap telaga yang memerah. Bias senja seolah mengabur kejernihan mata air tersebut. Suasana senja kali ini sungguh mewangi beraroma cinta.

Semilir angin membuat rambut bergerak seirima dengan detak jantung yang semakin kencang. Haruskah aku pergi? Sebuah pemikiran konyol untuk seorang pria sepertiku. Harum ini membuat indra penciumku mendeteksi sesosok makhluk bernama wanita. Sesosok berbadan langsing semampai dengan rambut hitam panjang menjuntai hingga punggungnya.

“Apa yang kamu cari di sini?” tanyanya membuatku sedikit menatap mata yang biru itu.
“Aku … menunggumu!” jawabku sedikit terbata. Seketika wajah bak pualam itu tersenyum manis, membuat jantungku lebih cepat berdetak.
“Kamu … takut?”
“Tidak! Semua juga akan berakhir dan tinggal menunggu waktu,” terangku sambil menghirup aroma senja. Hening. Kami terlibat dengan pemikiran masing-masing.

Erika, itulah nama gadis berwajah cantik dan sendu tersebut. Perkenalan yang tak terduka mengantarkanku kepada lembah bernama cinta. Entahlah … apakah itu benar-benar cinta atau hanya rasa kagum saja? Yang kutahu hanya satu aku nyaman bersamanya.

“Chano …!” sapanya membuyarkan segala lamunanku tentangnya. Untuk kesekian kali aku menatap wajahnya.
“Kamu melamun?” lanjutnya sambil tersenyum memandangku. Sepertinya dia mengerti kegugupanku, lekas dia beralih memandang telaga.

Pesona,sifat dan lakunya telah menjadi virus yang menjangkit kesekujur raga ini. aku berusaha menepis tetapi virus tersebut begitu halus menginfeksi setiap rasa yang tersemat di hati. Erika, makhluk apakah kamu sebenarnya?

“Aku boleh tanya, tidak?” ucapku penuh keraguan. Erika hanya mengangguk dan masih setia menatap telaga. Suasana tepian telaga menambah kesan melankolis.
“Apakah Erika pernah jatuh cinta?” Sebuah pertanyaan yang tak penting untuk dijawab sebenarnya. Tetapi, dia langsung menatapku dalam kemudian tersenyum. Erika, kumohon jangan tersenyum lagi, bisa-bisa melumer hati ini.
“Emmh … pernah!”
“Sama siapa?” potongku tak sabar penuh rasa penasaran.

Kami terdiam. Hanya semilir angin meniup dedaunan yang telah kering dan membuat rambut kami melambai-lambai. Dadaku seakan sesak dan tak sabar menunggu jawabanya.

“Sama Aliens ganteng, yang bernama Chanopus,” jelasnya sambil menatapku tajam. Sebuah kalimat yang tak terduga sebelumnya akan keluar dari bibir mungil itu.
“Serius … nih!” sanggahku masih tak percaya.
“Apakah aku terlihat bercanda? Jujur pertama melihatnya aku langsung jatuh cinta, entah apakah ini cinta? Sampai saat ini aku belum mampu menguraikanya.” Sebuah penjelasan yang sama dengan apa yang kini kurasakan.

Kutatap langit, sebentar lagi akan malam. Senja perlahan tetapi pasti akan memudarkan mega merah di ufuk barat. Sebuah pemandangan romantis. Tiba-tiba kepala Erika bersandar di pundak. Ingin sekali mengelus lembut kepala tersebut. Seakan tangan ini berat untuk bergerak, biarlah terpenting aku masih menikmati wangi rambutnya.

“Apakah Chano juga merasakanya?” Aku diam lalu menoleh kearah suara itu. Wajah itu basah oleh kristal bening yang jatuh dari kelopak matanya.
“Apakah aku harus menjawabnya?” tanyaku balik. Erika bangun dari bersandar di pundakku.

Air matanya semakin menganak sungai membasahi wajah putih itu. Senja di tepian telaga itu seolah menjadi saksi dua insan yang mencintai tanpa bisa memiliki.

“Aku takut rasa ini hanya seutas rasa tanpa berwujud nyata. Chano, pasti mengerti apa yang kurasakan kini. Mencintaimu mungkin bisa menjadi bumerang yang siap membunuhku. Tetapi aku tak sanggup berpura-pura untuk berkata tidak. Bukankah cinta itu memberi dan terus memberi walaupun harus binasa.” Penjelasan tersebut meluluhkan hati yang bersikeras menepis rasaku kepadanya.

“Erika … kamu pasti mengerti mencintaiku hanya akan membuatmu binasa. Tetapi, aku akan menjadi bintang yang setia menemani dan menjagamu.”

Pelukan mendarat tepat ke tubuhku. Erika memelukku begitu erat dan tangisnya pun pecah.
“Aku akan setia mencintamu, Chanopus.”

Aku hanya diam dan merasakan begitu lembut cinta mengaliri sekujur tubuh. Dingin menjadi hangat. Perlahan senja menjelma pekat. Langit gelap, bintang pun enggan berkedip. Tubuh yang semula menghangat, sedikit demi sedikit mulai terasa membakar. Tuhan, izinkan satu menit saja, aku memeluknya.

Kudekap tubuh Erika dengan sisa tenaga yang kupunya. Tuhan, satu menit saja. Berulang kali kuucap kalimat itu. Hingga pelukan itu mulai tak berasa lagi. Tangan, kaki, lalu seluruh badan mulai mengabur. Sebelum wajah mengabur juga oleh pekat malam, kukulum senyum terakhir untuk bidadari bumiku, Erika.

Erika … jangan menangis. Pandanglah bintang yang bersinar terang bernama Chanopus. Dia akan selalu mengintip, tersenyum dan menjaga setiap malam yang kamu rindukan. Satu menit saja, pandang aku. Chanopus.

Selesai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar