Satu Menit Saja
Oleh
: Yanuari Purnawan
Sulit
mengerti dan dimengerti. Semua menjadi fatamorgana
tak bertepi. Sudah berapa lama menunggu hingga dedaunan meranggas dari
tangkai. Aku masih saja setia duduk di bangku bercat putih sambil menatap
telaga yang memerah. Bias senja seolah mengabur kejernihan mata air tersebut.
Suasana senja kali ini sungguh mewangi beraroma cinta.
Semilir
angin membuat rambut bergerak seirima dengan detak jantung yang semakin
kencang. Haruskah aku pergi? Sebuah pemikiran konyol untuk seorang pria
sepertiku. Harum ini membuat indra penciumku mendeteksi sesosok makhluk bernama
wanita. Sesosok berbadan langsing semampai dengan rambut hitam panjang
menjuntai hingga punggungnya.
“Apa
yang kamu cari di sini?” tanyanya membuatku sedikit menatap mata yang biru itu.
“Aku
… menunggumu!” jawabku sedikit terbata. Seketika wajah bak pualam itu tersenyum
manis, membuat jantungku lebih cepat berdetak.
“Kamu
… takut?”
“Tidak!
Semua juga akan berakhir dan tinggal menunggu waktu,” terangku sambil menghirup
aroma senja. Hening. Kami terlibat dengan pemikiran masing-masing.
Erika,
itulah nama gadis berwajah cantik dan sendu tersebut. Perkenalan yang tak
terduka mengantarkanku kepada lembah bernama cinta. Entahlah … apakah itu
benar-benar cinta atau hanya rasa kagum saja? Yang kutahu hanya satu aku nyaman
bersamanya.
“Chano
…!” sapanya membuyarkan segala lamunanku tentangnya. Untuk kesekian kali aku
menatap wajahnya.
“Kamu
melamun?” lanjutnya sambil tersenyum memandangku. Sepertinya dia mengerti kegugupanku,
lekas dia beralih memandang telaga.
Pesona,sifat
dan lakunya telah menjadi virus yang menjangkit kesekujur raga ini. aku
berusaha menepis tetapi virus tersebut begitu halus menginfeksi setiap rasa
yang tersemat di hati. Erika, makhluk apakah kamu sebenarnya?
“Aku
boleh tanya, tidak?” ucapku penuh keraguan. Erika hanya mengangguk dan masih
setia menatap telaga. Suasana tepian telaga menambah kesan melankolis.
“Apakah
Erika pernah jatuh cinta?” Sebuah pertanyaan yang tak penting untuk dijawab
sebenarnya. Tetapi, dia langsung menatapku dalam kemudian tersenyum. Erika,
kumohon jangan tersenyum lagi, bisa-bisa melumer hati ini.
“Emmh
… pernah!”
“Sama
siapa?” potongku tak sabar penuh rasa penasaran.
Kami
terdiam. Hanya semilir angin meniup dedaunan yang telah kering dan membuat rambut
kami melambai-lambai. Dadaku seakan sesak dan tak sabar menunggu jawabanya.
“Sama
Aliens ganteng, yang bernama
Chanopus,” jelasnya sambil menatapku tajam. Sebuah kalimat yang tak terduga
sebelumnya akan keluar dari bibir mungil itu.
“Serius
… nih!” sanggahku masih tak percaya.
“Apakah
aku terlihat bercanda? Jujur pertama melihatnya aku langsung jatuh cinta, entah
apakah ini cinta? Sampai saat ini aku belum mampu menguraikanya.” Sebuah
penjelasan yang sama dengan apa yang kini kurasakan.
Kutatap
langit, sebentar lagi akan malam. Senja perlahan tetapi pasti akan memudarkan
mega merah di ufuk barat. Sebuah pemandangan romantis. Tiba-tiba kepala Erika
bersandar di pundak. Ingin sekali mengelus lembut kepala tersebut. Seakan tangan
ini berat untuk bergerak, biarlah terpenting aku masih menikmati wangi
rambutnya.
“Apakah
Chano juga merasakanya?” Aku diam lalu menoleh kearah suara itu. Wajah itu
basah oleh kristal bening yang jatuh dari kelopak matanya.
“Apakah
aku harus menjawabnya?” tanyaku balik. Erika bangun dari bersandar di pundakku.
Air
matanya semakin menganak sungai membasahi wajah putih itu. Senja di tepian
telaga itu seolah menjadi saksi dua insan yang mencintai tanpa bisa memiliki.
“Aku
takut rasa ini hanya seutas rasa tanpa berwujud nyata. Chano, pasti mengerti
apa yang kurasakan kini. Mencintaimu mungkin bisa menjadi bumerang yang siap
membunuhku. Tetapi aku tak sanggup berpura-pura untuk berkata tidak. Bukankah
cinta itu memberi dan terus memberi walaupun harus binasa.” Penjelasan tersebut
meluluhkan hati yang bersikeras menepis rasaku kepadanya.
“Erika
… kamu pasti mengerti mencintaiku hanya akan membuatmu binasa. Tetapi, aku akan
menjadi bintang yang setia menemani dan menjagamu.”
Pelukan
mendarat tepat ke tubuhku. Erika memelukku begitu erat dan tangisnya pun pecah.
“Aku
akan setia mencintamu, Chanopus.”
Aku
hanya diam dan merasakan begitu lembut cinta mengaliri sekujur tubuh. Dingin
menjadi hangat. Perlahan senja menjelma pekat. Langit gelap, bintang pun enggan
berkedip. Tubuh yang semula menghangat, sedikit demi sedikit mulai terasa
membakar. Tuhan, izinkan satu menit saja, aku memeluknya.
Kudekap
tubuh Erika dengan sisa tenaga yang kupunya. Tuhan, satu menit saja. Berulang
kali kuucap kalimat itu. Hingga pelukan itu mulai tak berasa lagi. Tangan,
kaki, lalu seluruh badan mulai mengabur. Sebelum wajah mengabur juga oleh pekat
malam, kukulum senyum terakhir untuk bidadari bumiku, Erika.
Erika
… jangan menangis. Pandanglah bintang yang bersinar terang bernama Chanopus.
Dia akan selalu mengintip, tersenyum dan menjaga setiap malam yang kamu
rindukan. Satu menit saja, pandang aku. Chanopus.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar