Mencuri Pelangi
Oleh
: Yanuari Purnawan
Sudah
berakhir, semua hancur dan musnah. Ini tidak adil, apa salahku? Allah murkakah
Kau kepadaku? Hingga semua yang ku punya harus lenyap dalam seketika. Di mana
pengasih dan penyayang-Mu. Terlintas dalam pikiran, inilah ganjaran untuk dia
yang membangkang akan kuasa-Nya. Di lempar kerikil aku masih acuh dan pura-pura
tidak merasa hingga batu besar itu pun di lempar, agar aku merasa dan menengadakan
tangan kepada Sang Maha Pencipta semesta alam ini.
Dengan
gontai aku menuju rumah, terdengar azan subuh berkumandang dari masjid sebelah
rumah. Sudah menjadi kebiasaan pulang larut malam kadang hingga subuh. Hanya
untuk memuaskan nafsu duniawi semata. Dugem,
mabuk hingga pesta narkoba menjadi santapan kami jika berkumpul. Harta dan
kekuasaan orang tua yang menjadi salah satu anggota dewan telah membutakan
mata. Buat apa semua ini, kalau tidak dihabiskan untuk hura-hura.
Hari
masih terlalu pagi, aku masih terlelap dalam mimpi indah karena aku baru pulang
dan mabuk. Hingga ada gedoran keras mengagetkan seluruh penghuni rumah, tidurku
sedikit terusik. Siapa sepagi ini bertamu ke rumah orang? Terdengar gerak kaki,
ternyata bukan hanya satu orang. Membuatku mau tidak mau membuka mata yang
rasanya masih terjilit lem. Sayup terdengar dari ruang tamu.
“Kami
KPK! Kami harus menyita kekayaan bapak karena bapak sudah terlibat kasus
korupsi bersama rekan anggota dewan lainnya. Ini surat penangkapan dan
penyitaannya,” ucap suara seorang pria.
“Ini
pasti salah! Mana mungkin aku melakukan perbuatan keji tersebut.” Suara ayah
sepertinya mengelak laporan tersebut.
“Maaf,
Pak. Kami melakukan tugas yang sudah tertera dalam surat tersebut.”
Seketika
itu pun aku berlari ke ruang tamu. Kulihat sebuah borgol melingkar di kedua
tangan ayah. Beberapa orang sibuk menggeledah dan membawa barang berharga milik
kami untuk disita. Mimpikah ini? Berkali-kali aku menepuk pipi, berharap semua
ini hanya mimpi belaka. Ibu yang berada di samping kananku, teriak histeris dan
berusaha menahan orang-orang tersebut untuk membawa barang-barang berharga
milik kami.
“Maaf,
kalian sebaiknya segera berkemas karena rumah ini juga akan disita,” ucap
seorang pria bertubuh gempal dan berkumis tebal tersebut.
Aku
masih tertegun, diam sambil menutup mulutku. Kulihat ayah dibawa paksa oleh
orang-orang tersebut. Ibu berlari mengejar ayah dan menangis histeris, sekuat
tenaga dia berharap ada sedikit empati untuk melepaskan ayah. Tetapi bagai
tidak punya hati, mereka membawa ayah bak seekor binatang buruan. Untuk petama
kali aku menangis, bening hangat dan sesak di dada tidak bisa tertahan lagi.
Bagai
badai di pagi hari, semua lenyap dalam seketika. Kekayaan dan kekuasaan yang
kemarin melenakan, kini tidak tersisa sepeser pun. Roda berputar ke bawah, bahkan
paling bawah. Bagaimana kami bisa bertahan sedang uang atau barang berharga tak
punya sama sekali. Dan lebih menyayat hati, ibu mengalami depresi berat. Atas
saran Om Wisnu yang merupakan pengacara sekaligus sahabat ayah. Maka, ibu
terpaksa harus dirawat di RSJ.
“Andrian,
maafkan Om tidak bisa membantu banyak. Kini semua tergantung kepada dirimu
sendiri,” ucap Om Wisnu, terlihat semburat sedih dari wajah kebapakannya
tersebut.
Berat
beban mental ini, tetapi aku tidak mau binasa. Kucoba menghubungi teman-teman
baikku selama ini, ternyata tidak ada satu pun yang mau berempati menolong.
Bagi mereka anak seorang koruptor adalah barang najis yang harus dijauhi. Dalam
gelap, hampir diri ini tersesat. Lagi-lagi Om Wisnu membantuku, agar aku pergi
kesuatu desa. Katanya, di sana ada kerabat dekat ayah.
Perjalanan
yang cukup jauh dan menguras tenaga. Uang pemberian Om Wisnu harus aku
manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dulu, betapa mudah aku menghambur-hamburkan
uang seakan tidak akan pernah habis. Kristal bening tidak bisa terbendung dari
kelopak mata, bayangan itu berputar kembali. Dugem, mabuk hingga pesta narkoba bersama teman-teman. Semua memuji
dan memujaku sebagai orang kaya. Kini yang tersisa hanya kemunafikan dari
mereka. Semua menjauh dan membenciku.
Setelah
bertanya-tanya kepada penduduk sekitar desa, akhirnya aku sampai ke alamat yang
diberikan Om Wisnu. Sebuah bangunan yang luas walau tampak sederhana. Tertulis
di gapura depan ‘Pondok Pesantren Da’arul Ilmi’. Seorang pria menegurku,
setelah kuceritakan maksud kedatanganku, dengan ramah dia mengantarku kepada
pengurus pesantren. Jadi, tempat ini adalah pondok pesantren dan ini pertama
kalinya aku menginjakkan kaki di tempat para orang alim.
Kyai
Lutfi selaku pengasuh pondok pesantren sekaligus kerabat dekat ayah tersebut
menyarankan aku untuk tidur di kamar para santri. Dengan kondisi yang lelah aku
terpejam. Hingga sayup terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an mengusik
gendang telingaku. Damai dan tentram, itulah yang merasuk dalam hati. Baru
pertama aku mendengar lantunan ayat suci yang begitu merdu, tanpa terasa bening
hangat menetes dari kelopak mata.
Sudah
berapa lama aku tidak merasakan kedamaian seperti ini. Ya … Allah, aku ingin
kembali menjadi muslim seutuhnya, ampunilah hamba yang penuh dosa dan hina ini.
“Akhy, sudah bangun. Mengapa akhy menangis?” tanya seorang laki-laki
berkoko dan berpeci putih yang kukenal dari Kyai bernama Rahmat tersebut.
“Kini
aku sadar dan menyesal. Dulu, sering melalaikan perintah-Nya dan senang dengan
apa yang dilarang-Nya. Apakah Allah akan memaafkan aku yang berlumur dosa ini?”
Air mata semakin membanjiri pipi, teringat semua kebodohan yang kuperbuat
selama ini.
“Akhy … percayalah bahwa Allah itu Maha
Pemurah. Jika kita datang dengan merangkak, Allah akan datang dengan berjalan.
Jika kita datang dengan berjalan, Allah akan datang dengan berlari. Berbaik
sangka dan yakin skenario Allah lebih baik dari apa yang kita duga sebelumnya.
Allah pasti mengampuni akhy,” terang
Rahmat. Kulihat wajah yang begitu teduh dan bersahaja terpancar darinya.
“Bantu
aku mengenal dan mencintai Allah lagi, Mat!” Dia hanya mengangguk sambil
tersenyum tulus.
Tanpa
terasa satu bulan sudah aku berada di pesantren. Di tempat ini banyak sekali
ilmu dan saudara baru yang aku miliki. Kini, kutemukan kembali cinta-Nya yang
lama hilang di dalam hati. Tidak akan pernah aku sia-siakan hidayah yang baru
datang dalam bentuk cinta kepada sang Ilahi ini. Masa lalu hanya pelajaran
untuk melangkah lebih baik di masa depan. Aku tidak ingin terjatuh dalam lembah
kegelapan lagi.
“Mat,
aku ingin mencuri pelangi,” ucapku kepada Rahmat tatkala kami sedang istirahat
di sore hari.
“Maksud,
akhy?” Ada sebuah gurat tanya
diwajahnya. Aku menatap matanya yang begitu teduh tersebut. Lalu kualihkan
memandang langit biru yang dihiasi mega merah.
“Aku
ingin mencuri pelangi. Akan kuambil setiap warnanya dan kupersembahkan kepada
mereka yang pernah mencintaiku. Aku ingin menjadi anak soleh yang bisa
mendoakan orang tuanya,” terangku. Tanpa terasa setetes, dua tetes lalu
menganak sungai air mata membasahi wajahku.
“Aku
yakin akhy pasti bisa!” ucap Rahmat
sambil menepuk pundakku.
“Pelangi
itu indah, selalu datang tatkala badai redah. Begitu pun hidup ini, kadang di
atas, kadang juga terpuruk di bawah. Tetapi aku percaya sekarang Allah selalu
ada dan tidak pernah menjauhi hamba-Nya.” Langit sore itu begitu menyejukan
hatiku.
Kurangkul
sahabat baruku tersebut dan menangis dalam dekapan ukhuwah yang tidak ternilai
ini. Ya … Allah, terima kasih atas cinta-Mu selama ini. Kuatkan langkah dan
iman yang baru sejengkal ini untuk terus berada dalam kebaikan.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar