Jumat, 26 Desember 2014

Mencuri Pelangi

Mencuri Pelangi
Oleh : Yanuari Purnawan


Sudah berakhir, semua hancur dan musnah. Ini tidak adil, apa salahku? Allah murkakah Kau kepadaku? Hingga semua yang ku punya harus lenyap dalam seketika. Di mana pengasih dan penyayang-Mu. Terlintas dalam pikiran, inilah ganjaran untuk dia yang membangkang akan kuasa-Nya. Di lempar kerikil aku masih acuh dan pura-pura tidak merasa hingga batu besar itu pun di lempar, agar aku merasa dan menengadakan tangan kepada Sang Maha Pencipta semesta alam ini.

Dengan gontai aku menuju rumah, terdengar azan subuh berkumandang dari masjid sebelah rumah. Sudah menjadi kebiasaan pulang larut malam kadang hingga subuh. Hanya untuk memuaskan nafsu duniawi semata. Dugem, mabuk hingga pesta narkoba menjadi santapan kami jika berkumpul. Harta dan kekuasaan orang tua yang menjadi salah satu anggota dewan telah membutakan mata. Buat apa semua ini, kalau tidak dihabiskan untuk hura-hura.

Hari masih terlalu pagi, aku masih terlelap dalam mimpi indah karena aku baru pulang dan mabuk. Hingga ada gedoran keras mengagetkan seluruh penghuni rumah, tidurku sedikit terusik. Siapa sepagi ini bertamu ke rumah orang? Terdengar gerak kaki, ternyata bukan hanya satu orang. Membuatku mau tidak mau membuka mata yang rasanya masih terjilit lem. Sayup terdengar dari ruang tamu.

“Kami KPK! Kami harus menyita kekayaan bapak karena bapak sudah terlibat kasus korupsi bersama rekan anggota dewan lainnya. Ini surat penangkapan dan penyitaannya,” ucap suara seorang pria.
“Ini pasti salah! Mana mungkin aku melakukan perbuatan keji tersebut.” Suara ayah sepertinya mengelak laporan tersebut.
“Maaf, Pak. Kami melakukan tugas yang sudah tertera dalam surat tersebut.”

Seketika itu pun aku berlari ke ruang tamu. Kulihat sebuah borgol melingkar di kedua tangan ayah. Beberapa orang sibuk menggeledah dan membawa barang berharga milik kami untuk disita. Mimpikah ini? Berkali-kali aku menepuk pipi, berharap semua ini hanya mimpi belaka. Ibu yang berada di samping kananku, teriak histeris dan berusaha menahan orang-orang tersebut untuk membawa barang-barang berharga milik kami.

“Maaf, kalian sebaiknya segera berkemas karena rumah ini juga akan disita,” ucap seorang pria bertubuh gempal dan berkumis tebal tersebut.

Aku masih tertegun, diam sambil menutup mulutku. Kulihat ayah dibawa paksa oleh orang-orang tersebut. Ibu berlari mengejar ayah dan menangis histeris, sekuat tenaga dia berharap ada sedikit empati untuk melepaskan ayah. Tetapi bagai tidak punya hati, mereka membawa ayah bak seekor binatang buruan. Untuk petama kali aku menangis, bening hangat dan sesak di dada tidak bisa tertahan lagi.

Bagai badai di pagi hari, semua lenyap dalam seketika. Kekayaan dan kekuasaan yang kemarin melenakan, kini tidak tersisa sepeser pun. Roda berputar ke bawah, bahkan paling bawah. Bagaimana kami bisa bertahan sedang uang atau barang berharga tak punya sama sekali. Dan lebih menyayat hati, ibu mengalami depresi berat. Atas saran Om Wisnu yang merupakan pengacara sekaligus sahabat ayah. Maka, ibu terpaksa harus dirawat di RSJ.

“Andrian, maafkan Om tidak bisa membantu banyak. Kini semua tergantung kepada dirimu sendiri,” ucap Om Wisnu, terlihat semburat sedih dari wajah kebapakannya tersebut.

Berat beban mental ini, tetapi aku tidak mau binasa. Kucoba menghubungi teman-teman baikku selama ini, ternyata tidak ada satu pun yang mau berempati menolong. Bagi mereka anak seorang koruptor adalah barang najis yang harus dijauhi. Dalam gelap, hampir diri ini tersesat. Lagi-lagi Om Wisnu membantuku, agar aku pergi kesuatu desa. Katanya, di sana ada kerabat dekat ayah.

Perjalanan yang cukup jauh dan menguras tenaga. Uang pemberian Om Wisnu harus aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dulu, betapa mudah aku menghambur-hamburkan uang seakan tidak akan pernah habis. Kristal bening tidak bisa terbendung dari kelopak mata, bayangan itu berputar kembali. Dugem, mabuk hingga pesta narkoba bersama teman-teman. Semua memuji dan memujaku sebagai orang kaya. Kini yang tersisa hanya kemunafikan dari mereka. Semua menjauh dan membenciku.

Setelah bertanya-tanya kepada penduduk sekitar desa, akhirnya aku sampai ke alamat yang diberikan Om Wisnu. Sebuah bangunan yang luas walau tampak sederhana. Tertulis di gapura depan ‘Pondok Pesantren Da’arul Ilmi’. Seorang pria menegurku, setelah kuceritakan maksud kedatanganku, dengan ramah dia mengantarku kepada pengurus pesantren. Jadi, tempat ini adalah pondok pesantren dan ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tempat para orang alim.

Kyai Lutfi selaku pengasuh pondok pesantren sekaligus kerabat dekat ayah tersebut menyarankan aku untuk tidur di kamar para santri. Dengan kondisi yang lelah aku terpejam. Hingga sayup terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an mengusik gendang telingaku. Damai dan tentram, itulah yang merasuk dalam hati. Baru pertama aku mendengar lantunan ayat suci yang begitu merdu, tanpa terasa bening hangat menetes dari kelopak mata.

Sudah berapa lama aku tidak merasakan kedamaian seperti ini. Ya … Allah, aku ingin kembali menjadi muslim seutuhnya, ampunilah hamba yang penuh dosa dan hina ini.
Akhy, sudah bangun. Mengapa akhy menangis?” tanya seorang laki-laki berkoko dan berpeci putih yang kukenal dari Kyai bernama Rahmat tersebut.
“Kini aku sadar dan menyesal. Dulu, sering melalaikan perintah-Nya dan senang dengan apa yang dilarang-Nya. Apakah Allah akan memaafkan aku yang berlumur dosa ini?” Air mata semakin membanjiri pipi, teringat semua kebodohan yang kuperbuat selama ini.
Akhy … percayalah bahwa Allah itu Maha Pemurah. Jika kita datang dengan merangkak, Allah akan datang dengan berjalan. Jika kita datang dengan berjalan, Allah akan datang dengan berlari. Berbaik sangka dan yakin skenario Allah lebih baik dari apa yang kita duga sebelumnya. Allah pasti mengampuni akhy,” terang Rahmat. Kulihat wajah yang begitu teduh dan bersahaja terpancar darinya.
“Bantu aku mengenal dan mencintai Allah lagi, Mat!” Dia hanya mengangguk sambil tersenyum tulus.

Tanpa terasa satu bulan sudah aku berada di pesantren. Di tempat ini banyak sekali ilmu dan saudara baru yang aku miliki. Kini, kutemukan kembali cinta-Nya yang lama hilang di dalam hati. Tidak akan pernah aku sia-siakan hidayah yang baru datang dalam bentuk cinta kepada sang Ilahi ini. Masa lalu hanya pelajaran untuk melangkah lebih baik di masa depan. Aku tidak ingin terjatuh dalam lembah kegelapan lagi.

“Mat, aku ingin mencuri pelangi,” ucapku kepada Rahmat tatkala kami sedang istirahat di sore hari.
“Maksud, akhy?” Ada sebuah gurat tanya diwajahnya. Aku menatap matanya yang begitu teduh tersebut. Lalu kualihkan memandang langit biru yang dihiasi mega merah.
“Aku ingin mencuri pelangi. Akan kuambil setiap warnanya dan kupersembahkan kepada mereka yang pernah mencintaiku. Aku ingin menjadi anak soleh yang bisa mendoakan orang tuanya,” terangku. Tanpa terasa setetes, dua tetes lalu menganak sungai air mata membasahi wajahku.
“Aku yakin akhy pasti bisa!” ucap Rahmat sambil menepuk pundakku.
“Pelangi itu indah, selalu datang tatkala badai redah. Begitu pun hidup ini, kadang di atas, kadang juga terpuruk di bawah. Tetapi aku percaya sekarang Allah selalu ada dan tidak pernah menjauhi hamba-Nya.” Langit sore itu begitu menyejukan hatiku.

Kurangkul sahabat baruku tersebut dan menangis dalam dekapan ukhuwah yang tidak ternilai ini. Ya … Allah, terima kasih atas cinta-Mu selama ini. Kuatkan langkah dan iman yang baru sejengkal ini untuk terus berada dalam kebaikan.


Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar