Rabu, 03 Desember 2014

Membakar Hujan #Bagian2

Tetaplah di sana: meski terhapus yang merah, terobek yang putih

oleh : Billal_HB



Aku tidak membakar Arfan. Tidak. Itu tidak benar. Ya. Tapi aku menyalakan api itu ke tubuhnya. Aku ini apa?
***
Kami duduk di ruangan, hanya berdua. Sementara yang lain sedang sibuk di ruangan lain. Kami tadinya tertawa. Menertawakan bagian yang tidak lucu sebenarnya, tapi begitulah cara kami melawan serbuan rasa jenuh dan gerah yang membungkus tubuh di siang hari. Namun mendadak, kabar yang berhembus masuk melalui pintu, menghentikan pertumbuhan kebahagiaan yang akhir-akhir ini rajin kuukur dengan penggaris perasaanku untuk membasmi duka yang memang sudah tumbuh seperti gulma.

Perempuan itu tiba-tiba berkata begini, “Ini seperti sebuah epilog, Bill. Bagian terakhir. Tetapi tahukah kamu, ini mengawali sesuatu yang baru dan kita tak pernah berjauhan.”

Aku jadi lebih sering terkejut sekarang. Gemetaran dan lututku terasa lemas untuk digerakkan, seakan aku mulai kehilangan kemampuan untuk mengendalikan tiap anggota tubuh. Memilih diam, tak menatap perempuan berkerudung yang tengah berkata padaku itu dari balik mejanya.

“Tidak ada yang menginginkan bagian seperti ini, Bill. Teruslah lakukan dengan ikhlas, meski aku tak pernah lagi ada di tempat aku duduk sekarang.”

Aku mengangguk dan berusaha membalas ucapannya dengan suara berat dan berjeda-jeda.

“Tapi….. Aku sendiri tak yakin, Bunda,” kataku. “ seperti kata ‘PUISI’ yang kehilangan huruf I dan digantikan huruf A, maka aku akan PUASA panjang seharian meski saat senja nanti pada akhirnya aku memakan harapanku sendiri. Itu akan menjadi syair penuh dugaan dan membakar perasaan.”
Perempuan itu tersenyum padaku dan mengangguk yakin. Sama seperti Arfan ketika ia memintaku untuk membakarnya.

“Apa aku harus membakarmu juga, Bunda?” tanyaku memberanikan diri sebelum ia memintaku melakukan hal-hal aneh yang persis dilakukan Arfan. “Karena sebentar lagi hujan penghujung November akan terjatuh tepat di atas kita dan kau benar-benar nyata hilang di bawahnya.”

Perempuan itu mengerutkan dahinya. Barangkali tidak mengerti maksudku, atau aku memang tampak bodoh dengan bertanya seperti itu. Entahlah. Lantas ia menggeleng pelan seraya berkata,

“Hujan kali ini memang seperti asam yang menghantam tubuh, tapi aku tidak akan menghindarinya, Nak. Kamu tahu Bill, kamu harus mensyukuri apa-apa yang dijatuhkan Tuhan dari langitNya meski itu adalah hal-hal yang menghancurkan. Tuhan tahu kita sangat kuat, sampai ia begitu cinta untuk mengetahui bagaimana kita dapat bertahan.”

Aku tersenyum samar menguatkan hati memandangnya yang juga membalas dengan senyuman hangat. Lalu mengalihkan pandangan ke arah luar. Melihat pohon-pohon yang berayun dihembus angin musim akhir tahun dan hujan yang mulai menetes satu-satu. Dadaku lagi-lagi sakit. Dihantui perpisahan itu rasanya seperti berada di atas bukit karang berangin di tepi laut lagi. Aku bisa terjatuh dan tenggelam kapan saja karena aku tidak pandai berenang.

Selagi aku begitu larut dalam pandangan ke luar dan hujan mulai turun lebih renyai, aku melihat sebuah konfigurasi asing yang dibentuk dari kumpulan tetes air hujan di tengah lapangan. Membentuk sesosok yang rasanya tak asing meski berwujud bening. Aku melompat dari kursi dan bergegas menuju pintu. Kulihat sosok itu menjadi lebih padat. Sampai ia sedikit menoleh padaku sesaat, lalu hancur menjadi air kembali ketika angin berhembus lebih deras dan kurasakan perih di sekitar tangan, membuatku meng-aduh karena menahan sakit yang tiba-tiba mendera.

“Kenapa, Bill?” tanya perempuan yang kupanggil Bunda itu.

Telapak tanganku merah bara lagi dan berdenyut-denyut. Mataku sampai berair menahannya. Apa yang sedang terjadi? Apa aku harus melakukannya lagi?

Kutengadah memandang awan-awan berat yang sedang riang mencurahkan kebahagiaannya. Semakin lekat kupandang, semakin pula aku kesakitan dan membara.

“Jangan,” bisikku sendiri menenangkan perasaan yang mulai tak hirau pada keadaan. “Jangan lagi membakar hujan. Bunda sudah berkata hujan itu cinta Tuhan, Bill.”

Aku melawan keinginan. Aku ingin kembali ke masa lalu. Aku ingin membunuh diriku sendiri, agar tak ada yang pergi dariku. Aku…………………………………………….

Tanganku tiba-tiba mengobarkan api besar dan mulai menyambar hujan.

“Apa yang terjadi, Bill?”

Aku berteriak keras. “Jangan mendekat padaku, Bunda! Bergegaslah pergi, cepat!”

Aku tak dapat melihat wajahnya, karena api di tanganku semakin besar berkobar menyambar-nyambar.

Lirik, 28 November 2014 08.45 WIB

1 komentar: