Rabu, 10 Desember 2014

Assalamualaikum, Jodohku


“Maafkan aku, Dek. Aku harus pergi!” Suara telepon tersebut membuyarkan segala impianku bersamanya.
“Bang … apa harus secepat ini?” jawabku sambil terisak, bening hangat tidak mampu terbendung di kelopak mata.
“Sekali lagi, ini bukan kuasa Abang. Tetapi ini panggilan jiwa, ada yang lebih penting dari pada kesenangan Abang sendiri.”
“Baiklah, Bang. Adek mengerti sekarang. Jaga diri Abang baik-baik …,” ucapku terbata.
“Adek, ingatlah jika kita memang berjodoh, di mana pun kita berada pasti akan bersatu juga.”
“Ya, sudah Bang. Assalamualaikum.”

Sebelum Bang Arif menjawab salam, telepon langsung kumatikan. Aku tidak sanggup menahan diri untuk tidak menangis. Bang Arif adalah pria yang aku kenal saat koas di rumah sakit Ganesa. Dia adalah dokter muda, ganteng dan pasti saleh. Pertama mengenalnya entah mengapa hatiku selalu bergetar dan jantung berdebar kencang. Pesonanya sebagai dokter muda bukan hanya memikat hatiku tetapi juga teman-teman perempuan satu kelompok koas.

Ternyata, Bang Arif adalah sepupu dari sahabatku Mila. Aku sangat terkejut tatkala dia datang ke acara tasyakuran pernikahan Mila dengan Mas Fajar. Dan semenjak pertemuan di acara sahabatku itu, tidak jarang Mila berkali-kali menjodohkanku dengan Bang Arif.

“Sudahlah, Dian. Jujur saja, kamu sukakan sama Bang Arif?” tanya Mila saat aku berkunjung ke rumahnya untuk meminjam buku.
“Maksudmu?” jawabku kaget. Pertanyaan Mila ibarat meteor yang jatuh pas di hulu hatiku.
“Benarkan, Dian! Kamu itu tidak akan bisa bohong sama aku. Lihatlah wajah kamu sudah kayak udang rebus.”

Aku memang tidak bisa bohong sama sahabatku yang satu itu. Akhirnya, ku ceritakan bahwa aku memang mencintai Bang Arif. Semenjak peristiwa itu, Mila bersama suaminya mengatur perjodohanku dengan Bang Arif. Ternyata, tidak butuh waktu lama. Bang Arif juga mencintaiku.

Dunia seakan penuh bunga yang bermekaran. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang istri dan calon ibu bagi anak-anakku kelak. Tetapi, kebahagian itu hanya sesaat. Seminggu setelah ta’aruf, Bang Arif membatalkannya. Dia mendapat tugas menjadi relawan untuk korban perang di Gaza. Hanya air mata keikhlasan yang mampu mengantarkan dia ke bumi jihad tersebut.

Sebulan, dua bulan hingga satu tahun lebih, Bang Arif tidak ada kabar. Setiap ku tanya kepada Mila, dia hanya menjawab “Sudah lupakan Bang Arif, Dian. Jangan menunggu sesuatu yang belum pasti.” Perkataan Mila tersebut, membuatku membulatkan tekad untuk melupakan Bang Arif. Kucoba berkenalan dengan beberapa pria tetapi tidak satu pun yang mengenah di hati.

Pada lebaran haji, ada seorang ikhwan bernama Yusuf mengkhitbah lewat Pamanku. Dia adalah guru SMP, lulusan IAIN Sunan Ampel dan umurnya kira-kira dua tahun di atasku. Aku tidak mungkin langsung menerimanya. Shalat istikharah dan juga meminta saran sahabat setiaku: Mila, untuk memutuskan semuanya.

Mila sangat mendukungku, asal pria itu saleh dan bertanggung jawab sudah cukup untuk di terima. Aku sangat beruntung memiliki sahabat seperti dia, wanita berhijab panjang dan sedang hamil anak pertamanya tersebut. Setelah shalat istikharah selama seminggu, ada kemantapan hati untuk menerima Yusuf. Mendengar penjelaskanku, seluruh keluarga tersenyum bahagia.

Dua minggu kemudian adalah hari pernikahanku. Entah mengapa ada perasaan takut dan was-was. Mungkin ini adalah godaan setan kepada manusia yang ingin melangsungkan sunah rasul dan menyempurnakan separuh agama. Ternyata, perasaan itu benar. Setelah shalat isya’ ada telepon dari salah satu keluarga Yusuf yang mengabarkan bahwa Yusuf kecelakaan saat mau membeli baju baru untuk tasyakuran pernikahan nanti.

Tangisku pun meledak, ibu memeluk dan menenangkanku bahwa Yusuf tidak akan apa-apa. Ternyata semua berakhir, kulihat seorang pria terbujur kaku dalam balutan kain putih. Kejadian tersebut mengantarkanku menginap di rumah sakit. Mila selalu setia menemaniku dalam keadaan yang terpuruk ini. berkali-kali dia bilang “Dian, kamu harus sabar dan tegar. Ingat semua telah tercatat di lauh mahfuz-Nya.”

Mendung berganti musim semi yang selalu menumbuhkan harapan baru. Termasuk hamba-Nya yang selalu merindukan cinta dari sesama makhluk-Nya.

Assalamualaikum, jodohku,” godanya sambil memegang telapak tanganku. Aku hanya tersenyum malu.
“Kok, senyum-senyum! Malunya bidadariku?” Imamku satu ini selalu saja bisa membuatku tersipu malu akan sifat romantisnya.

Allah mentakdirkan lain, bukan Yusuf tetapi Bang Arif. Dia datang di waktu yang tepat. Di mana ketika hati tandus akan cinta, dia mampu menjadi hujan untuk menyemaikannya. Bang Arif, kembali ke tanah air setelah satu bulan kepergian Yusuf. Dan dia mengulurkan tangan dan pundaknya untuk menjadi sandaran sebagai imamku. Bagaimana pun berlikunya, jika Bang Arif jodohku pasti bertemu juga.

Assalamualaikum, jodohku.” Kalimat itu lagi-lagi terdengar manis di gendang telingaku, menumbuhkan benih cinta yang baru kami jalani sebagai pasangan suami-istri.


Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar