“Maafkan
aku, Dek. Aku harus pergi!” Suara telepon tersebut membuyarkan segala impianku
bersamanya.
“Bang
… apa harus secepat ini?” jawabku sambil terisak, bening hangat tidak mampu
terbendung di kelopak mata.
“Sekali
lagi, ini bukan kuasa Abang. Tetapi ini panggilan jiwa, ada yang lebih penting
dari pada kesenangan Abang sendiri.”
“Baiklah,
Bang. Adek mengerti sekarang. Jaga diri Abang baik-baik …,” ucapku terbata.
“Adek,
ingatlah jika kita memang berjodoh, di mana pun kita berada pasti akan bersatu
juga.”
“Ya,
sudah Bang. Assalamualaikum.”
Sebelum
Bang Arif menjawab salam, telepon langsung kumatikan. Aku tidak sanggup menahan
diri untuk tidak menangis. Bang Arif adalah pria yang aku kenal saat koas di rumah
sakit Ganesa. Dia adalah dokter muda, ganteng dan pasti saleh. Pertama
mengenalnya entah mengapa hatiku selalu bergetar dan jantung berdebar kencang.
Pesonanya sebagai dokter muda bukan hanya memikat hatiku tetapi juga
teman-teman perempuan satu kelompok koas.
Ternyata,
Bang Arif adalah sepupu dari sahabatku Mila. Aku sangat terkejut tatkala dia
datang ke acara tasyakuran pernikahan Mila dengan Mas Fajar. Dan semenjak pertemuan
di acara sahabatku itu, tidak jarang Mila berkali-kali menjodohkanku dengan
Bang Arif.
“Sudahlah,
Dian. Jujur saja, kamu sukakan sama Bang Arif?” tanya Mila saat aku berkunjung
ke rumahnya untuk meminjam buku.
“Maksudmu?”
jawabku kaget. Pertanyaan Mila ibarat meteor yang jatuh pas di hulu hatiku.
“Benarkan,
Dian! Kamu itu tidak akan bisa bohong sama aku. Lihatlah wajah kamu sudah kayak
udang rebus.”
Aku
memang tidak bisa bohong sama sahabatku yang satu itu. Akhirnya, ku ceritakan
bahwa aku memang mencintai Bang Arif. Semenjak peristiwa itu, Mila bersama
suaminya mengatur perjodohanku dengan Bang Arif. Ternyata, tidak butuh waktu
lama. Bang Arif juga mencintaiku.
Dunia
seakan penuh bunga yang bermekaran. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang
istri dan calon ibu bagi anak-anakku kelak. Tetapi, kebahagian itu hanya
sesaat. Seminggu setelah ta’aruf,
Bang Arif membatalkannya. Dia mendapat tugas menjadi relawan untuk korban
perang di Gaza. Hanya air mata keikhlasan yang mampu mengantarkan dia ke bumi
jihad tersebut.
Sebulan,
dua bulan hingga satu tahun lebih, Bang Arif tidak ada kabar. Setiap ku tanya
kepada Mila, dia hanya menjawab “Sudah lupakan Bang Arif, Dian. Jangan menunggu
sesuatu yang belum pasti.” Perkataan Mila tersebut, membuatku membulatkan tekad
untuk melupakan Bang Arif. Kucoba berkenalan dengan beberapa pria tetapi tidak
satu pun yang mengenah di hati.
Pada
lebaran haji, ada seorang ikhwan
bernama Yusuf mengkhitbah lewat Pamanku. Dia adalah guru SMP, lulusan IAIN
Sunan Ampel dan umurnya kira-kira dua tahun di atasku. Aku tidak mungkin
langsung menerimanya. Shalat istikharah dan juga meminta saran sahabat setiaku:
Mila, untuk memutuskan semuanya.
Mila
sangat mendukungku, asal pria itu saleh dan bertanggung jawab sudah cukup untuk
di terima. Aku sangat beruntung memiliki sahabat seperti dia, wanita berhijab
panjang dan sedang hamil anak pertamanya tersebut. Setelah shalat istikharah
selama seminggu, ada kemantapan hati untuk menerima Yusuf. Mendengar
penjelaskanku, seluruh keluarga tersenyum bahagia.
Dua
minggu kemudian adalah hari pernikahanku. Entah mengapa ada perasaan takut dan
was-was. Mungkin ini adalah godaan setan kepada manusia yang ingin
melangsungkan sunah rasul dan menyempurnakan separuh agama. Ternyata, perasaan
itu benar. Setelah shalat isya’ ada telepon dari salah satu keluarga Yusuf yang
mengabarkan bahwa Yusuf kecelakaan saat mau membeli baju baru untuk tasyakuran
pernikahan nanti.
Tangisku
pun meledak, ibu memeluk dan menenangkanku bahwa Yusuf tidak akan apa-apa.
Ternyata semua berakhir, kulihat seorang pria terbujur kaku dalam balutan kain
putih. Kejadian tersebut mengantarkanku menginap di rumah sakit. Mila selalu
setia menemaniku dalam keadaan yang terpuruk ini. berkali-kali dia bilang
“Dian, kamu harus sabar dan tegar. Ingat semua telah tercatat di lauh mahfuz-Nya.”
Mendung
berganti musim semi yang selalu menumbuhkan harapan baru. Termasuk hamba-Nya
yang selalu merindukan cinta dari sesama makhluk-Nya.
“Assalamualaikum, jodohku,” godanya
sambil memegang telapak tanganku. Aku hanya tersenyum malu.
“Kok,
senyum-senyum! Malunya bidadariku?” Imamku satu ini selalu saja bisa membuatku
tersipu malu akan sifat romantisnya.
Allah
mentakdirkan lain, bukan Yusuf tetapi Bang Arif. Dia datang di waktu yang
tepat. Di mana ketika hati tandus akan cinta, dia mampu menjadi hujan untuk
menyemaikannya. Bang Arif, kembali ke tanah air setelah satu bulan kepergian
Yusuf. Dan dia mengulurkan tangan dan pundaknya untuk menjadi sandaran sebagai
imamku. Bagaimana pun berlikunya, jika Bang Arif jodohku pasti bertemu juga.
“Assalamualaikum, jodohku.” Kalimat itu
lagi-lagi terdengar manis di gendang telingaku, menumbuhkan benih cinta yang
baru kami jalani sebagai pasangan suami-istri.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar