Selasa, 18 November 2014

Pelangi Ikhtiar

Aku gagal dan terjatuh. Semua mata mengarah kepadaku. Mengapa ini harus terjadi? Sungguh tidak mungkin seorang Ilham yang selalu juara kelas di SMP harus terperosok ke urutan duapuluh besar dengan rata-rata tujuh untuk nilai Ujian Nasional.

Airmata tak bisa terbendung lagi, nilai hancur dan masuk SMA favorit pun pupus. Kecewa dan tidak bisa terima mengapa Allah memberikan ujian ini kepadaku. Apa salah dan dosaku, belajar pun tak pernah lalai, justru teman yang malas nilai UNnya jauh lebih bagus. Ini tidak adil.

Di dalam kamar, kuluapkan segala emosi dengan menangis sejadi-jadinya. Merenung apa yang terjadi kemarin sebelum hal ini terjadi. Aku mulai duduk di bangku Sekolah Dasar sampai kelas tiga SMP semester satu selalu juara kelas. Semua orang memuji kepandaianku tetapi sepandai-pandai tupai melompat pasti jatuh juga. Benar kata pepatah, akhirnya kejatuhan dan kegagalan  itu pun nyata dalam rangkaian episode hidupku.

“Aku gagal, Bu!” ucapku kepada ibu.
“Sabar, Nak. Ini ujian dari-Nya untuk menaikan kwalitasmu,” jawab ibu sambil mengusap rambutku.
Aku tak kuasa menahan airmata, mengalirlah membasahi pipi.
“Allah tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Mungkin menurut kita itu jelek belum tentu jelek di mata-Nya, atau sebaliknya menurut kita itu baik belum tentu baik di mata-Nya,” lanjut ibu berusaha menenangkanku.
Entah seperti mantra yang mujarab, kalimat yang terucap dari bibirnya mampu menenangkan hati yang sedang gundah. Aku yakin skenario Allah pasti jauh lebih baik dari apa yang di rencanakan hamba-Nya. Terima kasih, Bu. Ku kecup keningnya tulus.
***
Gelap berganti terangnya matahari, pagi menyambut insan yang senantiasa bertasbih kepada Sang Pencipta. Seperti mendapat energi baru, aku lebih siap untuk menerima kegagalan ini walau begitu berat belajar ikhlas. Kulihat saat wisuda SMP bukan lagi namaku yang di panggil sebagai juara. Tidak apalah masih ada hari esok dan aku akan berprestasi lagi. Entah mengapa, api semangat berkobar begitu besar di dada.

Akhirnya keputusan melanjutkan ke SMA favorit harus terganti dengan SMA biasa. Ternyata rasa kecewa itu masih tersimpan di hati, apalagi melihat teman yang bisa melanjutkan ke SMA favorit, harusnya aku juga bersaing bersama mereka.

“Ilham, ada apa kok melamun?” tanya sahabatku Azis sambil menepuk pundakku.
“Tidak apa-apa, hanya aku masih belum percaya bisa sekolah di sini,” jawabku gugup.
“Aku mengerti kamu pasti kecewa, sang juara kelas harus sekolah di SMA biasa, ya kan!”
Aku mengangguk lalu menunduk, lagi-lagi airmata menetes.
“Ilham, mungkin inilah jodohmu,” seru Azis.
“Maksudnya.”
“ini sudah skenario Allah untukmu jadi terimalah dengan ikhlas. Mungkin sulit bagimu, tetapi percayalah akan ada pelangi di balik besarnya badai. Kamu tunjukan kepada mereka di mana pun berada selalu berprestasi.”
Entah mengapa nasehat Azis begitu menusuk ke dalam hatiku. Sepercik harapan baru mulai tumbuh dan semangat untuk bangkit semakin besar. Mungkin kemarin aku gagal, tetapi kali ini aku harus melangkah jauh lebih baik dari kemarin.

Percaya atau tidak di SMA ini, aku bukan hanya belajar ilmu umum saja tetapi juga ilmu agama, mulai dari shalat dhuha hingga shalat dzuhur berjamaah. Sungguh pemandangan aneh tetapi di sinilah aku bangkit dan menjadi Ilham yang berkarakter islami dan berprestasi.

Gelar ketua osis melekat di balik diriku sebagai seorang siswa. Tidak pernah menyangka, dulu untuk menjadi ketua osis mungkin hanya mimpi sekarang gelar ini pun aku raih. Aku masih belum puas aku ingin membanggakan sekolah ini. Banyak orang yang merendahkan murid dari SMA di mana aku sekolah.

“Untung anakku tidak sekolah di SMA itu, muridnya bodoh dan nakal.”

Cibiran orang di luar sana mengenai SMA di mana aku bersekolah, begitu membuat gendang telinga ini panas. Aku akan membuktikan bahwa murid di sini tidak sebodoh dan senakal yang mereka kira, tetapi mereka mampu bersaing dan berprestasi.

Sebagai ketua osis, aku menebar semangat bagi teman-teman agar bangkit dan tidak malas untuk belajar lebih giat lagi serta tidak lupa berdoa kepada-Nya. Banyak sekali hambatan mulai dari rasa malas dan bosan yang kadang datang begitu saja hingga minimnya sarana untuk belajar. Tidak jarang aku harus fotocopy bahan untuk belajar. Alhasil, nilai kita lumayan walau belum mencapai titik luar biasa.

Menginjak kelas tiga SMA, kegiatan kami hanya belajar untuk persiapan Unas. Aku yang pernah gagal sebelumnya, tidak ingin terulang kembali. Tetapi bukan hanya bagiku. Aku ingin kesuksesan nanti juga untuk teman-teman satu SMA.
Sebagai murid yang nilainya paling tinggi, aku harus berbagi membantu teman lainnya untuk bisa. Aku merasa sifat egois dan ingin menang sendiri terkikis oleh ukhuwah yang begitu besar antara aku, teman-teman dan juga guru-guru. Berkali-kali rasa syukur terucap di dalam hati ini, karena bersekolah di SMA biasa ini. Ternyata aku bisa lebih berarti di sini.

Inilah langkah perjuangan kami setelah tiga tahun akan dipertaruhkan dalam tiga hari. Dalam hati kecil, aku berdoa semoga melancarkan unas kali ini bukan hanya untukku tetapi juga teman-teman seperjuangan.
***
“Di balik kesulitan pasti ada kemudahan.” (QS Al-Insyirah(94):5)

Setelah menunggu beberapa bulan, akhirnya pengumuman hasil unas akan kami ketahui. Dalam harap-harap cemas kami yang berada di aula SMA berdoa semoga hasilnya baik.
Dengan kekuasaan-Nya, SMA kami dinyatakan lulus seratus persen. Rasa haru dan bahagia bercampur di aula dan tak lupa sujud syukur kepada-Nya.
Satu persatu dari kami mengecek nama dan urutan nilai. Aku tak melihat namaku sama sekali di urutan atas. Aku panik dan takut jika kegagalan itu harus terulang kembali.
“Ilham, selamatnya,” ucap Azis sambil memelukku.
“Iya sama-sama. Alhamdulilah kita bisa lulus.”
“Bukan itu!”
“Maksudnya?”
“Selamat kamu juara umum sekabupaten Pasuruan tingkat SMA.”
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Azis, seperti tak percaya. Kemudian Azis menunjukan pengumuman yang  tertulis “Ilham Firmansyah sebagai juara umum sekabupaten Pasuruan.”

Ya … Allah inikah skenario yang Engkau tulisan untuk hamba. Aku bersyukur pernah terjatuh karena dengan begitu, aku mengerti makna bangkit dan berhasil. Tiba-tiba aku teringat nasehat Azis, “Ingatlah pasti ada pelangi di balik badai.”

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar