Aku
gagal dan terjatuh. Semua mata mengarah kepadaku. Mengapa ini harus terjadi?
Sungguh tidak mungkin seorang Ilham yang selalu juara kelas di SMP harus
terperosok ke urutan duapuluh besar dengan rata-rata tujuh untuk nilai Ujian
Nasional.
Airmata
tak bisa terbendung lagi, nilai hancur dan masuk SMA favorit pun pupus. Kecewa
dan tidak bisa terima mengapa Allah memberikan ujian ini kepadaku. Apa salah
dan dosaku, belajar pun tak pernah lalai, justru teman yang malas nilai UNnya
jauh lebih bagus. Ini tidak adil.
Di
dalam kamar, kuluapkan segala emosi dengan menangis sejadi-jadinya. Merenung
apa yang terjadi kemarin sebelum hal ini terjadi. Aku mulai duduk di bangku
Sekolah Dasar sampai kelas tiga SMP semester satu selalu juara kelas. Semua
orang memuji kepandaianku tetapi sepandai-pandai tupai melompat pasti jatuh
juga. Benar kata pepatah, akhirnya kejatuhan dan kegagalan itu pun nyata dalam rangkaian episode
hidupku.
“Aku
gagal, Bu!” ucapku kepada ibu.
“Sabar,
Nak. Ini ujian dari-Nya untuk menaikan kwalitasmu,” jawab ibu sambil mengusap
rambutku.
Aku
tak kuasa menahan airmata, mengalirlah membasahi pipi.
“Allah
tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Mungkin menurut kita itu jelek belum
tentu jelek di mata-Nya, atau sebaliknya menurut kita itu baik belum tentu baik
di mata-Nya,” lanjut ibu berusaha menenangkanku.
Entah
seperti mantra yang mujarab, kalimat yang terucap dari bibirnya mampu
menenangkan hati yang sedang gundah. Aku yakin skenario Allah pasti jauh lebih
baik dari apa yang di rencanakan hamba-Nya. Terima kasih, Bu. Ku kecup
keningnya tulus.
***
Gelap
berganti terangnya matahari, pagi menyambut insan yang senantiasa bertasbih
kepada Sang Pencipta. Seperti mendapat energi baru, aku lebih siap untuk
menerima kegagalan ini walau begitu berat belajar ikhlas. Kulihat saat wisuda
SMP bukan lagi namaku yang di panggil sebagai juara. Tidak apalah masih ada
hari esok dan aku akan berprestasi lagi. Entah mengapa, api semangat berkobar
begitu besar di dada.
Akhirnya
keputusan melanjutkan ke SMA favorit harus terganti dengan SMA biasa. Ternyata
rasa kecewa itu masih tersimpan di hati, apalagi melihat teman yang bisa
melanjutkan ke SMA favorit, harusnya aku juga bersaing bersama mereka.
“Ilham,
ada apa kok melamun?” tanya sahabatku Azis sambil menepuk pundakku.
“Tidak
apa-apa, hanya aku masih belum percaya bisa sekolah di sini,” jawabku gugup.
“Aku
mengerti kamu pasti kecewa, sang juara kelas harus sekolah di SMA biasa, ya kan!”
Aku
mengangguk lalu menunduk, lagi-lagi airmata menetes.
“Ilham,
mungkin inilah jodohmu,” seru Azis.
“Maksudnya.”
“ini
sudah skenario Allah untukmu jadi terimalah dengan ikhlas. Mungkin sulit
bagimu, tetapi percayalah akan ada pelangi di balik besarnya badai. Kamu
tunjukan kepada mereka di mana pun berada selalu berprestasi.”
Entah
mengapa nasehat Azis begitu menusuk ke dalam hatiku. Sepercik harapan baru
mulai tumbuh dan semangat untuk bangkit semakin besar. Mungkin kemarin aku
gagal, tetapi kali ini aku harus melangkah jauh lebih baik dari kemarin.
Percaya
atau tidak di SMA ini, aku bukan hanya belajar ilmu umum saja tetapi juga ilmu
agama, mulai dari shalat dhuha hingga shalat dzuhur berjamaah. Sungguh
pemandangan aneh tetapi di sinilah aku bangkit dan menjadi Ilham yang
berkarakter islami dan berprestasi.
Gelar
ketua osis melekat di balik diriku sebagai seorang siswa. Tidak pernah
menyangka, dulu untuk menjadi ketua osis mungkin hanya mimpi sekarang gelar ini
pun aku raih. Aku masih belum puas aku ingin membanggakan sekolah ini. Banyak
orang yang merendahkan murid dari SMA di mana aku sekolah.
“Untung
anakku tidak sekolah di SMA itu, muridnya bodoh dan nakal.”
Cibiran
orang di luar sana mengenai SMA di mana aku bersekolah, begitu membuat gendang
telinga ini panas. Aku akan membuktikan bahwa murid di sini tidak sebodoh dan
senakal yang mereka kira, tetapi mereka mampu bersaing dan berprestasi.
Sebagai
ketua osis, aku menebar semangat bagi teman-teman agar bangkit dan tidak malas
untuk belajar lebih giat lagi serta tidak lupa berdoa kepada-Nya. Banyak sekali
hambatan mulai dari rasa malas dan bosan yang kadang datang begitu saja hingga
minimnya sarana untuk belajar. Tidak jarang aku harus fotocopy bahan untuk
belajar. Alhasil, nilai kita lumayan walau belum mencapai titik luar biasa.
Menginjak
kelas tiga SMA, kegiatan kami hanya belajar untuk persiapan Unas. Aku yang
pernah gagal sebelumnya, tidak ingin terulang kembali. Tetapi bukan hanya
bagiku. Aku ingin kesuksesan nanti juga untuk teman-teman satu SMA.
Sebagai
murid yang nilainya paling tinggi, aku harus berbagi membantu teman lainnya
untuk bisa. Aku merasa sifat egois dan ingin menang sendiri terkikis oleh
ukhuwah yang begitu besar antara aku, teman-teman dan juga guru-guru.
Berkali-kali rasa syukur terucap di dalam hati ini, karena bersekolah di SMA
biasa ini. Ternyata aku bisa lebih berarti di sini.
Inilah
langkah perjuangan kami setelah tiga tahun akan dipertaruhkan dalam tiga hari.
Dalam hati kecil, aku berdoa semoga melancarkan unas kali ini bukan hanya
untukku tetapi juga teman-teman seperjuangan.
***
“Di balik kesulitan pasti ada
kemudahan.” (QS Al-Insyirah(94):5)
Setelah
menunggu beberapa bulan, akhirnya pengumuman hasil unas akan kami ketahui.
Dalam harap-harap cemas kami yang berada di aula SMA berdoa semoga hasilnya
baik.
Dengan
kekuasaan-Nya, SMA kami dinyatakan lulus seratus persen. Rasa haru dan bahagia
bercampur di aula dan tak lupa sujud syukur kepada-Nya.
Satu
persatu dari kami mengecek nama dan urutan nilai. Aku tak melihat namaku sama
sekali di urutan atas. Aku panik dan takut jika kegagalan itu harus terulang
kembali.
“Ilham,
selamatnya,” ucap Azis sambil memelukku.
“Iya
sama-sama. Alhamdulilah kita bisa lulus.”
“Bukan
itu!”
“Maksudnya?”
“Selamat
kamu juara umum sekabupaten Pasuruan tingkat SMA.”
Mendengar
kalimat yang keluar dari mulut Azis, seperti tak percaya. Kemudian Azis
menunjukan pengumuman yang tertulis
“Ilham Firmansyah sebagai juara umum sekabupaten Pasuruan.”
Ya
… Allah inikah skenario yang Engkau tulisan untuk hamba. Aku bersyukur pernah
terjatuh karena dengan begitu, aku mengerti makna bangkit dan berhasil.
Tiba-tiba aku teringat nasehat Azis, “Ingatlah pasti ada pelangi di balik
badai.”
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar