ALHAMDULILLAH, SETELAH SEKIAN PURNAMA
AKHIRNYA SAYA BISA MENYELESAIKAN SEBUAH CERPEN SEDERHANA INI. SEBENARNYA BANYAK
CERPEN YANG SAYA TULIS TAPI SEMUA MASIH STUCK DI JUDUL DAN OPENING SAJA, DASAR
BEGITU KEJAMNYA SAYA MENCAMPAKKAN MEREKA BERBULAN-BULAN LAMANYA.
MAKANYA SAYA INGIN SEKALI MERAYAKAN
CERPEN PERTAMA INI SETELAH LAMA VACUM DAN SEKARANG AKHIRNYA BISA COMEBACK.
FINALLY…. CHEERS! NAMUN CERPEN INI BEGITU AMAT SANGAT SEDERHANA. SEMOGA KALIAN
TIDAK BINGUNG ATAU MUAL SAAT MEMBACA CERPEN INI. KRITIK, SARAN DAN APAPUN YANG
MEMBANGUN SIAP SAYA TAMPUNG. AT THE LEAST, SELAMAT MEMBACA DAN MENIKMATI.
*
Pernahkah
kalian jatuh cinta kepada orang asing yang baru pertama kalian kenal? Jika
pernah… harusnya aku sudah menuangkan anggur agar kita bisa saling bersulang
merayakan hal itu. Aneh bukan? Tapi tidak ada yang aneh dengan namanya
‘C.I.N.T.A’ semua berjalan alami atas kehendak semesta. Sudah cukup
cuap-cuapnya tentang cinta kalian bisa searching sediri di google. Oke… tak
pakai panjang kali lebar, aku akan menceritakan tentang kisahku jatuh hati
kepada lelaki asing yang membuat diri ini lupa untuk pijak bumi.
“Sial…
hujan!” runtuk seorang cowok di sampingku. Aku masih bersyukur karena
pengunjung fotokopi tidak terlalu banyak sehingga banyak bangku tunggu yang
tersisa. Tinggal aku dan cowok yang menggerutu karena hujan saja. Entah mengapa
hujannya semakin lama semakin lebat, sudah sepuluh menit aku dan cowok itu
menunggu di depan tempat fotokopian.
“Bakal
lama nih redahnya!” ucap cowok itu sambil memandang langit luar. Lalu dia
mengotak-atik hapenya, “Dasar sial pakai lowbat lagi!”
Sudah
keberapa kalinya aku mendengar gerutuan cowok tersebut. Aku masih setia dengan
membaca soal tryout yang tadi sudah di fotokopi.
“Punya
korek api nggak?” tanya cowok itu sambil menatap ke arahku. Sontak di balik
kacamata, aku melihat jelas cowok yang aku taksir lebih tua dariku dua atau
tiga tahun. Aku hanya menggeleng seperti hilang kesadaran. Tampan!
“Dasar
kenapa sial banget gue hari ini!” makinya yang entah terdengar sexy di gendang
telingaku. Astaga … kenapa denganku jangan-jangan aku sudah kena hipnotis
pesonanya. Beberapa menit seperti ada jeda diantara kita, tak ada suara hanya
suara hujan yang semakin lebat disertai kilat.
“Hai
… loe nggak takut ke sambar petir apa duduk di situ?” tanyanya kepadaku. Aku
kembali kayak bocah bloon yang tidak mengerti apa-apa di tanya begitu. Sadar
Awan!
“Dasar
bocah! Ditanya malah diam… oke gue emang tampan tapi nggak usah sampai
terpesona begitu.” Senyumnya…. Tuhan, mengapa dia punya senyum seperti itu yang
seakan ingin mencabut hati ini.
“Eh..
em.. takut sih kak!” jawabku gugup dan salah tingkah.
“Kalau
takut sini merapat, biar kalau gue atau loe ke sambar petir ada saksinya!”
tawarnya sambil menepuk bangku kosong di sampingnya. Seperti kerbau di cucuk
hidungnya, aku menurut saja tanpa ada rasa takut kalau dia adalah orang asing.
“Raden
Prabu Agung Syailendra… panggil saja Agung,” kenalnya tanpa ada uluran tangan.
Namanya begitu panjang dan ningrat sekali. Mungkin dulu orang tuanya suka
pelajaran sejarah.
“Baik,
Mas Agung.” Sekali lagi dia tersenyum sambil mengangkat dua jempolnya. Kenapa
dia begitu serakah selain tampan, dia punya senyum yang menawan.
“Kalau
loe ehh adek siapa namanya?” Kenapa aku jadi salah tingkah ketika dia memanggil
aku ‘adek’ itu kan hanya bentuk etika saat mengobrol dengan orang yang belum di
kenal. Namun sepertinya ada sesuatu yang berdesir di dalam tubuh.
“Awan…!”
ucapku gugup.
“Awan
saja tanpa nama panjang?” tegasnya setelah mendengar namaku. Aku hanya
mengangguk.
Tawanya
kini meledak hingga dia kembali diam saat kilat disertai petir mengamuk. Sebel
rasanya, setiap kali kenalan dengan orang pasti nama orang panjang-panjang.
Namun kenapa orangtuaku dulu tidak kreatif hanya kasih nama dengan satu kata
yakni, AWAN.
“Maaf…
gue tidak bermaksud mengejek karena baru sekarang gue kenalan dengan orang yang
namanya cuma satu kata.” Dia sepertinya ingin memperbaiki suasana karena
mendengar tawanya, mukaku langsung kecut tak berbinar lagi.
“Namun
nama AWAN adalah nama yang bagus, eh kalau boleh tahu, mengapa ortu loe kasih nama anaknya cuma satu kata?”
“Janji
nggak diketawain!” dia kembali tersenyum sambil menautkan jari telunjuk dan
tengahnya hingga jadi simbol swear.
“Ayah
dan ibu kan seorang pengusaha, jadi mereka sibuk karena nggak mau repot jadi di
kasih tuh nama Awan. Karena bagi mereka, awan adalah nama yang indah dan
meneduhkan.”
Dia
mengangguk serius mencerna penjelasanku, “Aku pernah sebel sama ayah dan ibu
kenapa namaku pendek, tidak ada tambahan atau yang filosofi, ‘kan nama adalah
doa…. Lantas mereka menjawab, ‘mengapa nama harus panjang-panjang kalau nanti
yang buat panggilan juga nama pendek’ sejak saat itu aku nggak lagi merenggek
tentang asal usul namaku.”
Kulihat
dia menahan perut dan sekian detik tawanya meledak. Sial! Kenapa juga aku harus
cerita tentang namaku kepada orang asing.
“Mas
Agung!” teriakku
“Maaf…
maaf gue nggak bisa nahan untuk tidak ketawa, mendengar cerita dan ekspresimu
begitu lucu!”
Aku
memasang wajah masam ke arahnya.
“Astaga
jangan pasang wajah mengerikan itu ke mas dong! Kalau kamu begitu tambah imut
saja, dek!”
Apa
… Kamu? Imut? Tuhan apa aku tidak salah dengar, cowok manly seperti Dimas
Anggara itu bilang, aku imut. Kalau aku salah dengar biarkan saja aku tuli.
Kupu-kupu seakan berterbangan di dalam perut.
“Awan…
eh Dek Awan sekolah di SMA dekat kampus mas situ ya?”
Dek
Awan! Please… Mas Agung jangan buat aku baper dan lumer dengan kata-katamu. Aku
mengangguk membenarkan perkataannya.
“Mas
Agung kuliah di kampus itu… jurusan apa?”
“Teknik
Mesin!”
Pantes
saja dia begitu manly, bisepnya begitu menggoda untuk bergelayutan di situ.
Astaga Awan… jangan mesum dia masih orang asing dan belum tentu dia sefrekuensi
denganmu.
“Kalau
Dek Awan kelas berapa?
“Kelas
12!”
“Oh…
bentar lagi lulus ya. Mau melanjutkan kuliah dimana?”
“Belum
tahu rencananya sih mau di bidang kesehatan, tapi nggak yakin!”
“Kenapa
nggak yakin? Aku yakin kalau Dek Awan berusaha lebih keras pasti dapat.”
Aku
tersenyum mendengar ucapan motivasi yang pertama kali keluar dari bibirnya yang
menggoda untuk dilumat selain gerutuan dia tadi.
“Dek
Awan jangan tersenyum gitu?”
“Kenapa
mas?”
“Karena
Dek Awan semakin manis saja.”
Dasar
Mas Agung tipekal badboy yang suka merayu perempuan.
“Di
jurusan teknik selain diajarkan tentang mesin, juga hapalan gombal ya!”
Oh my ghost!
Kenapa kalimat itu yang keluar dari bibirku. Dia kembali terkekeh dan menatapku
sambil memamerkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.
“Dek
Awan bisa saja… emang nggak suka di gombalin cowok cakep kayak Mas Agung?”
Mau
pakai banget. Itu hanya mampu aku teriakkan di dalam hati. Aku hanya tersenyum
karena jika di lanjut takut bisa lupa diri.
“Hujannya
mulai redah!” ucapnya sambil melihat langit. Hujannya sudah berganti gerimis,
kendaraan depan fotokopi sudah mulai ramai. Mungkin mereka juga berteduh tadi
karena hujan. Mas penjaga fotokopi kulihat masih asyik rebahan di atas tikar
sambil pakai headset, kurasa dia tidak
mendengar obrolan aku dengan Mas Agung tadi.
“Kurasa
sampai disini ya Dek Awan… aku harus kembali ke kampus. Sampai jumpa lagi!”
ucapnya sambil tersenyum ke arahku lalu dia menerobos gerimis menuju ke
kampusnya yang hanya berjarak 200 meter dari fotokopi tempat aku duduk kini.
Punggung gagah itu perlahan menjauh dan hilang tertelan jarak.
Bodohnya
aku! Kenapa aku tadi tidak minta nomor hapenya atau alamat emailnya. Bagaimana
aku bisa bertemu dengan Mas Agung lagi. Aku pun hanya bisa menghela napas
kecewa dan sedih sambil berjalan pulang.
Seminggu
sejak pertemuan singkat dengan Mas Agung membuat diriku uring-uringan tidak
jelas. Berangkat pagi berharap bisa melihatnya di gerbang kampus dan menjadi
agenda rutin naik ke lantai dua sekolah hanya untuk memandangi gedung kampus
Mas Agung. Dan yang menjadi korban uring-uringanku adalah Tristan, sahabat
sebangku.
“Kamu
yakin akan berjumpa lagi dengan Mas Agungmu itu? Atau jangan-jangan dia
straight dan sudah punya cewek!” ucap Tristan tanpa disaring lebih dulu,
membuat bola mataku membulat di balik kacamata.
“Dasar
sialan! Kamu tuh sahabat apa bukan sih?” jawabku ketus. Yups! Tristan adalah
sahabat sekaligus tempat curhat bagiku, dia tahu semua rahasiaku termasuk kalau
aku seorang cowok yang mempunyai cinta berbeda. Bersyukur sekali dia mau menerima
aku apa adanya untuk jadi sahabatnya.
“Hei,
Awan yang cupu bin tulul! Ingat Mas Agungmu itu sudah kuliah, mahasiswa yang
katamu cakep kayak Dimas Anggara, aku yakin dua ribu persen kalau dia banyak
yang naksir.”
Mendengar
perkataan Tristan, aku hanya bisa mengacak-acak rambutku yang tidak gatal.
Benarkah apa yang dikatakan Tristan? Jika dilihat dari sikap Mas Agung memang
logikanya pasti banyak cewek yang naksir sama dia. Ah.. kenapa aku jadi
frustasi hanya karena orang asing yang kukenal sekali saja saat hujan itu.
“Aku
duluan ya, Awan! Soalnya mau antar ayang Mawar pulang dulu… semoga kali ini
kamu beruntung bertemu dengan Mas Agungmu!” ledek Tristan sambil berlalu menuju
parkiran sekolah. Aku iri dengan hubungannya bersama Mawar, mereka terlihat begitu
saling melengkapi. Tristan yang sedikit selengekan, Mawar gadis yang sabar dan
tulus. Andai saja aku punya pasangan, pasti hari ini aku tidak akan menghalu
dan bergalau ria terus.
Sesampai
di gerbang sekolah, sepintas aku menengok kampus Mas Agung, Tuhan … andai saja
Mas Agung tiba-tiba menjemputku hari ini, betapa bersyukur dan bahagianya
diriku.
Tin…
tin….
Suara
klakson sepeda motor itu membuyarkan sebait doa yang ada dalam pikiranku. CBR
terbaru dengan pengendara jaket hitam dan tak ketinggalan helm teropong,
semakin gagah seseorang di depanku kali. Seperkian detik, aku menikmati dia
melepas helmnya. Dunia seakan berhenti berputar, angin membeku dan semua
menjadi patung. Senyum itu… iya! Senyum yang selama berhari-hari membuat aku
tersenyum sendiri dan susah tidur.
“Dek
Awan!” sapanya sambil tersenyum. Tuhan secepat inikah Engkau mengabulkan doaku.
“Eh…
dasar bocah di sapa malah bengong! Hello… apa orang di depanku ini tuli?”
Deg!
Sadar Awan… hampir saja aku menangis dan menghambur memeluknya kalau tidak
segera mengontrol diri ini.
“Mas…
Mas Agung!” jawabku sambil terbata antara percaya dengan masihkah diriku halu
karena begitu merindukan sosok Mas Agung.
“Ye…
siapa lagi kalau bukan Mas Agung, Mahasiswa paling ganteng sefakultas teknik!” candanya
penuh percaya diri. Aku yakin kali ini benar-benar nyata yang di depanku adalah
makhluk bernama Raden Prabu Agung Syailendra. Aku hanya bisa tersenyum sambil
salah tingkah kayak cabe-cabean. Bayangkan cowok manly pakai sepeda motor kayak
Boy di anak jalanan ada di depan kalian, pasti kalian juga akan klepek-klepek
kayak ikan keluar dari air.
“Maukah
Dek Awan aku antar pulang?”
Ya
Tuhan… kejutan apalagi ini, Mas Agung akan mengantarkan aku pulang ke rumah.
Bolehkah aku memohon agar waktu kali ini berjalan lambat.
Aku
pun mengangguk tanda setuju. Mas Agung pun mengasihkan helm satunya lagi dan
memasangkannya di kepalaku. Oh My Ghost! Sweet banget Mas Agungku… aku jadi
kepikiran mungkin semua ini sudah disiapkannya untuk menjemputku. Hello Awan,
jangan kepedean deh!
Di
boncengan Mas Agung, tubuh ini terasa panas dingin, bagaimana tidak? Hampir
anggota tubuhku begitu intim dengan tubuh Mas Agung yang begitu dekat, sampai
aku bisa membaui aroma parfum yang dia pakai. Wanginya begitu maskulin hingga
ingin rasanya tangan ini melingkar di pinggangnya agar hidung ini puas membaui
aroma tubuhnya. Namun nyatanya aku hanya bisa memegang jaket yang dia pakai.
“Dek,
bisa lebih erat pegangannya? Mas akan sedikit mengebut!”
Mukaku
menjadi panas, suhu tubuh mendadak meningkat. Tiba-tiba tangan kiri Mas Agung
menarik tanganku melingkar di perutnya. Tuhan mimpikah ini? Berusaha setenang
mungkin aku menautkan kedua tangan melingkar di perutnya. Dari jarak dekat, aku
bisa merasakan semakin lekat aroma tubuh Mas Agung. Aku berharap dia tidak
mendengar degup jantungku yang semakin kencang berdebar.
*
Sejak
kejadian itu entah takdir yang sedang baik atau bagaimana, Mas Agung seperti
lagi pedekate kepadaku. Beberapa kali dia sepertinya sengaja menungguku di
gerbang sekolah, tetapi dia beralasan kalau kebetulan lewat. Seperti tadi dia
kayaknya mengikutiku yang sedang fotokopi, buktinya tiba-tiba dia ada di
sampingku dan bilang kebetulan. Anehnya dia tidak fotokopi atau beli apapun.
Sambil
menimbang mana yang betul tentang sikap Mas Agung, tiba-tiba ponselku
bordering. What! Mas Agung… ada apa sore-sore gini dia nelpon.
“Sore,
Dek! Lagi apa?”
“Lagi
santai saja di kamar, Mas! Emang ada apa Mas Agung telpon sore-sore gini?”
“Mas
lagi gabut malam minggu sendiri di kos. Ohnya adek sibuk nggak? Kalau nggak,
nanti Mas ajak ke tempat rahasia Mas!”
Deg!
Mas Agung ngajak kencan malam minggu. Awan… stop! Jangan halu, dia hanya gabut
dan butuh teman jalan-jalan saja.
“Halo…
apa masih ada orang?”
“Em…
iya… Mas… aku nggak sibuk kok!”
“Yaudah
setengah jam lagi Mas jemput, buruan dandan yang manis hehe!”
Klik…
telpon sudah di putus oleh Mas Agung. Dasar Mas Agung selalu begitu sikapnya,
spontan penuh kejutan yang bikin jantung berdegup tak beraturan.
*
“Jangan
bilang Mas Agung mau nyulik aku!”
Kelekarku
yang mulai merinding memasuki lorong lalu tangga kampus. Entah dapat kunci
darimana dia bisa memasuki area kampus dengan mudah.
“Emang
ada tampang Mas kayak penculik?” sahutnya dengan tawa kecil.
Entah
mau kemana Mas Agung mengajakku bermalam mingguan, kukira aku akan kencan
romantis, ternyata malah kayak lagi uji nyali. Bermodal senter kecil yang Mas
Agung pegang, kita menapaki tangga menuju lantai atas gedung kampus.
“Dek,
pegang tangan Mas agar kamu tidak jatuh atau diculik makhluk halus!”
Dengan
sedikit ragu dan gemetar aku memegang telapak tangannya atau lebih tepatnya
saling bergandengan tangan. Tuhan, aku berharap waktu melambat untuk malam ini.
“Sampai!”
teriak Mas Agung sambil menyeretku masuk. Hembusan angin malam semakin kencang
di lantai paling atas gedung kampus Mas Agung.
“Dek
Awan kedinginan?” tanyanya sambil menatapku yang sedikit menggigil, tanpa sadar
kita pun masih bergandengan tangan. Aku hanya tersenyum, sedetik kemudian
menggosok telapak tanganku dengan tangannya. Aku bersyukur karena tempat kita
berdiri sekarang agak gelap, kalau tidak… pasti Mas Agung bisa melihat wajahku
yang memerah atau menghangat atas sikapnya.
“Sudah
sedikit hangat ‘kan? Ayo kita kesana… Mas akan tunjukan malam yang tak pernah
Dek Awan lihat sebelumnya!”
Apa-apaan
ini… aku hanya mampu menutup mulut melihat pemandangan di depanku. Langit malam
yang cerah berhias bintang-bintang serta pemandangan kota lengkap dengan
gemerlap cahaya lampunya. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan apalagi
ditambah dengan seseorang yang beberapa waktu ini mencuri separuh hati berada
di sampingku.
Mas
Agung mengisyaratkan untuk aku duduk di bangku panjang yang sepertinya sudah
siapkan olehnya. Duduk di samping orang yang kita sukai diam-diam membuat diri
ini menjadi salah tingkah. Beberapa saat terjadi jeda dan hanya hembusan angin
yang mengisi kekosongan di antara kita.
“Bagaimana,
Adek suka tempat ini?”
Aku
hanya mampu mengangguk dan menatap wajah Mas Agung dalam remang. Kulihat
wajahnya yang tegas itu menatap ke depan.
“Inilah
tempat rahasia Mas saat butuh sendiri dan ketenangan. Namun, sekarang Dek Awan
tahu tempat rahasia ini. Janji jangan katakan ke orang lain!”
Tiba-tiba
tangannya menggenggam tanganku, spontan kita saling berpandangan. Shit! Kenapa
dia tersenyum, walau dalam keremangan mengapa pesonanya nyaris tak berkurang
sama sekali.
“Dek
Awan, mas ingin mengatakan ini dari awal kita bertemu, tapi selalu mas tidak
momen yang pas untuk mengatakannya!” Pegangannya di tanganku semakin erat,
tangan kita kurasa sama-sama berkeringat. Mas Agung menghela napas panjang,
tapi matanya masih fokus menatap wajahku.
“Terima
kasih… telah mau menjadi adik bagi Mas Agung. Karena Dek Awan mengingatkan mas
kepada adik mas yang sepuluh tahun lalu meninggal karena kecelakaan.”
Jleb!
Apa? Aku pasti salah dengar atau ini hanya halusinasiku saja. Mas Agung bilang
aku mengingatkan akan adiknya yang meninggal. Jadi, selama ini Mas Agung hanya
menganggapku sebatas adiknya saja. Seketika aku ingin teriak dan menangis
sejadi-jadinya, tapi sekuat tenaga aku menahannya agar tidak luruh di hadapan
Mas Agung.
“Dek
Awan mau kan jadi adik Mas Agung? Jadi, jika ada apa-apa adek tak perlu sungkan
untuk menghubungi mas. Aku pasti akan datang dan sekuat tenaga membantu adek!”
ucapnya walau ada keraguan dalam nada bicaranya. Sungguh jika aku tidak punya
kendali atas diri ini, mungkin aku ingin menangis dan teriak di hadapannya.
Tahukah Mas Agung aku punya perasaan lebih dari sekedar adik-kakak. Tahukah aku
diam-diam mencintaimu. Apakah kamu begitu bodoh tidak mengerti akan perasaanku.
Sungguh
kamu jahat, Mas Agung. Tunggu! Seharusnya bukan dia yang jahat tapi akulah yang
bodoh terlalu berharap lebih kepadanya. Angin berhembus kencang, tak ada
pegangan tangan lagi, aku dan Mas Agung sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tatapan kita sama, memandang langit malam yang begitu cerah berhias
kerlap-kerlip bintang, tetapi tidak dengan hatiku saat ini yang begitu mendung
bahkan remuk. Sekali lagi ini bukan salahnya, bukan maunya untuk menyakitiku.
Semuanya adalah salahku, meletakkan harap yang berlebih tanpa sadar tak ada
tempat untuk menampung harap itu di hatinya. Hatinya yang kini tak aku ketahui
dan masih membisu dalam hening dan gelap.[]
_FIN_
Epilog
Mas Agung POV
Bodohnya diriku….
Bodoh… bodoh banget loe, Agung! Tega sekali kamu menyakiti laki-laki di
boncenganmu kini. Lihatlah sedari tadi dia hanya diam dan kamu dengar isaknya,
bukan! Agung… agung… kamu benar-benar pria brengsek.
“Dek Awan baik-baik
saja?”
“Tidak apa-apa Mas.
Mungkin masuk angin, maklum aku tidak pernah keluar malam!”
“Yaudah cepatan masuk
ke dalam lalu tidur ya! Sekali lagi maafin Mas Agung bikin adek sakit.”
Awan hanya menggeleng
dan tersenyum lalu bergegas masuk ke rumahnya. Tuhan mengapa ini harus terjadi,
matanya merah, jelas-jelas itu bukan karena dia tidak enak badan tapi karena
dia menangis sepanjang perjalanan pulang tadi.
Sialan! Aku hanya mampu
mengumpat, seharusnya momen tadi jadi momen terindah bagi kita berdua. Agung…
mengapa kamu bisa sepengecut itu? Kamu malu kalau dirimu dianggap tak normal?
Lalu apakah mereka peduli dengan perasaanmu kini? Bodoh! kamu seorang mahasiswa
teknik yang terkenal pintar berargumentasi, tapi kenapa kamu bisa gagu hanya
untuk bilang tiga kata, “Aku Cinta Kamu.”
Semua terlambat, Awan
pasti membenciku. Semua karena kebodohan dan sifat pengecutku, seharusnya aku
lebih berani mengatakannya. Semua terlambat bahkan tak ada lagi harap buatku.
Dek Awan, maafin Mas Agung yang begitu tolol menyia-yiakan semuanya. Namun yang
harus Dek Awan mengerti sampai kapanpun rasa ini akan tetap sama dan tak akan
terganti di hati yakni hanya atas namamu, Awan.[]