Maafkan Aku, Karin!
Yanuari
Purnawan
Saat kau mencintai sesuatu pasti
ada rasa ingin dan terus berada di dekatnya. Seperti halnya pepatah jawa ‘Tresno jalaran soko kulino’ yang
artinya cinta hadir karena terbiasa bertemu. Begitupun yang sedang terjadi kepadaku.
Gara-gara sering belajar bersama, bahkan satu tim untuk mewakili sekolah dalam
olimpiade fisika. Membuat diri ini dalam dilema akan pesona gadis bermata
bening dengan senyum manisnya. Karina Devi Mayangsari, gadis itulah yang kini
berhasil mencuri mimpi-mimpi dalam tidurku.
“Kak …!” Mata itu tepat menatapku
yang duduk di depannya. “Hayo, melamunin apa?” candanya sambil tersenyum manis.
Hampir saja aku hilang fokus dan salah tingkah. Gadis yang sedang kupikirkan,
kini tepat berada di depanku.
“Nggak melamun kok! Kakak cuma lagi
mengingat-ingat rumus untuk soal ini,” elakku sambil membuka soal-soal latihan
untuk olimpiade fisika. Karin memajukan bibirnya membentuk huruf ‘O’ seolah tak
percaya dengan ucapanku barusan. Aku pun kembali tertunduk dan fokus kepada
soal-soal. Mendadak suasana menjadi hening dan canggung.
Entah apa yang mendorongku untuk
curi-curi pandang ke arahnya. Hingga seperkian detik mata kita beradu. Ces … seperti ada desiran halus menyusup
ke dalam hati. Karin tersipu dan sekilas pipinya merona merah. Aku pun
merasakan hal yang sama, gugup dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk
memecah kecanggungan diantara kita, akhirnya spontan Karin bertanya soal yang
entah dia tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti.
“Kak, apa sih maksud soal ini?”
tanyanya sambil menyodorkan kertas berisi soal fisika. Kubaca dengan seksama
walau masih ada rasa tak menentu di hati.
“Ini tentang tumbukan. Jadi, benda
yang mengalami tumbukan dengan massa yang sama akan memantul dengan gaya yang
sama pula seperti benda yang menumbuknya. Atau bisa disebut dengan momentum.”
Karin manggut-manggut mendengar
penjelasanku barusan. Secara refleks mata
kita pun beradu kembali. Kucoba menetralisir perasaan dan mencoba membuka
pembicaraan yang lebih serius dengannya.
“Apa kamu pernah merasakan momentum
itu?”
Mata beningnya mengerjap
memandangku lekat, “Maksud kakak?”
Lidahku mendadak keluh dan tenggorokan
terasa menelan duri. Sekuat tenaga kukumpulkan keberanian untuk menjelaskan
perasaan ini.
“Apakah Karin merasakan seperti ada
tumbukan di hati saat bersama kakak?”
Benar-benar pertanyaan konyol.
Sungguh jika aku mampu, aku ingin segera berlari dan meninggalkan tempat ini
sejauh-jauhnya. Namun, aku masih kaku untuk menunggu respon dari gadis
berjilbab putih di depanku. Aku menunduk sambil menelan ludah. Berkali-kali
pikiranku membodohi diri ini. Mana mungkin seorang Karina Devi Mayangsari
memiliki rasa yang sama kepada laki-laki yang bukan siapa-siapa.
“Kurasa massa yang menumbuk hati
ini sama, hingga menimbulkan gaya yang sama pula!” Senyum merekah dari bibir
mungilnya, “Kita jalani saja, kan kita tidak tahu apa yang terjadi kedepannya.”
Kaki ini seakan tak berpijak,
burung-burung bercicit merdu dan musim semi menumbuhkan bunga-bunga yang
bermekaran. Aku tak pernah menyangka jika perasaanku berbalas indah dari gadis
yang selama ini mencuri mimpi-mimpiku. Karin, kaulah yang pertama mengisi hati
ini dan kuharap menjadi yang selamanya.
***
Seperti hujan yang dirindu kemarau,
begitupun perasaanku kepada Karin. Semakin hari semakin subur dengan lebih intensnya hubungan kita. Dari obrolan
mengenai persiapan lomba hingga obrolan tak penting, semisal tanya kabar atau
sudah makan apa belum. Sungguh luar biasa virus merah jambu menyerang dua insan
yang masih berseragam putih abu-abu ini.
Persiapan untuk lomba semakin
intensif karena tinggal lima hari lagi. Namun, hal itu tak membuatku jenuh atau
stress, sebab aku semakin dekat
dengan Karin. Saat bimbingan, kita sering curi-curi pandang bahkan saling
diskusi jika ada soal yang salah satu dari kita tidak mengerti. Bagiku ini
sudah cukup berarti, walau dalam hati ini menolak. Ada rasa bersalah setelah
itu, namun berkali-kali aku menepis bahwa kita tidak pacaran dan melakukan
hal-hal yang dilarang agama.
Kedekatanku dengan Karin tercium
juga oleh seniorku Kak Rahmad yang merupakan ketua Remus atau Remaja Mushalla sekolah. Memang semenjak kelas satu aku
sudah ikut ekstrakulikuler dibidang keagamaan tersebut. Karena sebagai anak
desa yang harus sekolah di kota, aku merasa belum cukup kuat iman ini menahan
godaan-godaan yang lebih besar dibanding di tanah kelahiranku. Maka dari itu aku membutuhkan teman-teman
yang setia mengingatkanku ketika salah dalam melangkah. Salah satunya menjadi
anggota Remus.
Setelah salat zuhur berjamaah, Kak
Rahmad ingin bicara empat mata denganku. Mungkinkah Kak Rahmad mengetahui
kedekatanku dengan Karin. Tidak mungkin, karena aku dengan Karin tak pernah
macam-macam selama ini. Kita hanya dekat karena satu tim untuk mewakili sekolah
dalam olimpiade fisika. Walau tidak munafik ada perasaan khusus yang menyelinap
halus di dalam hati ini.
“Gimana kabar, antum?” tanya Kak Rahmad yang duduk di depanku sambil bersila.
Mimik wajahnya terlihat serius namun bersahaja. Hembusan angin terasa sejuk
menerpa wajah. Serambi mushalla selalu menyejukkan, mungkin karena merupakan
rumah Allah.
“Alhamdulillah, ana baik.”
“Ada hal penting yang ingin ana tanyakan kepada antum. Tapi, ana harap antum mau menjawabnya dengan jujur.”
Seperti ada gemuruh di dalam dada.
Sorot mata tajam Kak Rahmad seolah mengintimidasiku. Aku hanya menelan ludah
sambil mengangguk.
“Ada hubungan apa antum dengan Karin?”
Pertanyaan tersebut seolah
bumerang yang tepat menembus jantung.
Aku bingung untuk menjawab apa. Jujur selama ini aku memang tak ada hubungan
apa-apa dengan Karin. Namun, disatu sisi hubungan kita sudah seperti orang yang
pacaran walau tanpa predikat kekasih.
“Kita hanya partner untuk mewakili sekolah dalam olimpiade fisika. Tak lebih
dari itu!” jelasku sedikit lesu sambil menunduk. Kak Rahmad menepuk pundakku
lalu mendesah panjang.
“Syukur kalau begitu. Jadi, rumor
kalau antum ada hubungan khusus
dengan Karin hanya fitnah belaka.”
Aku menghela napas panjang, dadaku
terasa sesak karena merasa membohongi karib yang bahkan sudah kuanggap kakak
sendiri tersebut. Namun, aku tak punya keberanian untuk mengakui kedekatanku
dengan Karin.
“Ana hanya mau mengingatkan antum
bahwa sehebat-hebat fitnah dunia adalah perempuan.” Kak Rahmad diam sebentar
mengambil jeda untuk menasihatiku, “Hubungan yang diridhoi Allah hanya melalui
pernikahan, selain itu dosa dan mendekati zina semisal pacaran.”
Aku mengangguk dan menyetujui apa
yang dijelaskan Kak Rahmad. Tanpa terasa bening hangat meluncur membasahi pipi.
Sekali lagi laki-laki yang kuanggap kakak ini menepuk pundakku sebelum pergi
meninggalkanku yang merasa bersalah.
“Percayalah jodoh sudah ada yang
mengaturnya. Jika, memang kelak ditakdirkan bersama pasti bersatu jua. Namun,
ketika usia belum mampu menghalalkannya, maka memantaskan diri menjadi lebih
baik itu jauh lebih bermanfaat untuk menjemput jodoh tebaik dari-Nya kelak.”
Air mata semakin menganak sungai
mendengar nasihat Kak Rahmad tersebut. Aku tak mampu menatapnya dan terdiam
sambil menunduk. Ucapan salam dari Kak Rahmad pun hanya kujawab dalam hati. Aku
menyesali semuanya lalu tersungkur sendiri di serambi mushalla yang sudah sepi.
***
Bersyukurlah untuk insan yang
sedang jatuh cinta. Jatuh cinta kepada sang pemilik cinta tersebut, yakni Allah
SWT. Sejatinya cinta itu suci, bahkan sangat sakral. Jadi, masihkah diri ini
terjebak dengan kepalsuan yang mengatasnamakan cinta. Cinta dijemput dengan
cara yang halal melalui pernikahan, bukan pacaran yang mengumbar hawa nafsu semata.
Aku tersungkur dan menangis dalam
doa di sepertiga malam. Entah berapa lama aku lalai mengingat-Nya. Bahkan
semakin jauh dari-Nya ketika rasa itu tumbuh dan mengakar begitu kuat.
Secepatnya aku harus menyelesaikan masalah hati ini walau terasa sulit. Namun,
aku ataupun Karin tak bisa berlarut-larut dalam cinta yang semu ini.
Hari ini adalah hari terakhir
bimbingan untuk persiapan lomba. Selepas bimbangan aku mengajak Karin berbicara
empat mata di perpustakaan yang sekaligus tempat bimbangan selama ini. Senyum
manis terlukis dari wajahnya. Aku segera menunduk untuk menepis segala
pesonanya.
“Ada apa kakak kok ingin bicara
empat mata, kayaknya serius banget?” tanyanya selepas bimbingan usai. Matanya
memandangku lekat. Aku mengumpulkan keberanian untuk berbicara langsung
kepadanya.
“Masih ingat dengan soal momentum?”
Karin mengangguk lalu
menjelaskannya, “Jika dua benda yang memiliki massa sama lalu mengalami
tumbukan maka benda yang memantul memiliki gaya yang sama pula.”
“Kamu benar. Namun, aku lupa
menjelaskan ada momentum tumbukan yang namanya lenting sempurna dan lenting tak
sempurna.”
“Maksudnya?” Dahi Karin mengeryit
penuh penasaran yang langsung memotong ucapanku.
“Maafkan aku, Karin!” Aku mengambil
napas seolah udara di sekitarku membeku. Karin masih serius menunggu
penjelasanku. “Seperti hubungan kita ini. Mampu tumbukan lenting sempurna
melalui pernikahan. Namun, jika tak mampu sebaiknya kita saling memantaskan
diri dengan belajar menjadi orang yang lebih baik lagi seperti halnya tumbukan
tak lenting sempurna.”
Seperti ada kristal hangat yang tak
mampu dia bendung dari kelopak matanya. Air mata itupun tumpah membasahi kedua
pipinya. Aku tak mampu menatapnya lebih lanjut lagi. Hatiku bergejolak antara
iba dan harus mengikhlaskan semua hanya kepada-Nya. Semoga perkataanku barusan
tak menyakiti hati gadis cantik di depanku tersebut.
“Maafkan aku, Karin!”
Hanya kalimat itu yang kini keluar
dari mulutku. Sungguh ingin rasanya aku tak mengenal Karina Devi Mayangsari
jika waktu mampu berputar kembali ke masa lalu.
“Untuk apa kakak minta maaf?” Karin
mengusap air matanya dengan ujung jilbab lalu menghela napas, “Justru aku
berterima kasih kepada kakak yang telah mengingatkanku. Aku juga minta maaf
atas kelakukanku selama ini.” Lalu dia merapikan buku-bukunya dan pergi meninggalkanku
yang masih terdiam sambil tertunduk di bangku perpustakaan yang sebentar lagi
tutup.
Setelah perlombaan, aku jarang
sekali berkomunikasi dengan Karin. Aku hanya sesekali melihatnya bersama
teman-temannya salat zuhur berjamaah. Lambat laun perasaanku kepadanya mulai
terkikis dengan banyaknya tugas sekolah. Aku bersyukur tim kita tidak lolos ke
babak selanjutnya dalam olimpiade fisika. Karena ada hikmah dari kegagalan
tersebut yakni aku tak lagi intens bertemu
dan bertegur sapa dengan Karin. Walau kadang ada rasa rindu yang tiba-tiba
mengusik. Namun, segera kutepis dengan berkumpul dengan karib-karibku di Remus.
Dalam perjalanan cinta ini hanya
ada dua pilihan, sudahi atau halalkan. Namun jika belum mampu menghalalkan,
maka memperbaiki diri menjadi lebih baik jauh lebih bermanfaat daripada
menjalin hubungan yang tak diridhoi-Nya yakni pacaran. Tetap fokus belajar dan
istiqomah dalam kebaikan hingga kelak disatukan dalam cinta yang penuh berkah
atas izin-Nya.[]
Selesai