Jejaka Tomboy
Oleh
: Yanuari Purnawan
Seharusnya
masa SMA adalah masa-masa yang paling indah dan sulit terlupakan. Tidak bagiku,
masa SMA yang tak terlupa adalah masa piluh dan galau. Bukan karena banyak PR
atau sering remedial. Namun, lebih
dari itu. Status! Ya, status jadi jomblo sejati tersemat indah dalam sanubari
dan predikat itu pun masih kusandang hingga kini. Tuhan, adakah secuil cinta
untuk hamba-Mu ini. Atau selamanya jodohku ada di tangan-Mu.
“Wih
… rajin amat lo, dari tadi serius
ngerjain tugas!” celaku pada Hasan, teman sebangku yang tengah asyik
mencoret-coret kertas. Mimik wajahnya menyiratkan konsentrasi penuh. Bahkan
lebih serius dari Dedy Colbouzer saat sulap.
“Gitu
dong rajin!” lanjutku sambil menepuk pundaknya. Hasan yang bertubuh gembul,
pendek dan berkulit gelap itu hanya tersenyum. Terlihat susunan giginya yang
tak beraturan.
“Emang
aku lo yang rajin dan punya otak
encer,” sanggahnya sambil tetap fokus menulis, tulisannya masih sama. Kayak
ceker ayam terkelindas Busway.
“Tapi
lo kok serius banget nulisnya. Emang
nulis apaan?” Aku masih penasaran dengan teman setiaku alias cuma dia teman
akrabku di SMA ini.
“Lo tahu nggak? Saatnya kita mendobrak
masa depan,” jelasnya berbinar sambil memegang kerah seragam putih yang mulai
pudar warnanya tersebut.
“Bahasa
lo dalam banget! Emang begitu penting
coretan tersebut?” raguku dengan sedikit bergurau.
Hasan
pun memandangku lekat lalu beralih mengamati sekitar kelas yang sepi. Karena,
memang masih jam istirahat. Seperti ada suatu rahasia yang ingin dia sampaikan.
Aku pun mulai curiga dan gelisah. Jangan-jangan! Hasan ingin berbuat yang tidak
baik.
“San
… aku masih normal. Jadi, jangan macam-macam!” jelasku sedikit gugup.
“Enak
saja! Emang aku cowok apaan. Aku ingin mengatakan suatu rahasia kepada lo. Tapi, lo janji nggak akan beberkan rahasia ini,” terangnya sambil
menegaskan apa yang sedang dia lakukan tadi. Aku pun hanya mengangguk,
menyetujui syarat tersebut.
“Sebenarnya
… aku sedang menulis surat cinta!” Hampir saja tawaku meledak, jika tidak
segera dibungkam oleh Hasan.
“Emangnya
lo kesambet setan mana? Hari gini
masih zaman surat-suratan. Ini sudah zamannya sms-an, San. Aduh! Apakah status jomblo lo benar-benar merusak otak lo
yang tinggal secuil itu?” ledekku sambil menahan tawa.
“Lo silahkan tertawain aku. Tapi, lihat
saja hasilnya nanti! Menurut majalah yang pernah aku baca, inilah cara ampuh
untuk menggaet hati seorang cewek. Kalau sms, sudah basi. Dan lewat surat
cinta, cewek akan merasa tersanjung dan spesial,” papar Hasan semangat.
Sepertinya majalah yang dia baca, berhasil meracuni otaknya. Namun, aku yang
jomblo akut pun harus mengakui argumennya benar juga.
***
Bel
pulang sekolah pun terdengar nyaring. Bukan membuat siswa-siswi jengkel, namun
membuat wajah yang semula kayak mie direbus kelamaan. Menjelma merekah bagai
bunga mawar yang mekar. Aku pun bersiap pulang, tapi Hasan segera mencegah. Dia
memegang pergelangan tanganku. Romantis! Seperti dalam drama korea. Tapi,
segera kutepis. Geli. Apalagi jika dilihat teman-teman.
“Ada
apa sih, San? Emang lo nggak mau
pulang?” tanyaku kesal. Hasan pun menampilkan wajah unyunya. Namun, bukannya unyu
malah seperti preman yang tobat dan menjadi cowok setengah matang. Lekong deh!
“Aku
ada misi rahasia. Dan lo harus
bantu!”
“Maksud
lo?” selidikku curiga. Hasan pun
mengeluarkan amplop berwarna putih. Seperti, amplop untuk surat izin tidak
masuk sekolah gara-gara ke rumah nenek.
“Ini
surat cinta yang kutulis dari lubuk hati terdalam. Dan, kupersembahkan untuk
yayang Silvi,” terangnya menggebu sambil memandang amplop putih tersebut. Hasan
memang sedang tergila-gila pada gadis yang beda kelas dengan kita, bernama
Silvi. Gadis berparas cantik, tinggi, putih dan merupakan anak dancer sekolah.
“Terus,
apa hubungannya dengan aku?”
“Kamu
yang jadi kurir cintaku,” ucapnya berapi-api. Apa aku tidak salah dengar? Kurir
cinta! Benar-benar kesambet setan jeruk purut nih orang.
Setelah
perdebatan yang cukup panjang, lebih panas dari sidang paripurna. Akhirnya, aku
pun menyerah. Melihat wajah Hasan yang begitu memperihatinkan. Rasa iba dan
jijik menjadi satu. Semoga saja teman satuku ini, bisa mengubah statusnya.
Tidak lagi jomblo kramat. Apa salahnya aku membantu menjadi kurir cintanya.
Walaupun terkesan kampungan dan alay
banget.
“Aku
takut, San!” Tanganku mendadak dingin saat dia memberikan amplop putih
tersebut.
“Sudahlah
… aku bantu lo, awasin orang lewat nanti,” jelasnya menenangkanku.
Dengan
menghela nafas panjang, aku pun siap beraksi. Namun, tiba-tiba Hasan berteriak.
“Hei
… aku ke toilet dulu!” Hasan pun berlari menuju toilet sekolah. Tubuhku panas
dingin. Kelas Silvi berada di pojok dari kelasku. Karena, keadaan sepi, segera
aku menuju bangku Silvi. Dalam hati, aku masih ragu. Apakah ini bangku Silvi?
Namun, dengan keyakinan penuh dan sering melihatnya duduk di sini. Pasti,
benar! Semoga saja berhasil.
***
Braaagh!
Pukulan
kasar tepat di atas meja kami. Aku dan Hasan, terdiam dan tak bergeming. Wajah
tampan dan tubuh atletis di depan kami, menyiratkan emosi tingkat dewa.
“Ari
… apa-apaan ini?” tanya Indra sang ketua basket sekolah dengan wajah geram. Aku
pun mendadak gagap. Pikiran melayang. Mengapa amplop putih milik Hasan itu bisa
ada di tangan Indra?
“A
… a … aku.”
“Lo gila apa? Aku tuh cowok normal. Mana
mungkin aku suka sama cowok? Dan perlu lo
ingat, aku tidak suka cara lo kirim
surat kayak gini. Kampungan!” potong Indra dengan emosi lalu pergi dari kelas
kami. Wajahku pucat. Jika perlu, aku ingin segera berlari dan teriak, “AKU
INGIN OPERASI PLASTIK, MAK!” Seisi kelas
tertawa terbahak-bahak dan kutenggelamkan wajah di atas meja. Hasan yang duduk
di sampingku pun, melakukan hal yang sama denganku.
Selidik
punya selidik, mengapa Indra menuduhku yang kirim surat tersebut? Dewi, teman
satu kelasnya melihatku menaruh amplop itu ke bangku Indra. Pantas saja,
tuduhan itu tepat mengarah kepadaku. Hasan pun berkali-kali meminta maaf.
Alhasil, aku pun luluh dan memaafkannya. Dan aku menyuruhnya berjanji, tidak
akan ada surat-surat cinta lagi. Dengan senyum pahitnya, Hasan mau berjanji
untuk tidak mengulangi perbuatan konyolnya.
Semenjak
peristiwa memalukan tersebut, predikat sebagai jejaka tomboy masih melekat kepadaku dan Hasan. Predikat jomblo hingga
kami lulus SMA. Namun, banyak hikmah yang aku petik dari kejadian tersebut.
Bahwa, percayalah jodoh sudah ada yang mengatur. Serahkan urusan tersebut
kepada-Nya. Sebagai, muslim seharusnya kita memakai cara yang halal. Misal ta’aruf. Dan status jomblo itu bukan
aib, tapi hanya status trend saja.
Jadi, jangan takut jadi jomblo. Tunjukan kalau kalian jomblo yang berprestasi
dan punya prinsip. Mungkin, surat cinta bisa salah alamat, tetapi ingatlah jodoh
tak akan pernah salah dan tertukar.[]
Selesai