Pejantan Tanggung
Oleh
: Yanuari Purnawan
Aku
masih mondar-mandir di kamar. Ada perasaan takut dan tak percaya diri di dalam
hati. tetapi, darah muda menyuruhku untuk melakukannya. Ternyata, virus
tersebut telah menyebar ke setiap sendi pikiranku. Siapapun dia yang terinfeksi,
pasti merasa dunia berwarna merah jambu. Entahlah. Terpenting sekarang aku
harus segera bertindak. Sebelum semua terlambat dan menyesal.
“Hallo, Cindy ya?” sapaku dari seberang
telepon.
“Siapa
ya?” jawabnya agak keras. Membuat jantung berdegup kencang dan lidah terasa
keluh.
“Ini
aku … Doni anak kelas sepuluh dua,” jelasku sedikit gugup.
“Oh
… Doni! Yang homo itu ya?”
“Maksudnya?”
“Iya,
kamu yang suka berduaan dengan teman cowokmu itu ‘kan?”
“Aldi,
maksudmu?”
“Oh!
Jadi, Aldi toh cowok kamu.”
“Apa?”
Tiba-tiba telepon dimatikan secara sepihak.
Tuhan,
begitu parahkah status jombloku kini. Hingga para cewek bilang aku homo. Benar
juga, mereka beranggapan begitu. Sejak menginjakkan kaki di SMA Harapan Bangsa,
memang tak ada satupun cewek yang dekat denganku. Hanya satu yang mau dekat
denganku, Aldi. Dialah sahabat sejatiku yang sama-sama joris alias jomblo kronis. Pantas, tidak ada cewek yang mau
berpacaran denganku. Mungkin mereka kira aku homo dan pacaran dengan Aldi.
Malang
sekali nasib ini, malam minggu di rumah. Entah, sampai kapan kutukan jomblo
akan melekat dalam diriku. Hanya waktu yang akan menjawabnya. Kunikmati malam
minggu kali ini dengan bersantai ria di pinggiran kolam renang. Pikiranku
melayang menikmati setiap desir angin. Andai saja ada bidadari turun dari
langit malam ini.
“Woi
…!?” Teriakkan tersebut memecah segala lamunanku. Dengan sedikit terkejut,
kucari dari mana asal suara itu. Dan mata menangkap sesosok pria yang begitu
aku kenal.
“Papa!”
ucapku sambil salah tingkah. Ternyata papa sejak tadi mengamatiku yang sedang
melamun di pinggiran kolam renang.
“Ada
apa? kok anak papa melamun,” selidiknya penasaran. Terlihat dari bola matanya
yang teduh tersebut sedang mencari penjelasan.
“Tidak
ada apa-apa kok, Pa!” sanggahku sedikit gugup.
“Sudahlah!
Tak perlu bohongin papa. Gini-gini papa juga pernah muda,” terang papa sambil
menatap wajahku. Ah! Papa selalu saja mengerti kalau anaknya sedang bohong.
“Tapi
… papa janji tidak akan tertawa atau berbicara sama orang lain,” pintaku. Papa
hanya mengangguk menyetujui syarat dariku.
“Gini,
Pa. Doni ‘kan sekarang sudah SMA dan beranjak dewasa. Tetapi, sampai saat ini
masih saja jomblo alias tidak punya pacar. Aku ‘kan malu sama teman-teman
seusiaku yang sudah punya pacar. Dan parahnya lagi, aku dibilang homo oleh
mereka,” terangku jujur.
Suasana
mendadak hening. Papa hanya diam sambil menatapku tajam. Aku sudah siap jika
papa akan marah. Tetapi, di luar pikiranku. Ternyata, papa malah tertawa puas
mendengar keterangan tersebut.
“Ingkar
janji nih, Papa! Katanya tidak akan tertawa,” ucapku sebal.
“Maaf!
Tetapi kamu lucu sekali. Memang kalau jomblo, kamu hidup sengsara dan akan
mati. Dasar pejantan tanggung.”
“Pejantan
tanggung, maksudnya?” Aku tak mengerti dengan perkataan papa yang menyebutku
pejantan tanggung tersebut. Kulihat papa berusaha menenangkan dirinya untuk
bicara serius.
“Mengapa
papa panggil kamu, pejantan tanggung? Karena, seusia kamu seharusnya bukan
mikirin masalah pacaran. Namun, semestinya lebih memikirkan tentang prestasi
dan masa depan.”
“Aku
‘kan masih muda, Pa! Dan zaman sudah berubah, kini jika masih jomblo nanti
dikira homo atau tidak laku. Doni ‘kan malu dengan status jomblo tersebut,”
potongku.
Sebelum
menjawab sanggahanku, papa mencoba mengatur nafas. Wajah yang mulai keriput
termakan usia, tetapi tetap berwibawa. Jujur, aku selalu kagum dengan cara
pandang papa yang begitu bijak dalam mendidik anak-anaknya.
“Usia
seperti kamu memang masa mencari jati diri. Makanya, tadi papa bilang kamu
pejantan tanggung. Belum matang dalam berpikir dan masih labil. Suka sama lawan
jenis itu wajar. Apalagi di era sekarang pergaulan yang begitu bebas. Tetapi,
sekarang papa tanya sama Doni. Sudah siapkah berkomitmen serius dengan seorang
perempuan?” Aku hanya mampu menggelengkan kepala menjawab pertanyaan papa
tersebut. Orientasi pikiranku sedikit terbuka mengenai status jomblo kini.
“Jadi,
tak perlu risau lagi dengan status jomblo. Jomblo bukan musibah atau aib. Tunjukkan
kalau kamu bisa menjadi jomblo yang bermartabat. Dengan berprestasi meraih
cita-cita.”
“Tapi,
aku juga perlu kasih sayang dari lawan jenis.”
“Masih
kurang kasih sayang dari orangtua, saudara dan sahabat. Jangan berpikiran
sempit sebagai remaja. Daripada perbanyak mantan pacar, mending saat ini
perbanyak teman. Papa yakin kalau sudah waktunya, Doni akan paham nasihat
tersebut.”
Perkataan
papa seolah menjadi obat penenang hati yang risau dan galau. Jomblo bukan
akhir, tetapi ladang untuk berprestasi selagi muda. Aku sekarang lebih mantap
untuk melangkah sebagai jomblo.
“Pa!
katanya papa sayang sama Doni. Nanti uang sakunya ditambah ya,” teriakku
tatkala papa sedang beranjak meninggalkanku. Papa langsung menoleh dan
memandangku lalu berteriak.
“Dasar
pejantan tanggung!”
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar