Minggu, 01 Februari 2015

Pejantan Tanggung

Pejantan Tanggung
Oleh : Yanuari Purnawan



Aku masih mondar-mandir di kamar. Ada perasaan takut dan tak percaya diri di dalam hati. tetapi, darah muda menyuruhku untuk melakukannya. Ternyata, virus tersebut telah menyebar ke setiap sendi pikiranku. Siapapun dia yang terinfeksi, pasti merasa dunia berwarna merah jambu. Entahlah. Terpenting sekarang aku harus segera bertindak. Sebelum semua terlambat dan menyesal.

Hallo, Cindy ya?” sapaku dari seberang telepon.
“Siapa ya?” jawabnya agak keras. Membuat jantung berdegup kencang dan lidah terasa keluh.
“Ini aku … Doni anak kelas sepuluh dua,” jelasku sedikit gugup.
“Oh … Doni! Yang homo itu ya?”
“Maksudnya?”
“Iya, kamu yang suka berduaan dengan teman cowokmu itu ‘kan?”
“Aldi, maksudmu?”
“Oh! Jadi, Aldi toh cowok kamu.”
“Apa?” Tiba-tiba telepon dimatikan secara sepihak.

Tuhan, begitu parahkah status jombloku kini. Hingga para cewek bilang aku homo. Benar juga, mereka beranggapan begitu. Sejak menginjakkan kaki di SMA Harapan Bangsa, memang tak ada satupun cewek yang dekat denganku. Hanya satu yang mau dekat denganku, Aldi. Dialah sahabat sejatiku yang sama-sama joris alias jomblo kronis. Pantas, tidak ada cewek yang mau berpacaran denganku. Mungkin mereka kira aku homo dan pacaran dengan Aldi.

Malang sekali nasib ini, malam minggu di rumah. Entah, sampai kapan kutukan jomblo akan melekat dalam diriku. Hanya waktu yang akan menjawabnya. Kunikmati malam minggu kali ini dengan bersantai ria di pinggiran kolam renang. Pikiranku melayang menikmati setiap desir angin. Andai saja ada bidadari turun dari langit malam ini.

“Woi …!?” Teriakkan tersebut memecah segala lamunanku. Dengan sedikit terkejut, kucari dari mana asal suara itu. Dan mata menangkap sesosok pria yang begitu aku kenal.
“Papa!” ucapku sambil salah tingkah. Ternyata papa sejak tadi mengamatiku yang sedang melamun di pinggiran kolam renang.
“Ada apa? kok anak papa melamun,” selidiknya penasaran. Terlihat dari bola matanya yang teduh tersebut sedang mencari penjelasan.
“Tidak ada apa-apa kok, Pa!” sanggahku sedikit gugup.
“Sudahlah! Tak perlu bohongin papa. Gini-gini papa juga pernah muda,” terang papa sambil menatap wajahku. Ah! Papa selalu saja mengerti kalau anaknya sedang bohong.
“Tapi … papa janji tidak akan tertawa atau berbicara sama orang lain,” pintaku. Papa hanya mengangguk menyetujui syarat dariku.
“Gini, Pa. Doni ‘kan sekarang sudah SMA dan beranjak dewasa. Tetapi, sampai saat ini masih saja jomblo alias tidak punya pacar. Aku ‘kan malu sama teman-teman seusiaku yang sudah punya pacar. Dan parahnya lagi, aku dibilang homo oleh mereka,” terangku jujur.

Suasana mendadak hening. Papa hanya diam sambil menatapku tajam. Aku sudah siap jika papa akan marah. Tetapi, di luar pikiranku. Ternyata, papa malah tertawa puas mendengar keterangan tersebut.
“Ingkar janji nih, Papa! Katanya tidak akan tertawa,” ucapku sebal.
“Maaf! Tetapi kamu lucu sekali. Memang kalau jomblo, kamu hidup sengsara dan akan mati. Dasar pejantan tanggung.”
“Pejantan tanggung, maksudnya?” Aku tak mengerti dengan perkataan papa yang menyebutku pejantan tanggung tersebut. Kulihat papa berusaha menenangkan dirinya untuk bicara serius.
“Mengapa papa panggil kamu, pejantan tanggung? Karena, seusia kamu seharusnya bukan mikirin masalah pacaran. Namun, semestinya lebih memikirkan tentang prestasi dan masa depan.”
“Aku ‘kan masih muda, Pa! Dan zaman sudah berubah, kini jika masih jomblo nanti dikira homo atau tidak laku. Doni ‘kan malu dengan status jomblo tersebut,” potongku.

Sebelum menjawab sanggahanku, papa mencoba mengatur nafas. Wajah yang mulai keriput termakan usia, tetapi tetap berwibawa. Jujur, aku selalu kagum dengan cara pandang papa yang begitu bijak dalam mendidik anak-anaknya.
“Usia seperti kamu memang masa mencari jati diri. Makanya, tadi papa bilang kamu pejantan tanggung. Belum matang dalam berpikir dan masih labil. Suka sama lawan jenis itu wajar. Apalagi di era sekarang pergaulan yang begitu bebas. Tetapi, sekarang papa tanya sama Doni. Sudah siapkah berkomitmen serius dengan seorang perempuan?” Aku hanya mampu menggelengkan kepala menjawab pertanyaan papa tersebut. Orientasi pikiranku sedikit terbuka mengenai status jomblo kini.
“Jadi, tak perlu risau lagi dengan status jomblo. Jomblo bukan musibah atau aib. Tunjukkan kalau kamu bisa menjadi jomblo yang bermartabat. Dengan berprestasi meraih cita-cita.”
“Tapi, aku juga perlu kasih sayang dari lawan jenis.”
“Masih kurang kasih sayang dari orangtua, saudara dan sahabat. Jangan berpikiran sempit sebagai remaja. Daripada perbanyak mantan pacar, mending saat ini perbanyak teman. Papa yakin kalau sudah waktunya, Doni akan paham nasihat tersebut.”

Perkataan papa seolah menjadi obat penenang hati yang risau dan galau. Jomblo bukan akhir, tetapi ladang untuk berprestasi selagi muda. Aku sekarang lebih mantap untuk melangkah sebagai jomblo.

“Pa! katanya papa sayang sama Doni. Nanti uang sakunya ditambah ya,” teriakku tatkala papa sedang beranjak meninggalkanku. Papa langsung menoleh dan memandangku lalu berteriak.
“Dasar pejantan tanggung!”


Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar