Aku Bukan Aku
Oleh
: Yanuari Purnawan
“Saya
terima nikah dan kawinnya, Aisyah binti Imron dengan mas kawin tersebut tunai,”
ucapku sekali tarikan nafas. Kulihat seorang wanita bergaun pengantin putih dan
bercadar datang mendekatiku.
“Aisyah
…,” ucapku terbata. Dia hanya mengangguk dan terlihat matanya begitu sejuk di
balik cadar.
“Apa
aku boleh membuka cadarmu.” Tanpa kata dia hanya mengangguk lagi.
“Bismillah ….,” jawabku lirih. Dengan
tangan gemetar, pelan, cadar itu pun sedikit terbuka dan wajah itu bercahaya
lalu ….
Kringgg
… kringgg ….
Aku
terjatuh dari tempat tidur, astaga cuma mimpi sambil mengucek mata. Kulirik jam
beker yang telah menghancurkan mimpi indah. Jam menunjukan angka tujuh pagi,
waduh aku bisa terlambat kuliah, apalagi sekarang mata kuliahnya Pak Anton yang
terkenal killer. Dengan tergesa-gesa
aku menuju kamar mandi, cuci muka saja lalu ganti baju dan berangkat.
Sial
…!!! Ternyata aku terlambat dan tidak boleh ikut mata kuliah Pak Anton. Dari
pada kesal, aku menuju kantin. Siapakah gadis itu? Gadis yang baru kutahu
namanya Aisyah, anak fakultas ekonomi semester tiga. Menurutku dia hanya
mahasiswi yang biasa saja, dibanding Serly yang merupakan primadona kampus.
Tetapi yang membuatnya beda terletak pada jilbab yang super panjang itu, sama
sekali tidak modis dan kampungan.
Entah
mengapa akhir-akhir ini aku jadi sering memikirkan gadis tersebut. Hingga
puncaknya sampai terbawa mimpi, astaga apakah aku jatuh cinta kepadanya?
“Hei,
Mas Bro. Tumben terlambat, lagi mimpi ketemu bidadari ya!” ledek Bayu teman
satu kelas sambil menyerobot teh pesananku.
“Maksudmu?
Jangan sok tahu deh …! Jawabku gugup. Temanku satu ini sudah kurus, suka iseng
apalagi jika urusan perempuan.
“Kok
grogi, pasti benar dugaanku.”
“kamu
kenal tidak, dengan junior kita bernama Aisyah?”
“Aisyah
anak yang aneh dengan jilbab panjangnya itu, jadi kamu suka dengan dia,”
cerocos Bayu, kubungkam mulutnya dengan tangan.
“Jangan
keras-keras malu di dengar orang.”
“Sudahlah
lupakan dia, pria seperti kamu bukanlah tipenya. Kamu tidak pantas dengan gadis
berjilbab itu.”
Perkataan
Bayu seakan memupuskan harapanku untuk kenal dekat dengan Aisyah. Tetapi, tidak
salah juga perkataan tersebut, mana mungkin gadis seperti dia mau dengan pria
yang hampir D.O, tidak lulus-lulus dan tidak mengerti agama. Pasti pria yang
dicari dia minimal yang bisa mengaji.
Hari
telah berganti tetapi rasa cintaku kepada Aisyah bukannya berkurang tetapi
tumbuh subur di hati hingga sulit untuk melupakannya. Setiap kuliah pagi aku
sempatkan untuk shalat dzuhur berjamaah di masjid kampus. Wajah yang bersahaja
itu tidak membuatku jenuh apalagi malas untuk datang ke masjid.
Aisyah
telah mengubah setiap sendi kehidupanku. Aku jadi lebih alim, rajin shalat dan
beberapa kali ikut pengajian yang terkadang membuatku tertidur di pojok masjid.
Bayu sangat kaget dengan perubahan drastisku. Berkali-kali dia mengingatkanku
bahwa aku tidaklah pantas mencintai Aisyah. Menurutnya aku bukan aku yang
sebenarnya.
Cinta
telah mengubah segalanya, pesonanya begitu halus dan indah menyergap hatiku.
Terlalu lama, aku memendam perasaan kepadanya. Kini, saatnya aku harus
mengungkapkan perasaanku kepadanya.
“Aisyah
…!!!” teriakku kepada Aisyah tatkala setelah selesai pengajian di masjid
kampus. Dia menoleh, tersenyum lalu menunduk.
“Apa
saya bisa bicara sebentar denganmu?” tanyaku. Dia melihatku sekilas, mungkin
merasa aneh dengan penampilanku yang memakai gamis dan celana bahan.
“Akhy, mau bicara apa?” tanyanya balik
membuatku gugup.
Aku
masih grogi, gugup dan lidah keluh, keringat dingin pun keluar membasahi pipi.
“Maaf
akhy, aku sedang sibuk. Jika tidak
ada yang penting untuk dibicarakan. Saya pamit dulu, assalamu’alaikum.”
Lirih
ku membalas salamnya, “Wa’alaikumsalam.”
Aku
mengutuk diriku sendiri mengapa aku tidak berani dan pengecut. Tetapi, entah
mengapa lidahku keluh saat menatap wajahnya. Aku benar-benar gila mencintainya.
Tetiba pikiran itu datang lagi, apakah aku pantas mencintai Aisyah, gadis
shaliha tersebut?
Hari
ini ada pengajian mingguan di masjid kampus. Tausiyah ustadz tersebut sangat
indah dan menohok hatiku.
“Hadirin,
sudah benarkah niat kita menjalankan perintah-Nya? Apa karena ingin di bilang
alim kita shalat? Jangan biarkan sifat riya’ itu membuat amalan kita ibarat
debu yang menempel di batu lalu tertiup angin.”
Mendengar
kalimat tersebut tanpa terasa air mataku menetes. Aku memang tidak pantas untuk
Aisyah, aku berubah alim bukan karena cinta kepada-Nya tetapi hanya ingin
mendapat cinta dari makhluknya. Aisyah, maafkan aku yang masih lemah iman.
Semoga kelak aku pantas menjadi imam yang shalih untuk membimbingmu.
Hingga
aku lulus kuliah, perasaan ini masih terpendam dalam di hati. Biarlah waktu
yang menjawabnya, jika Aisyah adalah jodohku pasti bertemu juga. Dan sekarang
aku tidak ingin berpura-pura menjadi orang lain untuk mencintainya. Bayu
menyambutku dengan senyum khasnya. Bahwa, aku alim bukan karena orang lain
tetapi karena hati sendiri.
Pada
musim hujan diawal tahun baru, aku bertemu Aisyah. Ternyata dia sudah menikah
dengan ustadz asal Kudus. Aisyah … aku memang tidak pernah pantas untuk
mencintaimu.
Selesai