Selasa, 04 Agustus 2015

Alone

"Sendiri dalam gelap, entah siapa yang akan mencari. Merindukan cahaya, namun hampa."

Aku berusaha mengeja kalimat tersebut. Kalimat yang tertempel manis di mading sekolah. Entah sihir apa yang mampu membuatku sedikit menghabiskan waktu untuk fokus pada kalimat yang mengawali sebuah artikel. Sepi? Pertanyaan itu seolah menari dalam otakku. Memang koridor sekolah yang tepat di area kelas sebelas tampak lenggang. Walau bel pulang sekolah sudah berbunyi lima belas menit yang lalu. Sekali lagi bukan masalah koridor, namun perasaan ini.

Seperti biasa aku dengan gontai menyusuri koridor sendiri. Seharusnya, masa SMA adalah masa yang indah untuk berkumpul dan bercengkrama dengan teman-teman. Ngomongin guru-guru killer hingga cewek yang jadi target gebetan. Asyik! Namun, itu tak berlaku bagiku.
Sepintas mata menangkap sosok gadis berponi dengan rambut sebahu sedang asyik mendengarkan earphone di bangku bawah pohon. Karena, merasa diamati, cewek itu melempar senyum ke arahku. Akupun membalas senyumannya tersebut dengan kikuk.

"Rahma," kenalnya sambil menjulurkan tangannya. Aku yang duduk di sampingnya hanya diam dan merasa aneh.
"Kok diam?" lanjutnya sembari melambaikan tangan.
"Tidak apa-apa! Dani ...." Aku sudah tak tahu bagaimana yang raut wajah ini. Gugup.
Selang beberapa menit suasana menjadi dingin, hanya hembusan angin yang terdengar menggesek dedaunan.
"Kulihat kamu selalu pulang paling akhir, memangnya menunggu jemputan?" tanyanya memecah kebisuan diantara kami. Akupun hanya menggeleng.
"Lalu?" Matanya menyiratkan rasa penasaran.
"Aku suka sepi dan sendiri!" jawabku datar.

Tak ada percakapan selanjutnya, kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga ...,
"Kamu memang aneh!" jelasnya sambil tersenyum menatapku.
"Aneh? Maksudnya?"
"Semua orang itu paling benci yang namanya sendirian. Lha, kamu kok malah suka dengan sendiri. Anehkan?" Dia tersenyum lalu memasang earphonenya lagi. Aku hanya garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Sendiri bukan berarti tak bahagia. Sendiri membuatku nyaman," terangku sambil menatap gerbang sekolah lalu menyisir ke arah lain. Ada yang sibuk bercengkrama dengan teman satu eskul, ada yang ngerumpi dengan gengnya dan ada yang sibuk men-dribel bola basket. Tunggu? Inikah ruang hamba yang bernama sepi. Tapi, bukannya semua berjalan menurut alurnya. Sekali lagi, bukan mereka tapi aku. Aku yang terjerat dalam di ruang hampa dan sendiri itu.

"Kamu sudah merasakannya?" tanyanya sambil melilitkan kabel earphone.
"Maaf, aku harus segera pulang," lanjutnya sambil berdiri. Terlihat seorang pria berkemaja batik melambaikan tangan ke arah kami. Mungkin dia, ayahnya.
"Percayalah, bukan suka yang kamu rasa. Namun, hatimu yang masih terjerat dalam ruang itu." Dia pun berlari menjauh ke arah gerbang sekolah. Yang meninggalkanku dengan sejuta tanya yang masih belum aku temukan jawabannya.

_The End_






Tidak ada komentar:

Posting Komentar