Ketika aku merasa lebih mati dari biasanya
Oleh: Billal_HB
Kami duduk dalam diam berdampingan menghadap laut lepas. Awan mendung bergegas berarak menuju ke arah kami, membuat permukaan laut yang berkilauan menjadi biru beku. Hingga pada akhirnya Arfan, sahabatku memecah bisu yang telah puluhan menit membatu.
“Aku cuma sebesar dan seluas gelas, Bill,” katanya serak. “Aku telah penuh dan tumpah.”
Aku menoleh sesaat padanya ketika angin dingin menghempas wajahku lalu kembali memandang ombak yang bergulung.
“Bukankah kau pernah bilang, jika gelas telah penuh sebaiknya bergegaslah mencari mangkuk, dengan begitu kau bisa membuat muatan yang banyak? Apa kau lupa?” balasku seraya menghela napas.
Kami diam lagi. Kulirik wajah Arfan yang tersenyum pucat dan caranya menarik udara yang semakin dingin ke dalam paru-parunya. Jantungku berdebar tak seperti biasanya. Sekitar mataku menjadi hangat oleh sesuatu yang terbendung.
“Bill.” Arfan memanggilku pelan lalu menatapku dan tersenyum, sementara Aku hanya mengangguk padanya. “Maukah kau berjanji padaku?”
“Berjanji apa?” tanyaku penasaran. Kutatap wajah temanku itu dengan lekat, seakan ia tengah menaruh harapan besar padaku.
“Bilamana aku basah karena hujan, maka segera bakarlah aku,” katanya seraya memberikan aku bola api besar merah yang ia pegang. “Itu cara terbaik untuk hilang.”
Aku tersentak dan tersedak oleh udara yang tengah kuhirup. Membuat apa yang terbendung di mataku jatuh dan mengalir. Sangat tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Arfan, aku hanya merasakan jantungku berdetak lebih cepat.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu, kawan,” jawabku ragu. “Api apa itu?”
Arfan tersenyum padaku dan mengangguk yakin. Melihatku menjadi cengeng. Air mata yang terjatuh bebas di daguku. Aku lantas membungkuk dan memaku pandangan ke bawah, pada dedaun yang berserakan di kakiku. Terasa sakit di dada tapi tidak mengerti apa yang menyakiti. Arfan membelai punggungku samar, seperti menyentuh tapi tidak mengenai. Hingga saat aku bangkit dan menyadari keadaan yang berbeda ketika hujan rebas membasahi wajahku.
Aku sendirian. Dibawah hujan yang deras. Tidak duduk di tepi laut, tidak pula bersama Arfan yang tadi ada di sisiku. Melainkan di tepi jalan yang tidak ada siapa-siapa di sana. Dalam ketidakpahamanku, aku merasakan perih yang menjalar dari kedua tanganku yang entah kenapa bisa melepuh merah bara. Dan secara bergantian memandang kedua tanganku yang terbakar dan jalan yang basah tergenang hujan.
“Aku tidak membakarnya,” lirihku. “Tidak benar. Arfan, kau dimana?”
Aku percaya, Aku membakar hujan agar tak membasahinya. Mungkin atau entahlah. Aku tahu dia tidak pergi. Tidak meninggalkanku seperti yang lain. Arfan, akan kutemukan kau meski aku tahu perihnya membakar hujan.
Lirik, 25 November 2014 08.05
Rabu, 26 November 2014
Selasa, 18 November 2014
Pelangi Ikhtiar
Aku
gagal dan terjatuh. Semua mata mengarah kepadaku. Mengapa ini harus terjadi?
Sungguh tidak mungkin seorang Ilham yang selalu juara kelas di SMP harus
terperosok ke urutan duapuluh besar dengan rata-rata tujuh untuk nilai Ujian
Nasional.
Airmata
tak bisa terbendung lagi, nilai hancur dan masuk SMA favorit pun pupus. Kecewa
dan tidak bisa terima mengapa Allah memberikan ujian ini kepadaku. Apa salah
dan dosaku, belajar pun tak pernah lalai, justru teman yang malas nilai UNnya
jauh lebih bagus. Ini tidak adil.
Di
dalam kamar, kuluapkan segala emosi dengan menangis sejadi-jadinya. Merenung
apa yang terjadi kemarin sebelum hal ini terjadi. Aku mulai duduk di bangku
Sekolah Dasar sampai kelas tiga SMP semester satu selalu juara kelas. Semua
orang memuji kepandaianku tetapi sepandai-pandai tupai melompat pasti jatuh
juga. Benar kata pepatah, akhirnya kejatuhan dan kegagalan itu pun nyata dalam rangkaian episode
hidupku.
“Aku
gagal, Bu!” ucapku kepada ibu.
“Sabar,
Nak. Ini ujian dari-Nya untuk menaikan kwalitasmu,” jawab ibu sambil mengusap
rambutku.
Aku
tak kuasa menahan airmata, mengalirlah membasahi pipi.
“Allah
tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Mungkin menurut kita itu jelek belum
tentu jelek di mata-Nya, atau sebaliknya menurut kita itu baik belum tentu baik
di mata-Nya,” lanjut ibu berusaha menenangkanku.
Entah
seperti mantra yang mujarab, kalimat yang terucap dari bibirnya mampu
menenangkan hati yang sedang gundah. Aku yakin skenario Allah pasti jauh lebih
baik dari apa yang di rencanakan hamba-Nya. Terima kasih, Bu. Ku kecup
keningnya tulus.
***
Gelap
berganti terangnya matahari, pagi menyambut insan yang senantiasa bertasbih
kepada Sang Pencipta. Seperti mendapat energi baru, aku lebih siap untuk
menerima kegagalan ini walau begitu berat belajar ikhlas. Kulihat saat wisuda
SMP bukan lagi namaku yang di panggil sebagai juara. Tidak apalah masih ada
hari esok dan aku akan berprestasi lagi. Entah mengapa, api semangat berkobar
begitu besar di dada.
Akhirnya
keputusan melanjutkan ke SMA favorit harus terganti dengan SMA biasa. Ternyata
rasa kecewa itu masih tersimpan di hati, apalagi melihat teman yang bisa
melanjutkan ke SMA favorit, harusnya aku juga bersaing bersama mereka.
“Ilham,
ada apa kok melamun?” tanya sahabatku Azis sambil menepuk pundakku.
“Tidak
apa-apa, hanya aku masih belum percaya bisa sekolah di sini,” jawabku gugup.
“Aku
mengerti kamu pasti kecewa, sang juara kelas harus sekolah di SMA biasa, ya kan!”
Aku
mengangguk lalu menunduk, lagi-lagi airmata menetes.
“Ilham,
mungkin inilah jodohmu,” seru Azis.
“Maksudnya.”
“ini
sudah skenario Allah untukmu jadi terimalah dengan ikhlas. Mungkin sulit
bagimu, tetapi percayalah akan ada pelangi di balik besarnya badai. Kamu
tunjukan kepada mereka di mana pun berada selalu berprestasi.”
Entah
mengapa nasehat Azis begitu menusuk ke dalam hatiku. Sepercik harapan baru
mulai tumbuh dan semangat untuk bangkit semakin besar. Mungkin kemarin aku
gagal, tetapi kali ini aku harus melangkah jauh lebih baik dari kemarin.
Percaya
atau tidak di SMA ini, aku bukan hanya belajar ilmu umum saja tetapi juga ilmu
agama, mulai dari shalat dhuha hingga shalat dzuhur berjamaah. Sungguh
pemandangan aneh tetapi di sinilah aku bangkit dan menjadi Ilham yang
berkarakter islami dan berprestasi.
Gelar
ketua osis melekat di balik diriku sebagai seorang siswa. Tidak pernah
menyangka, dulu untuk menjadi ketua osis mungkin hanya mimpi sekarang gelar ini
pun aku raih. Aku masih belum puas aku ingin membanggakan sekolah ini. Banyak
orang yang merendahkan murid dari SMA di mana aku sekolah.
“Untung
anakku tidak sekolah di SMA itu, muridnya bodoh dan nakal.”
Cibiran
orang di luar sana mengenai SMA di mana aku bersekolah, begitu membuat gendang
telinga ini panas. Aku akan membuktikan bahwa murid di sini tidak sebodoh dan
senakal yang mereka kira, tetapi mereka mampu bersaing dan berprestasi.
Sebagai
ketua osis, aku menebar semangat bagi teman-teman agar bangkit dan tidak malas
untuk belajar lebih giat lagi serta tidak lupa berdoa kepada-Nya. Banyak sekali
hambatan mulai dari rasa malas dan bosan yang kadang datang begitu saja hingga
minimnya sarana untuk belajar. Tidak jarang aku harus fotocopy bahan untuk
belajar. Alhasil, nilai kita lumayan walau belum mencapai titik luar biasa.
Menginjak
kelas tiga SMA, kegiatan kami hanya belajar untuk persiapan Unas. Aku yang
pernah gagal sebelumnya, tidak ingin terulang kembali. Tetapi bukan hanya
bagiku. Aku ingin kesuksesan nanti juga untuk teman-teman satu SMA.
Sebagai
murid yang nilainya paling tinggi, aku harus berbagi membantu teman lainnya
untuk bisa. Aku merasa sifat egois dan ingin menang sendiri terkikis oleh
ukhuwah yang begitu besar antara aku, teman-teman dan juga guru-guru.
Berkali-kali rasa syukur terucap di dalam hati ini, karena bersekolah di SMA
biasa ini. Ternyata aku bisa lebih berarti di sini.
Inilah
langkah perjuangan kami setelah tiga tahun akan dipertaruhkan dalam tiga hari.
Dalam hati kecil, aku berdoa semoga melancarkan unas kali ini bukan hanya
untukku tetapi juga teman-teman seperjuangan.
***
“Di balik kesulitan pasti ada
kemudahan.” (QS Al-Insyirah(94):5)
Setelah
menunggu beberapa bulan, akhirnya pengumuman hasil unas akan kami ketahui.
Dalam harap-harap cemas kami yang berada di aula SMA berdoa semoga hasilnya
baik.
Dengan
kekuasaan-Nya, SMA kami dinyatakan lulus seratus persen. Rasa haru dan bahagia
bercampur di aula dan tak lupa sujud syukur kepada-Nya.
Satu
persatu dari kami mengecek nama dan urutan nilai. Aku tak melihat namaku sama
sekali di urutan atas. Aku panik dan takut jika kegagalan itu harus terulang
kembali.
“Ilham,
selamatnya,” ucap Azis sambil memelukku.
“Iya
sama-sama. Alhamdulilah kita bisa lulus.”
“Bukan
itu!”
“Maksudnya?”
“Selamat
kamu juara umum sekabupaten Pasuruan tingkat SMA.”
Mendengar
kalimat yang keluar dari mulut Azis, seperti tak percaya. Kemudian Azis
menunjukan pengumuman yang tertulis
“Ilham Firmansyah sebagai juara umum sekabupaten Pasuruan.”
Ya
… Allah inikah skenario yang Engkau tulisan untuk hamba. Aku bersyukur pernah
terjatuh karena dengan begitu, aku mengerti makna bangkit dan berhasil.
Tiba-tiba aku teringat nasehat Azis, “Ingatlah pasti ada pelangi di balik
badai.”
Selesai
Rabu, 05 November 2014
Gadis Hujan
Aku
masih terdiam dan duduk di bangku taman kota. Hujan yang begitu deras mengguyur
tubuhku, tetapi tidak membuatku beranjak. Aku masih asyik dengan segala lamunan
indah saat bersamanya. Ada percikan rindu teramat dalam di hati.
Hujan
seakan menjadi saksi antara dua insan yang saling menyayangi. Dalam hujan kami
bertemu dan dalam hujan pula kami harus berpisah. Pertemuan singkat yang mampu
membuat hidupku berubah 180 derajat.
“Mengapa
kamu hujan-hujanan?” tanyaku pada gadis berhijab putih yang sedang duduk di
bangku taman kota itu. Memang saat itu hujan deras, aku kebetulan lagi
jalan-jalan tidak disangka hujan turun dengan deras.
Gadis
itu menatapku tajam, entah apa yang dipikirkannya. Lalu dia menundukkan
wajahnya lagi. Wajah yang begitu teduh dan bermata bening.
“Apa
aku boleh duduk di sini?” tanyaku lagi, dia hanya mengangguk.
Aku
tidak berani berbicara lebih banyak, aku takut dia marah. Hujan masih deras,
aku mau beranjak dari tempat duduk, tubuh ini sudah tidak kuat menahan dingin.
Gadis itu masih saja tidak bergeming dari tempat duduknya. Siapa dia, ada apa
dia di sini, pikirku.
Gadis
misterius itu membuatku penasaran. Mata beningnya seolah menari di dalam
otakku. Siapa dia sebenarnya. Berkali-kali aku mencoba untuk meredam rasa ini,
tetapi rasa ini terlalu kuat menancap di hatiku.
“Boleh
kenalan!” ucapku, dengan badan yang sudah menggigil karena hujan. Setiap hujan,
kulihat gadis itu selalu duduk di bangku taman kota.
Dia
menatapku tajam, aku sempat tersihir oleh binar matanya yang bening itu.
“Sarah,”
ucapnya pelan.
“Firman.”
“Apa
kamu tidak kedinginan?” tanyaku, melihat wajahnya yang pucat, ku mengerti kalau
dia kedinginan. Tetapi dia hanya menggeleng dan berkata,
“Aku
suka hujan, karena hujan mampu menggugurkan setiap kesedihan di hati ini.”
Aku
masih belum paham apa yang dia maksud. Dia hanya menengadahkan telapak
tangannya untuk menimbun setiap tetesan air hujan. Aku masih tidak berani
terlalu lama bicara kepadanya. Sepertinya dia menyimpan kepedihan terlalu dalam.
Setiap
hujan ku siapkan tubuh untuk berbasah ria menemani gadis itu. Gadis yang ku
panggil gadis hujan itu, seolah tidak membuatku jenuh berada di dekatnya, walau
tubuh menggigil kedinginan. Ini pertama kalinya ada wanita yang mampu membuatku
luluh dan nyaman bersamanya. Apakah ini cinta, aku tidak mengerti. Gadis hujan
itu telah berhasil mencuri sebagian ruang di hatiku.
Ku
beli bunga di dekat taman kota sebagai hadiah kejutan untuknya. Hari masih
mendung, gadis hujan itu tidak terlihat. Apakah karena belum hujan, dia belum
datang atau apa aku yang terlalu berharap dia datang setiap hari.
Detik
berganti menit, adzan ashar pun telah berlalu, gadis hujan pujaan hatiku tidak
kunjung datang. Apa aku harus menunggu hujan, tetapi jika tidak hujan
bagaimana. Hari sudah mulai gelap, kuputuskan untuk pergi dari taman kota.
Bunga yang terlanjur ku beli terpaksa ku bawa pulang.
Gadis
hujan … aku merindu dan menantimu, sehari terasa lama. Aku ingin memandang
wajah dan binar mata yang teduh itu. Aku merana di dalam kamar. Inikah cinta,
mengapa begitu menyakitkan. Cinta ini membuatku menjadi sosok pria melankolis.
Hujan,
sebentar lagi aku akan bertemu dia. Gadis hujan tunggulah, aku akan menemani
dan menghapus setiap luka yang pernah engkau rasakan. Aku berlari menuju taman
kota, hujan deras pun ku terobos, aku tidak peduli. Rasa rindu ini harus segera
diobati.
Dengan
nafas yang masih memburu, kulihat sekitar taman, tidak ada gadis hujan yang ku
rindukan. Kemanakah dia sekarang, apa dia sakit. Galau dan kalut, semua berkumpul
di dalam pikiranku.
Aku
melangkah menuju toko bunga di samping taman kota. Kulihat seorang Bapak tua
yang menunggu toko.
“Permisi,
Pak. Apa bapak melihat gadis yang biasa duduk di bangku itu?” tanyaku kepada
Bapak penjual bunga itu.
“Gadis
yang mana ya.”
“Gadis
yang biasa pakai hijab putih dan suka hujan-hujanan itu,” terangku.
“Oh
… gadis itu.”
“Bapak
kenal dia!” potongku.
Bapak
tua itu mengangguk dan menghela nafas panjang lalu berkata,
“Dia
gadis gila, Nak.”
“Maksud
Bapak?”
“Selly,
dia adalah anaknya Pak Burhan. Menjadi gila karena suaminya kecelakaan di dekat
taman kota ini. saat kejadian tersebut hujan turun deras, oleh sebab itu dia
suka hujan-hujanan,” terang Bapak itu.
“Sekarang
dia kemana,Pak?” tanyaku semakin penasaran.
“Dia
telah meninggal, tertabrak mobil saat hendak di bawa pulang oleh orang tuanya.”
Kaki
dan tubuhku lemas, keterangan dari Bapak tua itu seakan mempupuskan harapanku
bersama gadis hujan itu. Ternyata gadis itu gila, aku masih tidak percaya.
Hujan
pun turun begitu deras, aku tidak bergeming masih tetap duduk di bangku taman
kota. Ada perih yang menyayat hati menerima kenyataan ini. hujan basuh luka ini
dan gugurkanlah setiap kesedihan di hati bersama tetesanmu.
Selesai
Langganan:
Postingan (Atom)