Aku yang Jatuh Cinta
-YP-
Jika pada akhirnya
takdir menuliskan kita bersama, dimanapun aku dan kamu berada pasti akan
bersatu juga. Pun sebaliknya, jika takdir berkata lain kita tak bisa bersatu
maka sedekat apapun aku dan kamu pasti berpisah juga.
*
Delapan
tahun. Waktu yang begitu singkat untuk mereka karena mereka sedang
bahagia-bahagianya menikmati proses atau bahkan dalam tahap menuju kesuksesan
dalam hidupnya. Bukan untukku, delapan tahun adalah waktu terlama buat menunggu
dan kembali menatap mata itu yang sorot matanya begitu tajam tapi meneduhkan.
Delapan tahun, rasaku untukmu masih sama seperti awal aku berjumpa denganmu.
“Jangan
takut!” sapamu sambil menepuk pundakku. Aku langsung menoleh ke arahmu yang
dibalas dengan sorot mata yang begitu tajam. Oh Tuhan, saat itu aku seperti
terkena aritmia. Mata yang indah dibalut dengan senyum yang menawan.
“Biasalah
kalau MOS begini digunakan oleh senior untuk menunjukkan keseniorannya atau ya
mereka gunakan untuk ajang balas dendam karena tahun kemarin mereka juga
diperlakukan seperti kita.” Aku hanya tersenyum mendengar penjelasannya yang
begitu panjang tersebut.
“Ohnya,
hampir lupa. Kenalin, aku Pandu Dimas Revandra. Emm… kamu pasti Krisna Wahyu
Pratama!” Kurasakan wajahku merona saat kamu tahu nama lengkapku. Namun,
sedetik kemudian aku hanya mampu tersenyum bodoh sambil garuk-garuk tengkuk
yang tak gatal.
“Benerkan
itu nama kamu? Pas sekali dengan wajahmu yang manis,” ucapmu lagi sambil
menunjuk papan nama dari kertas karton yang menempel di dadaku.
Itulah
kali pertama aku berkenalan denganmu. Mungkin dari situlah awal takdir sedang
menuliskan tentang kisah hidupku yang tak lagi sendiri melainkan ada namamu
bersama mata tajam indah tersebut.
Kuedarkan
pandanganku ke setiap sudut rumah makan, kenangan tentangmu menyeruak kembali.
Delapan tahun yang lalu ditempat ini, yang dulu masih kita sebut warung nasi
goreng. Namun, warung itu menjelma menjadi rumah makan yang cukup luas dengan
menu tak sebatas nasi goreng seperti dulu. Ah, ternyata waktu begitu mudah mengubah
segalanya, tapi mengapa waktu tak mampu mengubah perasaanku kepadamu.
Tuhan
begitu baiknya menuliskan takdir aku denganmu. Bukan lagi kita yang satu gugus
saat MOS, satu sekolahan, tapi kita sekarang satu kos-kosan. Hampir saja aku
loncat kegirangan kalau tidak sadar bahwa aku harus jaga image di depanmu.
“Lucu
ya ternyata kita bisa satu kos-kosan!” ucapmu lalu beralih mengambil ransel dan
menuju ke kamar kosmu. Aku hanya diam sambil mengekorimu sambil menetralkan
jantungku yang sejak menatapmu berdetak tak menentu.
“Kamarmu
yang mana?” Aku menatapnya kembali. Masih sama mata tajam yang indah bagiku.
Aku gelagapan untuk menjawabnya.
“Kamarku
di depan kamarmu …!” jawabku sambil menunjuk kamar di depanmu. Kamu tersenyum
lalu berkata yang membuat mukaku merona.
“Apa
kamu ingin pindah dan sekamar denganku?”
“Maksudnya?”
“Sejak
tadi kamu berdiri di kamarku. Sedang aku mau tidur dulu sebelum menata barang
bawaan. Apa kamu masih ingin di sini juga, tidur sama aku!” godamu yang sukses
membuat aku semakin merona.
“Sial!”
Aku hanya mampu tertunduk lalu melangkah meninggalkan kamarmu. Walau dalam hati
aku berharap itu terjadi. Tidur sekamar denganmu. Tuhan … mengapa si mata tajam
itu membuatku segila ini. Kembali aku mengutuk diriku yang tak bisa meredam
rasaku untukmu.
Hampir
lima belas menit aku menunggumu. Namun, batang hidungmu pun tak tampak
sekarang. Apa kamu masih ingat tentang rumah makan ini? Mungkinkah kamu
tersesat karena rumah makan yang sekarang berbeda jauh dengan dulu. Sebodoh
itukah dirimu jika masih lupa, bukankah kamu sendiri yang kemarin membuat janji
bertemu di rumah makan Pakde Sapto ini. Aku masih setia mengamati rumah makan
ini yang terlihat ramai apalagi ini sudah sore.
“Mas,
jadi mau pesan apa?” kembali pelayan menanyaiku untuk memesan makan dan kembali
aku menjawab sambil tersenyum.
“Nanti
ya mbak … maaf temanku masih diperjalanan!” Sang pelayan pun mendengus lalu
pergi. Mungkin dia kira aku hanya pengunjung yang numpang duduk sambil wi-fian
gratis.
Saat
itu aku masih sibuk mengerjakan soal-soal fisika yang begitu rumit. Sedang kamu
sedang asyik mengotak-atik ponsel. Jujur aku begitu iri denganmu yang begitu
banyak punya waktu luang, sedang aku selalu habis pulang sekolah, mandi, shalat
lalu kembali mengejakan PR yang begitu menumpuk dan besok harus dikumpulkan.
Maklum dulu aku anak IPA sedang kamu masuk jurusan IPS. Namun, kamu begitu
populer ditambah lagi kamu adalah kapten tim futsal sekolah. Sungguh, aku
begitu sebal dan kesal sekali setiap ada cewek-cewek ganjen yang berusaha
mendekatimu. Bahkan, teman sekelasku pun begitu agresif tanya ini itu tentangmu
terhadapku. Menyebalkan sekali bukan! Emang mereka kira aku babysistermu. Cukup bahas cewek-cewek itu
yang bikin emosi tingkat dewa.
Aku
begitu pusing menentukan rumus tentang soal listrik statis, listrik dinamis,
kukira sebentar lagi kepalaku akan mengeluarkan asap. Dari ujung mata, kulihat
kamu tersenyum diambang pintu kamarku.
“Sibuk
ya?”
“Lumayan.
Kurasa guru fisika sedang semangat-semangatnya mengasih tugas!”
Kamu
hanya geleng-geleng saja mendengar jawabanku. Lalu mengambil buku yang ada di
depanku.
“Kurasa
kamu tak akan tinggal kelas hanya tidak mengerjakan soal-soal tersebut dan
kurasa kamu sedang butuh makan yang banyak untuk mengisi energimu kembali!”
ucapmu sambil menimpuk pelan dengan buku ke kepalaku.
“Maksudmu?”
“Kita
makan di luar sekarang, aku dan anak futsal lainnya sedang merayakan kemenangan
tim kami minggu lalu. Dan kamu harus ikut denganku!”
“Tapi
…,”
“Sudah,
aku tunggu dua menit lagi!” potongmu sambil menatapku tajam. Aku yang ditatap
seperti itu hanya bisa menurut tanpa membantah lagi.
Ramai.
Itulah kesan pertamaku saat makan nasi goreng bersama teman-teman futsalmu.
Namun, ada hal yang sebelumnya tak kumengerti tentangmu kini sedikit banyak
mulai kuketahui dari obrolanmu bersama teman-temanmu. Ternyata, kamu diam-diam
suka sama cewek bernama Almira kelas dua belas Ipa satu, sungguh hal itu
membuat dadaku sesak. Selama makan nasi goreng entah mengapa yang kurasakan
hanya hambar. Kurasa lidahku mulai mati rasa, bukan hanya lidah mungkin juga
hatiku.
Kamu
melambaikan tangan ke arahku lalu dengan sedikit tergesa-gesa duduk di kursi
depan mejaku. Mata tajam indah itu kembali memenuhi otakku.
“Maaf
membuatmu menunggu!” ucapmu sambil tersenyum menatapku.
“Mungkin
sebentar lagi aku sudah ubanan gara-gara menunggumu.” Aku dan kamu pun tertawa
bersama, tawa yang tak pernah kulihat lagi selama delapan tahun.
“Kamu
sudah pesan makanan?” Aku menggeleng sambil mengamati dirimu yang tak banyak
berubah setelah delapan tahun. Masih sama seperti dulu hanya sekarang kamu
berjenggot yang tertata rapi di bagian rahang.
Aku
masih mengingat kenangan delapan tahun lalu di tempat ini dan hari dimana itu
adalah hari terakhirku melihatmu.
“Jam
empat sore ini ya!” ucapku lesuh tanpa binar semangat sambil meminum es jeruk
yang sedari tadi aku aduk-aduk saja.
“Iya.
Ayah bilang sih begitu! Terima kasih ya dua tahun ini kamu menjadi teman satu
sekolah dan kosanku yang begitu baik,” terangmu santai. Tak seperti dirimu, aku
begitu gugup dan tak tahu apa yang terjadi ke depannya sepeninggal kamu tak ada
lagi dalam hidupku.
“Kuharap
setelah di sekolah barumu kamu tak akan melupakanku!” Apa yang kuucapkan
barusan. Begitu bodohnya kalimat itu harus keluar dari mulutku. Kulirik kamu
hanya tersenyum lalu dengan gemas mengacak-acak rambutku.
“Kamu
sangat lucu, Kris … kamu harus tahu ini bahwa setiap yang datang pasti akan
pergi atau menetap tergantung takdir yang menuliskannya bagaimana. Aku tak akan
melupakan teman sebaik dirimu!” Hampir saja air mata menetes dari kelopak mata
mendengar ucapan tersebut. Sekuat tenaga aku tahan, aku tak ingin terlihat
cenggeng di hadapanmu kali ini. Aku harus kuat dan ikhlas biar takdir yang
menjawab semua rasa ini untukmu.
Malam
itu adalah malam dimana bantalku kuyup oleh air mata. Semalaman aku menangisi
kepergianmu untuk pindah sekolah. Tuhan kalau boleh aku meminta biarkan dia
tetap di sini bersamaku. Namun, kembali takdir berbicara lain kamu tetap pergi
bersama ayahmu untuk pindah ke sekolah baru.
Delapan
tahun. Waktu yang begitu menyiksa diriku untuk mengenang semua tentangmu. Kini,
kamu benar-benar ada di depanku dalam wujud nyata. Tuhan, jika ini mimpi
biarkan aku tidur selamanya dan jika ini imajinasiku biarkan aku bermain-main
hingga napas terhenti.
“Kurasa
kamu masih suka makanan ini, bukan?” Kulihat di meja sudah ada nasi goreng dan
jus jeruk. Aku tersenyum sambil menatapmu dan kamu pun begitu membalas dengan
senyum yang begitu menawan. Tuhan, ternyata dia masih mengingatnya.
“Kukira
kamu sudah lupa!” Kamu tersenyum sambil menyantap nasi goreng. Perasaan itu
kembali menyeruak tatkala kamu tersenyum seperti itu lagi.
“Mengapa
baru kemarin kamu menghubungiku setelah delapan tahun kita tak pernah bertemu?”
tanyaku yang membuat kamu berhenti mengunyah lalu menatapku.
“Tak
ada alasan apapun. Sejujurnya aku tak enak hati mengganggu calon dokter
sepertimu. Aku yakin kamu terlalu sibuk hanya sekedar membalas chat aku!”
Alasan
konyol. Delapan tahun tanpa kabar darimu hanya bilang aku terlalu sibuk.
Sekarang aku sadar sesadarnya kalau dirimu memang tak menganggapku berarti
dalam hidupmu. Aku kecewa, tapi apa dayaku yang cinta sendiri kepadamu.
Tak
ada obrolan berarti, aku dan kamu kembali sibuk dengan pemikiran masing-masing.
“Aku
senang sekali bisa bertemu denganmu kembali. Seperti yang kukatakan tadi, aku
sangat berharap kamu datang!” ucapmu lalu berdiri hendak meninggalkanku sedang
aku hanya bisa sekuat tenaga tersenyum kepadamu walau kini hatiku begitu perih.
Kali
ini aku berusaha untuk tak meneteskan air mata untukmu. Aku harus menerima
takdir ini, bahwa aku dan kamu tak mungkin bisa bersatu. Aku memahami bukan
dirimu yang tak peka akan perasaanku, tapi aku sendiri yang jatuh cinta
kepadamu. Dan aku tak menyalahkan dirimu yang tak mencintaiku dan memilih
seorang wanita untuk kamu nikahi. Kulihat undangan warna merah jambu di meja
depanku. Kembali aku mengingat ucapanmu tadi.
“Aku
ingin kamu datang ke acara pernikahanku dan aku lebih berharap lagi kamu mau
jadi pendampingku nanti saat prosesi akad nikahku!”
“Mengapa
harus aku?” tanyaku dengan nada bergetar menahan diri untuk tidak menangis.
“Karena
kamu adalah satu-satunya sahabat yang tulus dan benar-benar aku sayangi. Dan
kupastikan kamu juga punya rasa itu bukan!”
Aku
hanya mampu menelan ludah lalu menatap mata tajam indahmu itu. Rasaku kepadamu
adalah aku jatuh cinta kepadamu sedang kamu tidak.
“Terima
kasih sudah menyayangiku, Pandu Dimas Revandra!”
_Selesai_