2
Hati, 1 Rasa
Oleh : Yanuari Purnawan
Sayup
terdengar suara merdu para santri melafalkan ayat suci Al-Qur’an. Sudah menjadi
agenda rutin pondok pesantren, setiap ba’da magrib untuk tadarus. Semua santri diwajibkan untuk mengikuti setiap jadwal yang
sudah ditentukan. Tetapi, sekali lagi mata Ustad Imron harus melotot, mencari
dua sekawan yang belum terlihat batang hidungnya.
“Ke
mana Rizal dan Yusuf?” tanya Ustad Imron kepada santri yang sedang tadarus tersebut. Seketika mereka menghentikan
bacaanya. Para santri saling beradu pandang, karena takut.
“Mengapa
kalian diam!” Suara Ustad muda tersebut semakin meninggi lalu dipandangnya satu
per satu para santri.
“Kalian
takut kepada mereka berdua. Sekalipun yang tanya Ustad kalian sendiri! Hasan,
ke mana mereka?” Hasan yang ditanyai gemetaran. Santri asal Madura itu hanya
menunduk lalu berkata.
“Mereka
pergi ke warnet ….” Wajah Ustad Imron menjadi geram. Dalam hati dia berkata,
“Awas jika kalian pulang nanti.”
***
“Aman
… aman!” teriak Rizal kepada Yusuf, tatkala sedang mengendap masuk pondok
melalui pagar. Perlahan Yusuf naik pagar, ketika hendak turun.
“Bruuk!”
Yusuf terjatuh menindih Rizal. Suara gaduh tersebut mengusik tidur para santri.
“Dasar
santri bengal!” Suara Ustad Imron memecah heningnya malam. Wajah sangarnya
membuat kedua santri itu menelan ludah dan pucat.
Rizal
dan Yusuf harus merasakan jeweran lalu digiring ke kantor keamanan santri oleh
Ustad Imron.
“Kalian
ini sudah berapa kali diperingatkan masih saja melanggar aturan!” terang Ustad
Imron sambil menahan emosi.
“Istighfar, Ustad!” ucap Rizal dan Yusuf
bersamaan.
“Dasar
kalian ini!” Amarah Ustad Imron tak bisa terkendali lagi. Kedua santri tersebut
diseret menuju gubuk tempat para santri belajar bertani.
“Kalian
sekarang tidur di sini!” bentak Ustad yang sekaligus ketua dewan keamanan
santri tersebut.
Ini
bukan kali pertama mereka dihukum, sebelumnya pernah digunduli, bersihin kamar
mandi santri hingga puncaknya mereka harus tidur malam di gubuk tengah ladang.
“Suf
… kamu kapok, tidak?” tanya Rizal yang sedang tiduran di gubuk beralas tikar.
“Kapok
sih! Tetapi asyik,” jawab Yusuf sambil tersenyum memandang sahabatnya. Mereka
bersahabat sejak pertama kali mondok di pesantren Darussalam tersebut.
“Maafkan
aku, Suf. Membuatmu ikut merasakan semua ini.” Rizal bangun lalu duduk sambil
memandang langit.
Suasana
malam itu begitu hening, bintang-bintang mengintip malu dan bulan sabit
tersenyum bercahaya. Terbayang persahabatan yang terjalin begitu lama bahkan
menjelma menjadi saudara. Bagi Rizal, Yusuf adalah sahabat terbaik untuk
mengadukan segala yang dia rasakan. Sedangkan bagi Yusuf, Rizal adalah sahabat
sekaligus saudara yang setia ada disisinya.
Walaupun
berbeda status sosial, Yusuf yang merupakan anak orang kaya sedangkan Rizal
hanya anak tukang becak. Tetapi, perbedaan tersebut tidak menghalangi
persahabatan mereka. Sampai saat ini tak pernah ada perselisihan yang berarti
diantara keduanya.
“Mengapa
harus minta maaf, ‘kan tidak ada yang salah!” jawab Yusuf yang juga menikmati
indahnya malam penuh bintang-bintang. Mereka lalu tersenyum bersama.
“Kamu
ingat, Zal! Saat pertama aku masuk pesantren.” Yusuf mencoba mengatur nafas
untuk melanjutkan ucapannya.
“Tidak
ada yang peduli sama aku. Setiap hari menangis ingin pulang. Tetapi, ada tangan
malaikat yang memegang pundakku. Lalu dia berkata ….” Yusuf mengalihkan
pandangannya kepada Rizal.
“Jangan
sedih, kamu tidak sendiri. Aku akan setia bersamamu. Dua hati, satu rasa,” ucap
mereka bersamaan.
***
Suasana
haru, menyelimuti acara wisuda para santri. Walaupun pernah dibilang santri
Bengal, Rizal dan Yusuf menunjukan kalau mereka mampu berprestasi. Mereka
keluar menjadi lulusan terbaik. Bening hangat mengalir dari kelopak mata Rizal
dan Yusuf, dua sahabat yang dari pertama hingga lulus dari pesantren kini harus
berpisah.
“Suf,
jangan lupakan aku! Kita tetap sahabatkan,” ucap Rizal sambil memeluk
sahabatnya tersebut.
“InsyaAllah,
aku tidak akan melupakan sahabat terbaik sepertimu.” Mereka saling berpelukan dengan derai air
mata.
“Dua
hati, satu rasa,” ucap mereka dangan terisak lalu tersenyum bersama.
Dua
hati antara Rizal dan Yusuf melebur dalam satu rasa bernama sahabat. Tidak ada
kata benci, iri dan saling menjatuhkan. Bagi mereka walau kadang hati mereka
berbeda pendapat. Tetapi, tetap satu rasa dalam menjalaninya. Karena semua
terbalut indah dalam nama persahabatan.[]
Selesai